Rabu, 03 Desember 2014

Sayap-Sayap Sakinah


Judul: Sayap-Sayap Sakinah
Penulis: Afifah Afra dan Riawani Elyta
Penerbit: Indiva
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Ramadhan 1435 H/ Juli 2014
Jumlah Halaman: 248
ISBN: 978-602-1614-22-8

Saya akan membuka review ini dengan puisi karya Afifah Afra di halaman depan buku ini:

Kita adalah sepasang sayap
Diciptakan-Nya tuk mengangkasa
Susuri hidup penuh dinamika
Beri aku kuatmu saat ku lelah
Kuberi akasku saat kau lemah
Beri aku sinarmu saat ku redup
Kuberi hangatku saat kau kuyup

Kita adalah sepasang sayap
Sayap-sayap sakinah
Yang tak pernah lelah
Melangkah bersama menuju jannah

Menikah adalah salah satu fase kehidupan terpenting yang sayang untuk dilewatkan. Menikah bagi umat Islam termasuk ibadah. Tak hanya itu, nilainya bahkan setengah agama. Karenanya, penting sekali memiliki ilmu menikah. Ya, menikah memang membutuhkan ilmu. Buku ini adalah salah satu sumber ilmu tentang pernikahan. Ditulis oleh dua penulis yang sudah menikah dalam rumah tangga yang insya Allah sakinah, tentu dapat menjadi sumber referensi yang mumpuni.

Di bagian pertama buku, kita akan lebih banyak membaca tulisan Afifah Afra, dari mulai Misteri Jodoh, Menikah Untuk Sakinah, Jalan Menuju Cinta, lalu disambung oleh tulisan Riawani Elyta, dilanjutkan lagi oleh Afifah Afra, dan menjelang bab-bab terakhir, kita akan lebih banyak membaca tulisan Riawani Elyta. Apakah ada perbedaan gaya menulis di antara kedua penulis? Ya, ada. Ketika membaca tulisan Afifah Afra, saya seolah sedang mendengarkan seorang Ustazah berbicara dengan lembut dan akrab. Sedangkan saat membawa tulisan Riawani Elyta, saya seolah sedang mendengarkan seorang motivator yang berbicara dengan berapi-api dan penuh semangat.

Afifah Afra lebih  banyak menggunakan kata “kita” dalam memberikan ulasannya, sehingga dia ingin mengatakan bahwa apa yang diterangkannya itu berlaku untuk pembaca dan dirinya sendiri. “Terkadang misteri diciptakan justru untuk memeriahkan alur hidup kita. Untuk menjadikan penggal kehidupan kita menjadi penuh gairah. Mencoba-coba menyibak misteri seringkali melelahkan dan mementahkan harapan. Jadi, sikap yang terbaik dalam memandang sebuah perjodohan, menurut saya adalah tawakal.” (halaman 36).

Afifah juga menyelipkan pengalamannya mengenai proses pernikahan dengan suaminya yang berlangsung singkat dan tanpa pacaran. Menarik membaca pengalamannya, yang barangkali akan menjadi sebuah pengalaman aneh bagi orang yang terbiasa pacaran. Kalau dijadikan novel pasti romantis. Seorang aktivis sosial yang sedang menunggui seorang nenek di sebuah rumah sakit, berpapasan dengan dokter muda (co-ass), dan seketika terlintas sebuah perasaan entah apa. Beberapa hari kemudian, gadis itu mendapatkan proposal pernikahan dari pembimbing rohaninya, dan ternyata calon suaminya itu adalah si dokter muda. Dulu saya pernah dirawat di rumah sakit dan ditangani sementara oleh co-ass ganteng, tapi ternyata tidak berjodoh :D.

Selain itu, ada juga pengalaman kakek-neneknya yang menikah melalui perjodohan tapi pernikahan tersebut bisa awet sampai puluhan tahun kemudian. Inspiratif sekali!

Sebaliknya, sebagai seorang motivator, Riawani Elyta lebih banyak menggunakan kata “Anda.” Ini contoh kalimatnya, “Untuk mendapatkan jodoh terbaik ini, Anda—tentunya para lajangers—tidak dilarang kok merencanakan langkah-langkah yang tepat untuk mendapatkannya. Ibarat orang yang akan menempuh ujian, jika menginginkan nilai terbaik, tentunya harus dibarengi usaha dan doa pada level terbaik juga, bukan?” (halaman 73).

Saya mencari-cari apakah Riawani juga menyelipkan kisah cintanya, ternyata tidak. Sampai memasuki bagian kedua, yaitu bagian setelah menikah. Dalam bahasannya di bab berjudul “Dia Begini, Aku Begitu,” Riawani menceritakan perbedaannya dengan sang suami dalam hal merayakan hari-hari spesial. Sejak kecil, penulis terbiasa menganggap penting perayaan hari-hari spesial (ulang tahun, misalnya), sedangkan sang suami tidak. Di hari ulang tahun suaminya, penulis sengaja membuat kue spesial tapi sang suami malah pulang malam dan tidak sempat memakan kue itu. Bahkan sampai berhari-hari kemudian dan kuenya pun tidak layak dimakan. Akhirnya, penulis tidak lagi merayakan ulang tahun suaminya, tapi malah suaminya merasa kehilangan karena tak ada yang mengucapkan selamat.

Saya terkikik membaca cerita itu, karena saya pun mengalaminya! Sampai sekarang, saya tak lagi menganggap penting sebuah ulang tahun, karena terbawa kebiasaan suami. Padahal, sebelum menikah, saya mengkhayalkan punya suami yang akan menghadiahi saya cincin berlian dan liburan ke luar negeri setiap saya berulangtahun. Ya, begitulah pernikahan… tapi, tenang saja…. nasihat dari Bu Ustazah Afifah Afra ini patut disimak dan saya catat baik-baik di dalam kepala.

“Karena menikah adalah ibadah yang nilainya separuh agama, saya memberanikan diri untuk  membuat pernyataan bahwa siapa yang paling aktif dalam membangun cinta di dalam sebuah rumah tangga adalah sosok terbaik dan terbanyak pahalanya. Nah, mari kita berlomba-lomba mengupayakan cinta dengan pasangan kita. Tak usah malu untuk memulai, karena Anda sedang melakukan sesuatu yang luar biasa di mata Allah.” (halaman 128).

Dengan kata lain, jadilah suami atau istri yang lebih banyak memberi daripada diberi, tidak saling menuntut, dan meniatkan semua kebaikan dalam pernikahan dalam rangka ibadah kepada Allah. Buku ini sangat direkomendasikan untuk Anda yang ingin, akan, dan sudah menikah.

6 komentar:

  1. Suka sama resensi ini :D

    Saya aja skip tentang perbedaan gaya menulis Mbak Afifah sama Mbak Riawani hehe.. Mbak Leyla tahu aja :))

    BalasHapus
  2. iya, sosok afifah afra memang kaya' ustazah, aq aja pas ketemu langsung minder, biasa kalo ketemu orang langsung cekakak/ik ini mendadak mingkem :D

    BalasHapus
  3. Sama kayak Mbak Melani, saya suka skip tentang perbedaan itu.
    Emang beda kalo yang nge-review yang jam terbangnya udah tinggi.
    *Salam, Suhu*

    BalasHapus