Senin, 05 Mei 2014

Musim Gugur Terakhir di Manhattan


Judul: Musim Gugur Terakhir di Manhattan
Penulis: Julie Nava
Penerbit: PT. Lingkar Pena Kreativa
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Mei 2011
Jumlah Halaman: 330
ISBN: 978-602-885-156-5

Sinopsis
Desakan usia, tuntutan keluarga, dan trauma karena pernah gagal menikah membuat Rosie tanpa berpikir panjang menerima pinangan Anthony Luizzo, pria Amerika berdarah Italia. Namun, rencana pernikahan mereka mengalami berbagai kendala dari keluarga besar Tony. Marco, adik Tony, juga kerap mempengaruhi hati Rosie. Rencana pernikahan pun kandas. Ternyata, waktu yang singkat telah menumbuhkan cinta yang cukup dalam di hati Rosie dan Tony. Meski telah berpisah, keduanya masih berharap menyatu kembali. Akankah Tony bisa memenangkan kembali hati Rosie, ataukah cinta mereka harus kembali terkubur?


Review
Kover
Kovernya cantik sekali, dengan  gambar-gambar bangunan pencakar langit dan patung liberty yang menjadi simbol Amerika. Daun-daun kering berwarna oranye sebagai simbol musim gugur mempercantik kover novel ini. Plus, judul yang indah “Musim Gugur Terakhir di Manhattan,” membuat saya semakin ingin membacanya.
 
Setting
Sudah tentu settingnya di Manhattan, sesuai dengan judulnya. Manhattan adalah rumah orang tua Antony, tempat Rosie tinggal selama nyaris sebulan, dalam rangka mempersiapkan pernikahan mereka. Hanya saja, adegan lebih banyak berada di dalam rumah Antony yang luas. Jadi, jangan berharap pengarang akan mengeksplorasi Manhattan.

Karakter Tokoh
Tokoh utamanya adalah Rosie dan Antony. Rosie adalah wanita mandiri, karena sudah sembilan tahun dia tinggal di Chicago untuk bekerja sebagai konsultan keuangan. Dia berani meninggalkan Sukabumi dan menetap di negara yang sangat jauh, sendirian. Jadi, sudah kebayanglah ya dia itu tipe wanita seperti apa. Wanita karier, mandiri, dan tidak pernah terlibat lagi dalam percintaan sejak rencana pernikahannya gagal. Kemandiriannya itu juga yang membuatnya banyak menawar perjanjian pranikah yang dibuat Antony. Diantaranya, Rosie tetap ingin bekerja dan membiayai kehidupan pernikahan mereka. Rosie tidak mau berhenti bekerja karena tidak mau posisi tawarnya menjadi lemah di hadapan Antony.

Antony, adalah lelaki yang dominan. Wajar, karena dia anak sulung. Dia ingin menguasai Rosie sepenuhnya. Dia ingin menjadi tulang punggung keluarga sepenuhnya, dan itu berarti Rosie tidak perlu bekerja. Dia juga keras dan dingin. Sikapnya itu membuatnya kesulitan mendapatkan wanita yang bisa dinikahi walaupun dia tampan. Kedua karakter ini terbangun dengan baik. Walaupun Rosie pada awalnya terlihat lemah, belakangan dia bisa menggigit juga setelah sikap keluarga Antony terasa memuakkan. Mereka seolah menerima rencana pernikahan Rosie dan Antony, tapi diam-diam menghalangi.

Selain Rosie dan Antony, ada Marco, adik Antony yang flamboyan, gemar gonta-ganti cewek, dan diam-diam berusaha mencegah pernikahan kakaknya. Marco pura-pura menggoda Rosie agar Antony cemburu. Persaingan antara Marco dan Antony terlihat jelas. Lalu, ada Sophie, adik bungsu Antony, yang juga tidak setuju kakaknya menikahi seorang muslimah berjilbab. Maria, ibunda Antony yang seakan-akan mendukung rencana pernikahan anaknya, tapi menyusun rencana untuk menggagalkannya. Seperti musang berbulu domba. Semua tokoh ini dapat memerankan perannya masing-masing dengan baik, sehingga saya dibuat gemas.

Alur
Alur berjalan maju, dimulai dari perjalanan Rosie ke Manhattan, ke rumah Antony. Saya kira Rosie hanya bertandang sebentar untuk berkenalan dengan keluarga Antony, ternyata dia tinggal di rumah itu nyaris sebulan! Ya, sampai acara pernikahan yang akan digelar di rumah Antony. Tadinya mereka ingin mencari gedung, tapi waktunya mepet dan Rosie sangat ingin menghemat pengeluaran. Sebagaimana pernikahan tanpa pacaran, seiring dengan dekatnya hari H, keduanya masih digelayuti kebimbangan benarkah mereka berjodoh? Rosie berusaha menghilangkan keraguan, mengingat rasa trauma akan kegagalan pernikahan yang pernah dialaminya bersama Hans. Antony sendiri dengan yakin meneruskan rencananya menikahi Rosie, walaupun keluarganya diam-diam sangat kecewa karena dia anak sulung yang diharapkan meneruskan tradisi keluarga Italia. Seharusnya, Antony menikah dengan gadis Italia. Antony juga harus menghadiri acara-acara keagamaan mereka, walaupun dia sudah menjadi mualaf. Ini juga yang membuat Rosie bimbang.

Konflik
Rosie dan Antony berencana menikah dengan membawa kepentingan pribadi. Rosie ingin menyenangkan keluarganya yang terus mendesak untuk menikah. Antony ingin menggenggam Rosie, karena trauma dengan perpisahan orang tuanya. Dia mencari gadis yang tidak akan menceraikannya. Jadi, sejak awal, niat mereka  untuk menikah itu salah.

Niat yang tidak kuat ini juga ditopang oleh penolakan keluarga Antony secara diam-diam. Di depan Rosie, mereka seolah menerima, tapi di belakang menikam. Maria, di balik wajah lembutnya, ternyata sangat berharap Antony tidak jadi menikah dengan Rosie. Dia mengerahkan Marco dan Sophie untuk menggagalkan pernikahan Antony. Konflik yang muncul pun membuat saya gemas.

Belum lagi dengan tindakan Rosie tinggal di rumah Antony selama nyaris sebulan. Maksudnya sih untuk kenal dengan keluarga Antony, sekaligus mempersiapkan pernikahan. Tapi, bagaimanpun mereka itu belum menikah. Tinggal serumah, walaupun bersama keluarga Antony dan tidak sekamar, akan memunculkan hal-hal yang tidak dikehendaki seperti pertengkaran-pertengkaran kecil. Namanya orang mau menikah kan pasti diuji. Apalagi kalau belum nikah, lalu tinggal serumah. Sifat buruk bisa terbongkar dan belum tentu dapat ditoleransi.

Lho, bukannya itu bagus? Kita kan jadi tahu sifat buruk pasangan sebelum menikah. Ya iya sih, tapi kalo jadi gagal nikah? Mending gak usah coba-coba, kan? Proses taaruf antara Rosie dan Antony ini bisa dibilang melanggar syariat. Rosie tidak benar-benar menyelidiki apakah Antony ini seorang mualaf yang serius menjadi mualaf. Rosie bahkan baru tahu belakangan kalau Antony menjadi mualaf karena dirinya. Gak heran kalau Antony belum kuat menggenggam iman barunya dan masih terombang-ambing, bahkan akhirnya kembali ke agamanya semula.

Justru itulah yang ingin disampaikan oleh pengarang. Pertama, niat menikah itu seharusnya murni karena Allah. Kedua, proses taaruf jangan sampai melanggar syariat. Ketiga, jangan beli kucing dalam karung, artinya, jangan percaya begitu saja kepada orang yang menjodohkan kita dengan seseorang. Kita juga harus menyelidiki calon jodoh kita secara seksama sebelum proses lamaran. Lah, ini sudah lamaran duluan, bahkan mau nikah, baru deh diselidiki. Kalau gak jadi kan berabe, toh?

Intinya, pengarang bisa menyajikan konflik dengan baik, sampai saya jadi gemas sendiri.

Yang Kurang
Kesan Italiano Antony kurang “dapet” sih menurut saya. Dia masih terasa seperti cowok Indonesia. Trus, si Marco itu kan aturannya playboy, suka gonta-ganti cewek, tapi katanya dia gak serendah itu. Apakah pengarang ingin menjaga kedua tokohnya sebagai cowok Italia yang “suci.” Rasanya gak masalah kalau dibilang Marco itu sering melakukan free sex, karena bagi mereka hal itu sudah biasa. Jadi, tak perlu pengarang menggiring kedua tokoh Italia itu seperti cowok Indonesia yang “perjaka.” Itu juga yang perlu digali dari sosok Marco yang seakan hanya menjadi cameo, padahal berperan penting di sini. Kehidupan Marco kurang dieksplor, selain bahwa dia itu flamboyan. Belakangan disebutkan bahwa Marco suka mempelajari agama-agama, tapi hal ini hanya dijelaskan sekilas saja.

Proses mualaf Antony juga hanya disebutkan sekilas. Mengapa imam masjid begitu percaya kepada Antony dan menjodohkannya dengan Rosie, padahal Antony baru sebentar menjadi mualaf? Apakah begitu mudahnya seorang imam masjid menjodoh-jodohkan? Mestinya dijelaskan, barangkali imam masjidnya ini sibuk jadi yang penting asal berjodoh saja, hehehe…..

Antony dan Marco mengingatkan saya akan dua kakak beradik dari Inggris, William dan Hari. William sangat menjaga nama baik keluarga, karena dia pangeran pertama. Sedangkan Hari sebaliknya, suka pesta seks, minum-minum, ngebut di jalanan, dan sebagainya. Sebenarnya, karakter Marco ini kan mirip-mirip Hari. Sayangnya, pengarang kurang mengeksplor kebandelan si Marco, jadinya ambigu: cowok ini beneran nakal atau enggak sih? Kalau emang dia flamboyan dan suka gonta-ganti cewek, ya udah. Gak usah ada pembelaan dari Marco bahwa dia gak serendah itu.

Akhir kata, saya menikmati membaca novel ini, bahkan saya membacanya hanya dalam semalam sampai begadang. Julie Nava berhasil menyampaikan fenomena kehidupan muslimah di Manhattan yang akan menikah dengan mualaf Italia, dalam bahasa yang mudah dinikmati. Kita juga diperkenalkan dengan kuliner Italia, yang sebagian sudah kita kenal. Juga tradisi keluarga Italia ketika akan menikahkan anak mereka. Saya juga jadi tahu bahwa anak sulung lelaki di keluarga Italia harus meneruskan tradisi keluarga, menikah dengan gadis Italia. Jika tidak, maka adiknyalah yang harus mengemban tugas itu.

Te voglio bene, bagiku sama artinya dengan menutup pintu. Tak ada yang harus kutunggu atau kucari lagi jika perempuan yang kucintai mengucapkan kalimat itu kepadaku.” (halaman 313).

Pssst.. kabarnya novel ini akan diterbitkan ulang oleh Penerbit Indiva. Nah, silakan tunggu deh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar