Judul:
Gossiplicious
Penulis:
Dianing
Penerbit:
Grasindo
Tahun
Terbit: 2011
Jumlah
Halaman: 148
ISBN: 978-979-081-423-3
Sinopsis:
Inilah
sekelumit catatan seorang perempuan yang terjebak dalam kehidupan bertetangga
yang penuh gossip. Ironis, miris, realistis!
Review
Mengapa
Membeli Buku Ini?
Saya
kira ini sejenis novel, karena judulnya tidak menyiratkan bahwa ini kisah
nonfiksi. Ternyata saya salah. Isinya adalah catatan-catatan kehidupan
sehari-hari sang penulis saat berhubungan dengan para tetangga yang suka
bergosip. Saya membeli buku ini karena mengenal penulisnya, Mbak Dianing, yang
juga seorang novelis. Jadi, tak salah dong kalau saya kira buku ini juga novel?
Kover
Kovernya
bergambar perempuan cantik, lengkap dengan kutek dan lipstick merah jambu,
dengan jari telunjuk kanan di bibir, menyimbolkan ungkapan, “sss… diam….” Cocok
deh sama isi bukunya. Kover sederhana dengan warna khas perempuan dan pas
dengan isi ceritanya. Kok review saya belakangan ini jadi ngomongin kovernya
ya? Ya, ini cara saya belajar menganalisis
buku dari kovernya. Biasanya, saya gak perhatian sama kover buku, tapi
sekarang agaknya perlu mencari benang merah antara kover dan isinya hehehe….
Lalu?
Gossiplicious
berisi catatan-catatan singkat sang penulis saat bertetangga dan sering
mendengar gossip-gosip yang beredar di antara tetangga. Dunia wanita memang tak
bisa dilepaskan dari gossip, ups…. Jujur, saya sendiri juga masih sulit untuk
total berhenti bergosip. Walaupun tidak berniat bergosip, kalau sudah ngobrol
dengan sesama teman wanita, pasti deh ada sedikit-sedikit obrolan yang menjurus
bergosip. Beda kalau ngobrol dengan suami saya, misalnya. Kalau saya sudah
mulai ngomongin orang, suami akan mengingatkan, “eh, Mama, jangan ngegosip…..”
Sedangkan kalau sama teman perempuan, yang ada malah kita makin asyik bergosip, hihihi…..
Nah,
itu juga yang dialami Dianing saat bertetangga di kompleks perumahan yang mana
penghuninya mayoritas kalangan menengah ke bawah dan masih suka nyinyir
(menyindir). Menurut Dianing, akan beda kalau dia tinggal di komplek perumahan
yang penghuninya kalangan terpelajar dan sibuk. Pasti gak bakal sempat bergosip.
Eit, jangan salah. Gosip itu bisa menjangkiti siapa saja. Bahkan kalangan
terpelajar yang konon katanya sibuk dan individualis. Kalau mereka gak terlihat
bergosip dengan tetangga sebelah, pasti mereka bergosip di sosmed! Ya, kaaaan…
Kadang saya “panas” juga kalau ada teman sosmed yang lagi menyindir seseorang
di twitter atau facebook. Saya jadi bertanya-tanya, “itu dia ngomongin gue
bukan ya?” Hahahaha… padahal, belom tentu ngomongin saya.
Pernah
lho kejadian, saat saya masih bodoh di sosmed dan berantem sama seorang teman
sosmed, ibu-ibu juga. Ibu-ibu jahiliyah ini mah. Berantem dengan alasan debat,
tsaaah…. Lalu, saya baca status si teman
kok kayaknya nyindir saya yah. Saya konfirmasi ke dia, dia menyangkal. “Jangan
selalu merasa bahwa saya nyetatusin kamu. Memangnya teman saya cuma kamu?”
Jiyaaah…. Malu, malu deh. Nah, maka dari itu, jadi sebenarnya kita itu
sebaiknya gak bergosip baik di dunia nyata maupun maya. Iya, kan? *pentung
kepala sendiri.
Tokoh-tokoh
Sentral
Cerita
di dalam buku ini bentuknya terputus antara cerita yang satu dengan yang lain,
tapi tokoh utamanya ada dua: Widya (si penulis) dan Bu Iin (tokoh yang dianggap
bijaksana). Widya sering sekali menyebut Bu Iin sebagai “teman saya yang
akhlaknya mulia.” Katanya sih karena Bu Iin ini suka digosipin ibu-ibu
tetangganya, tapi Bu Iin tetap baik kepada mereka. Widya adalah seorang penulis
yang jarang bergaul, tapi terpaksa harus bergaul sesekali karena pernah
digosipin sebagai kurang gaul dan sombong. Sebenarnya Widya bukan gak mau
bergaul, tapi dia emang gak suka nongkrong-nongkrong di waktu luang. Dia lebih
suka menulis. Sebenarnya, Widya ini sama seperti saya. Saya juga ibu rumah
tangga yang penulis. Saya juga pernah digosipin sombong gara-gara gak bergaul.
Bukan gak pingin gaul, tapi kalau ada waktu kosong, saya lebih baik menulis. Saya
gak memusingkan omongan tetangga. Biar aja mereka nyindir-nyindir saya kurang
gaul, yang penting saya tetap asyik dengan dunia saya hahaha…. Setelah
anak-anak sekolah, mau gak mau sih saya harus bergaul juga dengan ibu-ibu saat
menunggui anak sekolah.
Selain
itu, maaf saja, memang latar belakang pendidikan saya dengan ibu-ibu tetangga
di sini berbeda jauh. Mantan Ibu RT saja ternyata lulusan SD. Bukan saya mau
merendahkan. Hanya saja, ketimpangan latar belakang pendidikan itu bikin
obrolan jadi gak nyambung. Saya pernah kumpul-kumpul dengan ibu-ibu tetangga,
eh yang diomongin terong milik suami mereka, ya gimana dong? Bukaaan.. bukan
karena suami mereka petani terong. Ya, terong yang itu deh…. Ups! Enaknya didengerin
atau enggak? Lah, ini kok jadi ngomongin saya. Bagaimana dengan kisah Widya dan
Bu Iin?
Tema
Gosip
Gosipnya
macam-macam. Ada Bu Feri dan gengnya yang suka bergosip dan mendiamkan tetangga
yang tidak mereka sukai. Bu Feri malah suka mendiamkan tetangga yang berkonflik
dengannya sampai bertahun-tahun. Ada tetangga yang suka pinjam uang tapi males
ngembaliin. Ada tukang serabutan yang istrinya gonta-ganti terus. Ada kisah
pembantu yang diusir anaknya sendiri. Ada Bu Iin yang tetap membantu
tetangganya yang sudah mendiamkannya berhari-hari. Ada nenek tetangga sebelah
yang dicuekin anaknya, dan sebagainya. Semua cerita ditulis dengan gaya
ibu-ibu, misalnya memakai sebutan “Jeng,” bahasanya ringan, sehingga mudah
dipahami.
Cerita
yang Berkesan
Bagi
saya, cerita yang berkesan di antara semua cerita ini adalah kisah Bu Iin yang
didiamkan oleh Bu Sari, entah kenapa. Aneh sekali, padahal keduanya berteman
dekat. Bu Iin sudah meminta maaf, tapi Bu Sari tak peduli. Suatu ketika, Bu
Sari sakit mendadak dan tidak ada orang di rumah. Anaknya datang meminta bantuan ke rumah
Widya, yang kebetulan punya mobil, untuk membawa Bu Sari ke rumah sakit. Widya
tidak bisa menyetir mobil, tapi Bu Iin bisa. Mengingat Bu Iin sedang didiamkan
oleh Bu Sari, apakah Bu Iin mau membantu? Eh ternyata, Bu Iin mau membantu!
Subhanallah….
Seringkali
ibu-ibu memang suka berantem tanpa alasan. Mungkin saja ada penyebabnya, tapi
orang yang dibencinya itu gak tau kenapa. Nah, ini kan susah. Kita bingung,
kenapa sih orang itu sentiment banget sama kita? Perasaan kita gak salah
apa-apa. Jadi, jangan heran kalau tiba-tiba ada orang yang benci kepada kita
tanpa kita ketahui sebabnya. Tetaplah berbuat baik kepada orang itu, seperti
yang dicontohkan Bu Iin. Niscaya, orang itu akan malu sendiri.
Ada
satu lagi yang berkesan, yaitu kisah Bu Feri yang suka menakut-nakuti tetangga
baru yang mau merenovasi rumahnya. Katanya, harus memakai jasa tukang bangunan
di sekitar komplek itu, kalau tidak mau “dikerjai” oleh mereka. Untunglah, Bu
Iin mampu menolak karena tukang bangunan di sekitar komplek itu suka menipu dan
kerjanya gak beres. Ternyata mereka masih saudara Bu Feri. Ini berita yang
penting sekali, karena di komplek perumahan saya juga banyak berkeliaran tukang
bangunan aspal (asli tapi palsu), dan saya sudah kena jadi korban juga. Harus
hati-hati sebelum memakai jasa tukang bangunan. Lebih baik yang suka kita
ketahui hasil kerjanya.
Kontradiksi
Hemm…
membaca buku ini, saya jadi senyum-senyum sendiri. Ya, ya, ya, memang begitulah
gossip di antara sesama ibu-ibu, kadang memicu pertengkaran yang serius.
Alhamdulillah, karena saya jarang bergaul, jadi saya gak pernah bertengkar
dengan ibu-ibu tetangga. Tapi, tetangga saya ada yang sampai bertengkar
gara-gara gossip. Saya mengerti niatan penulis ketika menuliskan buku ini,
terutama dengan menampilkan tokoh Bu Iin yang beberapa kali dipuji sebagai
“teman saya yang akhlaknya mulia.” Bu Iin dimaksudkan sebagai tokoh
protagonist, kebalikan dari ibu-ibu tukang gossip seperti Bu Feri dan gengnya.
Sayangnya,
hal ini menjadi kontradiksi manakala obrolan antara Bu Iin dan Widya (si
penulis) ternyata sama saja gak jauh dari gossip. Mereka memang menyayangkan
sikap Bu Feri (dan ibu-ibu lain), tapi juga menggosipkan! Bahkan, saking
terpengaruhnya akan gossip, Widya membuat kesimpulan sendiri tanpa tabayyun (mencari tahu dulu ke orang
yang digosipkan itu). Misalnya, ketika ada pembantu yang berhenti kerja dari
rumah seorang ustaz karena honornya sedikit. Cerita hanya didapat dari si
pembantu.
“Diam-diam aku mengingat sosok orang alim
itu. Dia guru agama, sering memimpin salat berjamaah di masjid, sering memimpin
doa di hajatan tetangga, sering memberi ceramah agama. Pendek kata dia itu
ustaz, tapi kok bisa ya menggaji Bu Sari dengan harga jauh dari layak. Mungkin
ini yang dinamakan jangan terpesona oleh kulit. Maybe.” (halaman 50)
Ini
kan mestinya ditanyakan dulu ke ustaznya, bener enggak ngasih gaji sedikit
sampai pembantunya berhenti? Soalnya, gak sedikit juga pembantu yang suka
jelek-jelekin majikannya. Begitu diberhentiin sama majikan, dia bikin cerita
yang enggak-enggak perihal majikannya. Cerita kayak gitu gak sekali dua kali
deh.
Ah,
semoga saja dengan membaca buku ini, saya tak seperti sedang mendengarkan
pergunjingan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar