Judul:
Musim Gugur Terakhir di Manhattan
Penulis:
Julie Nava
Penerbit:
PT. Lingkar Pena Kreativa
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, Mei 2011
Jumlah
Halaman: 330
ISBN:
978-602-885-156-5
Sinopsis
Desakan
usia, tuntutan keluarga, dan trauma karena pernah gagal menikah membuat Rosie
tanpa berpikir panjang menerima pinangan Anthony Luizzo, pria Amerika berdarah
Italia. Namun, rencana pernikahan mereka mengalami berbagai kendala dari
keluarga besar Tony. Marco, adik Tony, juga kerap mempengaruhi hati Rosie.
Rencana pernikahan pun kandas. Ternyata, waktu yang singkat telah menumbuhkan
cinta yang cukup dalam di hati Rosie dan Tony. Meski telah berpisah, keduanya
masih berharap menyatu kembali. Akankah Tony bisa memenangkan kembali hati
Rosie, ataukah cinta mereka harus kembali terkubur?
Review
Kover
Kovernya
cantik sekali, dengan gambar-gambar
bangunan pencakar langit dan patung liberty yang menjadi simbol Amerika.
Daun-daun kering berwarna oranye sebagai simbol musim gugur mempercantik kover
novel ini. Plus, judul yang indah “Musim Gugur Terakhir di Manhattan,” membuat
saya semakin ingin membacanya.
Setting
Sudah
tentu settingnya di Manhattan, sesuai dengan judulnya. Manhattan adalah rumah
orang tua Antony, tempat Rosie tinggal selama nyaris sebulan, dalam rangka
mempersiapkan pernikahan mereka. Hanya saja, adegan lebih banyak berada di
dalam rumah Antony yang luas. Jadi, jangan berharap pengarang akan
mengeksplorasi Manhattan.
Karakter
Tokoh
Tokoh
utamanya adalah Rosie dan Antony. Rosie adalah wanita mandiri, karena sudah
sembilan tahun dia tinggal di Chicago untuk bekerja sebagai konsultan keuangan.
Dia berani meninggalkan Sukabumi dan menetap di negara yang sangat jauh,
sendirian. Jadi, sudah kebayanglah ya dia itu tipe wanita seperti apa. Wanita
karier, mandiri, dan tidak pernah terlibat lagi dalam percintaan sejak rencana
pernikahannya gagal. Kemandiriannya itu juga yang membuatnya banyak menawar
perjanjian pranikah yang dibuat Antony. Diantaranya, Rosie tetap ingin bekerja
dan membiayai kehidupan pernikahan mereka. Rosie tidak mau berhenti bekerja
karena tidak mau posisi tawarnya menjadi lemah di hadapan Antony.
Antony,
adalah lelaki yang dominan. Wajar, karena dia anak sulung. Dia ingin menguasai
Rosie sepenuhnya. Dia ingin menjadi tulang punggung keluarga sepenuhnya, dan
itu berarti Rosie tidak perlu bekerja. Dia juga keras dan dingin. Sikapnya itu
membuatnya kesulitan mendapatkan wanita yang bisa dinikahi walaupun dia tampan.
Kedua karakter ini terbangun dengan baik. Walaupun Rosie pada awalnya terlihat
lemah, belakangan dia bisa menggigit juga setelah sikap keluarga Antony terasa
memuakkan. Mereka seolah menerima rencana pernikahan Rosie dan Antony, tapi
diam-diam menghalangi.
Selain
Rosie dan Antony, ada Marco, adik Antony yang flamboyan, gemar gonta-ganti
cewek, dan diam-diam berusaha mencegah pernikahan kakaknya. Marco pura-pura
menggoda Rosie agar Antony cemburu. Persaingan antara Marco dan Antony terlihat
jelas. Lalu, ada Sophie, adik bungsu Antony, yang juga tidak setuju kakaknya
menikahi seorang muslimah berjilbab. Maria, ibunda Antony yang seakan-akan
mendukung rencana pernikahan anaknya, tapi menyusun rencana untuk
menggagalkannya. Seperti musang berbulu domba. Semua tokoh ini dapat memerankan
perannya masing-masing dengan baik, sehingga saya dibuat gemas.
Alur
Alur
berjalan maju, dimulai dari perjalanan Rosie ke Manhattan, ke rumah Antony.
Saya kira Rosie hanya bertandang sebentar untuk berkenalan dengan keluarga
Antony, ternyata dia tinggal di rumah itu nyaris sebulan! Ya, sampai acara
pernikahan yang akan digelar di rumah Antony. Tadinya mereka ingin mencari
gedung, tapi waktunya mepet dan Rosie sangat ingin menghemat pengeluaran. Sebagaimana
pernikahan tanpa pacaran, seiring dengan dekatnya hari H, keduanya masih
digelayuti kebimbangan benarkah mereka berjodoh? Rosie berusaha menghilangkan
keraguan, mengingat rasa trauma akan kegagalan pernikahan yang pernah
dialaminya bersama Hans. Antony sendiri dengan yakin meneruskan rencananya
menikahi Rosie, walaupun keluarganya diam-diam sangat kecewa karena dia anak
sulung yang diharapkan meneruskan tradisi keluarga Italia. Seharusnya, Antony
menikah dengan gadis Italia. Antony juga harus menghadiri acara-acara keagamaan
mereka, walaupun dia sudah menjadi mualaf. Ini juga yang membuat Rosie bimbang.
Konflik
Rosie
dan Antony berencana menikah dengan membawa kepentingan pribadi. Rosie ingin
menyenangkan keluarganya yang terus mendesak untuk menikah. Antony ingin
menggenggam Rosie, karena trauma dengan perpisahan orang tuanya. Dia mencari
gadis yang tidak akan menceraikannya. Jadi, sejak awal, niat mereka untuk menikah itu salah.
Niat
yang tidak kuat ini juga ditopang oleh penolakan keluarga Antony secara
diam-diam. Di depan Rosie, mereka seolah menerima, tapi di belakang menikam.
Maria, di balik wajah lembutnya, ternyata sangat berharap Antony tidak jadi
menikah dengan Rosie. Dia mengerahkan Marco dan Sophie untuk menggagalkan
pernikahan Antony. Konflik yang muncul pun membuat saya gemas.
Belum
lagi dengan tindakan Rosie tinggal di rumah Antony selama nyaris sebulan.
Maksudnya sih untuk kenal dengan keluarga Antony, sekaligus mempersiapkan
pernikahan. Tapi, bagaimanpun mereka itu belum menikah. Tinggal serumah,
walaupun bersama keluarga Antony dan tidak sekamar, akan memunculkan hal-hal
yang tidak dikehendaki seperti pertengkaran-pertengkaran kecil. Namanya orang
mau menikah kan pasti diuji. Apalagi kalau belum nikah, lalu tinggal serumah.
Sifat buruk bisa terbongkar dan belum tentu dapat ditoleransi.
Lho,
bukannya itu bagus? Kita kan jadi tahu sifat buruk pasangan sebelum menikah. Ya
iya sih, tapi kalo jadi gagal nikah? Mending gak usah coba-coba, kan? Proses taaruf antara Rosie dan Antony ini bisa
dibilang melanggar syariat. Rosie tidak benar-benar menyelidiki apakah Antony
ini seorang mualaf yang serius menjadi mualaf. Rosie bahkan baru tahu
belakangan kalau Antony menjadi mualaf karena dirinya. Gak heran kalau Antony
belum kuat menggenggam iman barunya dan masih terombang-ambing, bahkan akhirnya
kembali ke agamanya semula.
Justru
itulah yang ingin disampaikan oleh pengarang. Pertama, niat menikah itu
seharusnya murni karena Allah. Kedua, proses taaruf jangan sampai melanggar
syariat. Ketiga, jangan beli kucing dalam karung, artinya, jangan percaya
begitu saja kepada orang yang menjodohkan kita dengan seseorang. Kita juga
harus menyelidiki calon jodoh kita secara seksama sebelum proses lamaran. Lah,
ini sudah lamaran duluan, bahkan mau nikah, baru deh diselidiki. Kalau gak jadi
kan berabe, toh?
Intinya,
pengarang bisa menyajikan konflik dengan baik, sampai saya jadi gemas sendiri.
Yang
Kurang
Kesan
Italiano Antony kurang “dapet” sih menurut saya. Dia masih terasa seperti cowok
Indonesia. Trus, si Marco itu kan aturannya playboy,
suka gonta-ganti cewek, tapi katanya dia gak serendah itu. Apakah pengarang
ingin menjaga kedua tokohnya sebagai cowok Italia yang “suci.” Rasanya gak
masalah kalau dibilang Marco itu sering melakukan free sex, karena bagi mereka hal itu sudah biasa. Jadi, tak perlu
pengarang menggiring kedua tokoh Italia itu seperti cowok Indonesia yang
“perjaka.” Itu juga yang perlu digali dari sosok Marco yang seakan hanya
menjadi cameo, padahal berperan penting di sini. Kehidupan Marco kurang
dieksplor, selain bahwa dia itu flamboyan. Belakangan disebutkan bahwa Marco
suka mempelajari agama-agama, tapi hal ini hanya dijelaskan sekilas saja.
Proses
mualaf Antony juga hanya disebutkan sekilas. Mengapa imam masjid begitu percaya
kepada Antony dan menjodohkannya dengan Rosie, padahal Antony baru sebentar
menjadi mualaf? Apakah begitu mudahnya seorang imam masjid menjodoh-jodohkan? Mestinya
dijelaskan, barangkali imam masjidnya ini sibuk jadi yang penting asal berjodoh
saja, hehehe…..
Antony
dan Marco mengingatkan saya akan dua kakak beradik dari Inggris, William dan
Hari. William sangat menjaga nama baik keluarga, karena dia pangeran pertama.
Sedangkan Hari sebaliknya, suka pesta seks, minum-minum, ngebut di jalanan, dan
sebagainya. Sebenarnya, karakter Marco ini kan mirip-mirip Hari. Sayangnya,
pengarang kurang mengeksplor kebandelan si Marco, jadinya ambigu: cowok ini
beneran nakal atau enggak sih? Kalau emang dia flamboyan dan suka gonta-ganti
cewek, ya udah. Gak usah ada pembelaan dari Marco bahwa dia gak serendah itu.
Akhir
kata, saya menikmati membaca novel ini, bahkan saya membacanya hanya dalam
semalam sampai begadang. Julie Nava berhasil menyampaikan fenomena kehidupan
muslimah di Manhattan yang akan menikah dengan mualaf Italia, dalam bahasa yang
mudah dinikmati. Kita juga diperkenalkan dengan kuliner Italia, yang sebagian
sudah kita kenal. Juga tradisi keluarga Italia ketika akan menikahkan anak
mereka. Saya juga jadi tahu bahwa anak sulung lelaki di keluarga Italia harus
meneruskan tradisi keluarga, menikah dengan gadis Italia. Jika tidak, maka
adiknyalah yang harus mengemban tugas itu.
“Te voglio bene, bagiku sama artinya
dengan menutup pintu. Tak ada yang harus kutunggu atau kucari lagi jika
perempuan yang kucintai mengucapkan kalimat itu kepadaku.” (halaman 313).
Pssst..
kabarnya novel ini akan diterbitkan ulang oleh Penerbit Indiva. Nah, silakan
tunggu deh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar