Senin, 10 November 2014

Pilkadal di Negeri Dongeng


Judul: Pilkadal di Negeri Dongeng
Penulis: Tundjungsari
Penerbit: Afra Publishing, Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, September 2007
Jumlah Halaman: 168
ISBN: 978-979-1397-07-0

Ketika melihat kover dan judulnya, saya pikir ini buku nonfiksi. Pengemasannya kurang mencerminkan sebuah novel. Bagaimana saya tahu ini novel? Tentunya dari endorsement di kover bukunya, dari novelis ternama, Afifah Afra:


“Sebuah novel luar biasa yang mampu mengaduk-aduk emosi pembaca. Tundjungsari, seorang dokter yang memiliki idealisme luar biasa, berhasil memotret realita dan mengemasnya menjadi sebuah novel yang penuh sindiran kepada kalangan yang hanya peduli pada kemuliaan tahta, namun tak peduli pada jeritan rakyat jelata. Novel ini wajib dibaca oleh para politisi, calon politisi, atau sekadar rakyat biasa yang peduli dengan sesama…”

Hmmm…. Jika Afifah Afra sudah bilang begitu, pastilah novel ini memang bagus. Sayangnya, pengemasannya kurang menarik, sungguh! Setidaknya, itu menurut saya. Satu-satunya yang membuat saya bersedia (halah!) membacanya adalah endorsement Afifah Afra yang bombastis itu. Mari kita buktikan, benarkah promo Mbak Afra? Kita baca sinopsisnya dulu deh:

Ada 3 pasang bupati dan wakil bupati yang mencalonkan diri di Pilkadal Kabupaten Antah Berantah. Pertama, Suryo Buwono, bupati incumbent penggemar mistik dan Siti Aminah, anak seorang kyai terpandang. Kedua, Jaka Lesmana, mantan wakil bupati yang berhasrat menjadi nomor satu, karea uang bagi-bagi proyek untuk nomor dua, pasti tak pernah sebanyak untuk si  nomor satu. Jaka Lesmana menggandeng Lastri, kekasih gelapnya, sebagai calon wakil. Lantas, ada Tugino, pengusaha kaya yang memilih istri seorang wanita bisu supaya tak bisa membantahnya, serta selalu memanggil karyawan-karyawatinya denga Paijo dan Painem. Lelaki terkaya di Antah Berantah ini menggandeng Bahtiar, Setda yang berpenghasilan biasa-biasa saja, namun memiliki pengetahuan birokrasi sangat memadai.

Oke, kira-kira novel ini akan bercerita tentang perebutan tahta bupati dan wakil bupati di negeri Antah Berantah. Novel politik, terus terang saya tak begitu tertarik dengan politik. Saya pikir novel ini bakal berat dan penuh dengan istilah-istilah politik. Bagi seorang pembaca komersil seperti saya (yang lebih banyak membaca novel-novel komersil seperti novel romantis), ini kembali mengurangi minat baca ahahaha… tapi saya ingin coba membaca novel ini. Kalau di bab pembukanya sudah tidak enak dibaca, ya tutup saja lagi.
Nah, kita baca dulu blurb (potongan adegan) di belakang kover.

“Bayi Bapak harus tinggal di rumah sakit karena premature. Karena surat-surat keterangan tanda tak mampu hanya berlaku untuk istri Bapak, maka perawatan untuk bayi Bapak tetap dikenakan biaya.”
“Tapi saya benar-benar tidak punya uang, Suster…”
“Kalau begitu ya urus surat-surat miskin. Dan habis ini KB, sudah tahu miskin kok hamil….”

“Busyet… panas banget nih adegannya,” seru Toni setelah 42 detik berlalu.
“Iya, gila bener… kau dapat dari mana?”
“Dari HP yang kucopet kemarin pagi. Aku berhasil pura-pura jatuh keserempet baleno merahnya.”
“Coba, kulihat lagi!”
Kedua bujang tersebut kembali mengamati rekaman yang ada. saat wajah Jaka ter-close up, Toni memencet tombol pause. Lalu keuanya berpandangan dan secara bersamaan seperti dikomando mereka berteriak, “Ini kan Jaka dan Lastri calon bupati itu….”

Untuk lebih meyakinkan minat baca, saya membuka halaman terakhir dulu yang berupa… iklan buku-buku lain! Halah! Maksudnya, sekilas tentang penulis. Jujur, saya baru dengar nama Tundjungsari. Tetapi, itu wajar karena novel ini memang novel pertamanya. Saya agak deg-degan membaca novel pertama seorang penulis baru. Jadi, siapa itu Tundjungsari?

Tundjungsari Ratna Utami, menyelesaikan pendidikan kedokteran dan mendapat title dokter dari Fakultas Kedokteran UGM. Bekerja sebagai PNS di Puskesmas Sumowono, Kabupaten Semarang. Sudah aktif menuli sejak SD dan mendapatkan penghargaan menulis se-kabupaten Pekalongan. Kemudian naskah-naskahnya banyak dimuat di majalah Taman Melati, Gatotkaca, Anita Cemerlang, serta juara harapan lomba menulis cerita anak di majalah Ayah Bunda. Mengikuti program Belajar Menulis Jarak Jauh dari Afra Writing School yang dibina oleh Afifah Afra, dan ini adalah buku perdananya. Menurut Afifah Afra, sebenarnya Tundjung memang seorang penulis yang sudah siap take-off. Pengalamannya di berbagai organisasi, termasuk Ketua Persaudaraan Muslimah (SALIMAH) Kabupaten Semarang, membuat ide-ide ceritanya mengalir dengan lancar dan cerdas.

Seorang dokter? Saya jadi mengira-ngira apakah penulis berteman dengan suami Afifah Afra? Ehehehe…… Membaca biografinya itu semakin meyakinkan saya untuk membaca novelnya. Saya baru tahu kalau Afifah Afra punya sekolah menulis, Afra Writing School. Nah, jadi, mari kita teruskan membaca novel ini.
Bab satunya dibuka dengan kalimat:

“Bupati Suryo Buwono sedang berpikir keras di meja kerjanya. Ada satu hal yang membuatnya pusing tujuh keliling. Pemilihan bupati tidak lagi seperti dulu. Jika pada periode kemarin, saat ia terpilih sebagai bupati, pemilihannya hanya melibatkan wakil rakyat yang berjumlah 28 orang, sekarang rakyatnya langsung yang berjumlah 2,8 juta orang yang akan terlibat. Jelas ini akan mengubah strategi serta aktivitasnya. Kemarin untuk memenangkan suara, ia harus mengambil hati para wakil rakyat sebelum mengambil suaranya. Berbagai cara ia lakukan untuk bisa mengambil hati dan suara mereka. Yang suka uang, ia beri uang. yang suka wanita, ia beri wanita. Yang suka plesiran, ia ajak bepergian. Sedang yang suka kejujuran dan keadilan, ia tinggalkan. Lah, kalau sekarang ada 2,8 juta orang?” (halaman 11)

Saya jadi ingat kekisruhan pilkada antara langsung dan tidak langsung di negeri (bukan) dongeng alias Indonesia. Masing-masing memberikan argumentasinya mengapa harus pilkada langsung atau tidak langsung. Jujur, saya ini buta politik. Tidak mengerti perbedaannya. Bagi saya, sama saja. Toh, yang terpilih orangnya begitu-begitu saja. Memang, di beberapa daerah, konon ada pemimpin-pemimpin terpilih yang sungguh-sungguh merakyat (dari hasil pilkada langsung), tapi di tempat saya tidak tuh. Bupatinya tetap saja korupsi, malahan sekarang ada di penjara, jadi saya tidak punya bupati. Huh!

Membaca novel ini, yang ditulis saat Pilkada masih langsung, saya jadi berpikir. Memang ada sisi baik dari Pilkada langsung, yaitu para calon kepala daerah jadi kebingungan, yang biasanya menyogok anggota DPRD, jadi harus menyogok jutaan rakyat. Rakyat juga bebas memilih calon pemimpinnya tanpa diwakili oleh anggota DPRD yang mata duitan dan tidak bisa dipercaya.  Terbuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi calon kepala daerah, asalkan punya massa. Siapa tahu terpilih kepala daerah yang sungguh-sunguh merakyat?

Akan tetapi, kalau dicermati, Pilkada langsung itu butuh uang banyak. Siapa bilang rakyat tidak bisa disogok? Apalagi rakyat miskin, mereka mau-mau saja terima uang dari calon kepala daerah. Buktinya, pembantu di rumah saya, hanya akan memilih calon yang memberi uang  lebih besar. Kalau tidak ada yang memberi uang, malah bingung siapa yang mau dipilih karena tidak kenal dengan semua calonnya. Otomatis, calon kepala daerah membutuhkan uang yang banyak. Tak heran, di negeri dongeng pun, ketiga calon bupati yang maju itu adalah orang-orang kaya: Suryo Bowono, Jaka Lesmana, dan Tugino. Tugino yang seorang pengusaha home industry kerajinan dari enceng gondok mengingatkan saya pada Presiden Jokowi yang pengusaha mebel :D.

Setelah para calon kepala daerah mengeluarkan uang banyak untuk pemilihan, mereka sudah tentu harus mengembalikan uang tersebut setelah terpilih. Bagaimana caranya? Ya, korupsi. Jadi, ah, sama saja Pilkada langsung dan tidak langsung, sama-sama Pilkadal! Lain halnya kalau calon kepala daerah sudah sejak awal mendedikasikan dirinya untuk rakyat, sehingga rakyat pun mengenalnya. Saat dia mencalonkan diri, dia tak perlu mengeluarkan uang untuk menyogok rakyat karena rakyat sudah kenal. Saat terpilih, dia sungguh-sungguh mendedikasikan dirinya untuk rakyat.

Lalu, bagaimana sekarang setelah aturan Pilkada kembali menjadi tidak langsung? Itu berarti rakyat harus memilih partai yang benar-benar merakyat, karena dari wakil partai yang duduk di DPRD itulah kelak kepala daerah akan dipilih. Nah lho, kok saya jadi keenakan ngomongin Pilkada langsung atau tidak langsung? Kayak yang ngerti politik aja ahahaha…. Oke deh, balik lagi ke novelnya ya. Cerita-cerita yang diangkat sebenarnya bukan hal yang aneh, karena mudah kita baca di koran-koran Indonesia atau kita saksikan di tayangan-tayangan televisi. Seperti tokoh Slamet, seorang petani miskin yang kesulitan membiayai pengobatan orang tua dan istrinya, tokoh Jaka Lesmana yang berselingkuh dengan Lastri dan direkam melalui kamera HP, tokoh Suryo Buwono yang percaya pada ramalan dan klenik, bahkan tokoh Tugino pun mengingatkan saya pada Presiden Jokowi :D

Gaya bercerita sang penulis lumayan asyik, sehingga saya tak dikurung rasa bosan membaca novel politik ini. Kening tak perlu berkerut-kerut bingung, karena ceritanya ringan walau isinya berat. Hidup di negeri dongeng sungguh-sungguh berat bagi seorang rakyat jelata seperti Slamet. Sayangnya, penulis tak menyisipkan secercah harapan bagi negeri dongeng. Saya berharap, setidaknya ada secercah harapan di negeri dongeng, entah itu dari masyarakatnya yang bangkit dan bersemangat atau sosok pemimpin yang diharapkan. Saya berharap Tugino itulah sosok pemimpin yang akan mengeluarkan negeri dongeng dari keterpurukan, tapi akhir kisahnya digantung sehingga tidak jelas benarkah Tugino pahlawannya? Seakan-akan penulis pun tak memiliki harapan baik terhadap negeri dongeng, dan negeri itu tetap saja menjadi negeri yang terpuruk oleh ulah para politisnya. Menyedihkan sekali, hiks….

Sementara itu, di negeri Indonesia, kita pun sedang menantikan Tugino, eh maksudnya Presiden Jokowi mewujudkan harapan-harapan bangsa Indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar