Kamis, 04 Juni 2015

By The Time You Read This I'II be Dead



Judul: By the Time You Read This, I’ll be Dead
Penulis: Julie Anne Peters
Penerbit: Noura Books
Tahun Terbit: Cetakan I, April 2015
Jumlah Halaman: 320
ISBN: 978-602-0989-13-6

Bullying, kata itu belakangan ini sangat nge-hits di Indonesia. Dulu, bullying umum terjadi di kalangan anak sekolah. Bully yang mendapat legitimasi dari sekolah, misalnya saja penyelenggaraan MOS (Masa Orientasi Siswa) dan OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus). Dua kegiatan itu sudah terkenal sebagai ajang bully terhadap siswa baru. Para senior menerapkan aturan-aturan keras, ketat, dan tak masuk akal. Sebut saja, memakan makanan basi. Belum lagi, mulut para intelektualitas itu tiba-tiba dibanjiri ungkapan-ungkapan tak enak didengar, mengata-ngatai yuniornya hingga melemahkan mental. Tahun berikutnya, yunior yang telah menjadi senior itupun membalas dendam kepada yuniornya. Begitu terus, seperti rantai yang tak putus.


Bullying juga terjadi kepada anak-anak yang memiliki kelakuan dan perawakan berbeda dari anak kebanyakan: tubuh terlalu gemuk atau kurus, wajah banyak jerawat, kulit hitam, wajah jelek, dan sebagainya. Pelaku bullying begitu asyik menghina korban tanpa memikirkan efeknya. Kini, bullying makin marak seiring dengan perkembangan sosial media. Kata-kata tak lagi diluncurkan melalui mulut, tetapi juga jemari. Ironis, karena jemari lebih tak ber-hati. Bila di dunia nyata kita lebih bisa memilih kata untuk diucapkan, di dunia maya justru bebas sebebas-bebasnya. Toh, yang di-bully itu tidak ada di depan mata. Semprot saja sepuasnya. Padahal, efek bully masih sama. Menimbulkan rasa sakit hati, dendam, rendah diri, bahkan yang paling mengerikan: BULLYCIDE. Bunuh diri karena di-bully.

Beberapa kali kita mendengar kabar berita pelajar yang bunuh diri. Setelah ditelusuri, salah satu penyebabnya karena perasaan rendah diri akibat di-bully. Bagi saya yang masa kecilnya juga sering di-bully, perlakuan itu memang sangat menyakitkan. Sampai hari ini saya masih dendam kepada teman-teman dan para guru yang pernah menorehkan pengalaman tidak enak saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar.  Akibat paling fatal, saya sendiri merasa kesulitan mengendalikan kata-kata. Orang bilang, saya ini kalau ngomong suka judes dan sinis, sesuatu yang tidak saya sadari. Barangkali karena saya memang dididik seperti itu oleh orang-orang di sekitar saya. Mengerikan! Sekarang saya berusaha mengendalikan kata-kata, agar tidak banyak orang tersakiti. 

Anehnya, bullying tidak hanya dilakukan oleh pelajar, tapi juga para orangtua. Ibu-ibu,  baik itu di dunia nyata maupun maya, berlomba-lomba mem-bully ibu-ibu lain yang berbeda dengannya dalam hal pengasuhan anak atau pilihan hidup. Sedangkan bapak-bapaknya asyik mengeluarkan komentar pedas dalam kolom komentar di situs berita digital. Komentar-komentarnya tak nampak seperti orang yang berpendidikan, bahkan menjerumus ke isu SARA (Suku, Agama, dan Ras). Kadang, saya membaca berita pun penasaran dengan komentar-komentarnya dan siap-siap mengelus dada. Waduuuh… ini opening-nya panjang amat ya, kapan meresensi bukunya? Hehehe… Yap, novel ini berbicara tentang bullying yang menyebabkan bullycide. Wajib dibaca oleh pelajar dan orangtua. 

Daelyn, seorang siswa SMA, sudah dua kali melakukan percobaan bunuh diri dikarenakan bullying. Kekerasan yang dialaminya sangat membuatnya trauma. Hanya karena tubuhnya gemuk, dia harus mendapatkan bully dari semua teman sekolahnya. Dia bahkan tidak punya teman. Rasa kesepian dan merasa tak diterima membuatnya ingin bunuh diri lagi. Dia sudah tak tahan mendengar ejekan dan kekerasan dari teman-temannya. Percobaan bunuh dirinya yang terakhir membuatnya kehilangan pita suara, alias bisu. Lengkap sudah penderitaan yang membuatnya tak ingin hidup lagi. 

Dia tak ingin gagal dalam percobaan bunuh dirinya yang ketiga. Walaupun orangtuanya sangat menyayangi dan mengusahakan yang terbaik untuknya (bahkan memindahkan sekolahnya ke sekolah agama yang dianggap bebas bully), dia tetap ingin mati. Dia tak pernah merasa bahagia dalam hidupnya, apalagi kalau mengingat pengalaman bullying. Dia mendaftar di situs menembus-cahaya, sebuah situs persiapan untuk orang-orang yang ingin bunuh diri. Kalau situs itu benar-benar ada, betapa mengerikannya. Setiap orang yang mau bunuh diri, dibimbing untuk melakukannya tanpa rasa takut. Dia punya waktu 23 hari untuk mempersiapkan diri. 

Selama itu, Daelyn tidak memiliki seorang teman pun dan dia tak mau menjalin hubungan dengan seorang pun karena menganggap mereka tidak pernah benar-benar serius untuk berhubungan dengannya. Dia selalu dipermainkan, baik itu oleh teman laki-laki maupun perempuan. Santana, seorang pemuda misterius, tiba-tiba mendekatinya dan ingin menjadikannya teman, tapi Daelyn segera menciptakan benteng di antara mereka. Daelyn berusaha menghindari Santana dengan sikap judes, sinis, dan antipati. Hal itu justru membuat Santana semakin penasaran. 

Setiap hari, Daelyn mengunjungi situs menembus-cahaya yang menyediakan kolom untuk curhat dan petunjuk untuk bunuh diri. Daelyn memilih-milih cara paling enak untuk bunuh diri, dari mulai mengiris nadi, tenggorokan, minum racun serangga, tenggelam, dan lain-lain. Daelyn sudah pernah mengiris nadi dan minum racun, sampai-sampai pita suaranya rusak, tapi tidak juga mati. Orangtuanya terus mengawasinya, mewaspadai kalau-kalau Daelyn akan bunuh diri lagi. Daelyn merasa orangtuanya akan lebih bahagia bila dia mati, karena kehadirannya hanya menyusahkan. Sementara itu, Santana tidak henti-hentinya mendekati Daelyn, tanpa peduli gadis itu terus menghindar. Sampai kemudian Santana berkata bahwa dirinya akan segera mati karena kanker kelenjar getah bening. Daelyn menganggapnya sebuah kebohongan, karena Santana seperti orang yang sehat. Apa maksud Santana mendekatinya? Apakah ingin memanfaatkannya sebagaimana pemuda lainnya? Apakah Daelyn jadi bunuh diri? 

Ini novel Young Adult impor kedua yang saya baca dan lagi-lagi membuat saya terkesan. Idenya tak hanya berputar pada romantisme, tetapi juga nilai yang diangkat. Diksinya lugas, khas remaja, tak membuat kening berkerut-kerut. Penulis pun berhasil membuat kita penasaran ingin membaca sampai akhir, karena ada banyak misteri yang disajikan mengenai alasan Daelyn bunuh diri, mengapa Daelyn bisu, apa maksud Santana mendekati Daelyn, benarkah Santana terkena kanker, apakah Daelyn jadi bunuh diri, dan sebagainya. Beberapa kali saya meringis jeri membaca saat-saat Daelyn di-bully yang terdengar kejam. Sesuatu yang barangkali belum disadari oleh para orangtua, bahwa anak-anak mereka dapat mengalami kekerasan semacam itu di sekolah. Pada bagian penutup, ada diskusi mengenai isi novel ini terutama berkaitan dengan bullying dan bullycide, juga diberikan peringatan tanda-tanda bunuh diri yang mungkin dilakukan oleh orang terdekat kita.  Apabila salah seorang anggota keluarga atau teman kita menunjukkan tanda-tanda itu, segeralah membawanya ke psikolog, psikiater, atau lembaga-lembaga yang menangani kasus kekerasan pada anak, semisal Komnas Anak.

Bacalah buku ini dan mulailah untuk menjaga mulut dan jemari kita dari komentar tak enak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar