Judul:
The Road to The Empire
Penulis:
Sinta Yudisia
Penerbit:
PT. Lingkar Pena Kreativa
Tahun
Terbit: Cetakan pertama, Desember 2008
Jumlah
Halaman: 586 hal; 20,5 cm.
ISBN:
979-1367-59-2
Sinopsis: Takudar, Arghun. Buzun, adalah tiga putra Tugluq Timur Khan, penguasa
kekaisaran Mongolia, keturunan Jenghiz Khan. Setelah pembunuhan terhadap Kaisar
dan permaisurinya, Takudar, Pangeran Kesatu, pewaris sah tahta kekaisaran,
menghilang. Arghun Khan, Pangeran Kedua menjadi Kaisar dengan penuh konspirasi
atas bantuan Albuqa Khan, orang kepercayaannya. Dan Buzun, Pangeran Ketiga,
tetap mengabdi di kekaisaran dengan memelihara rindu dan ingin tahu ke mana
hilangnya Takudar.
Sinopsisnya
sebenarnya panjang, tapi nanti dijabarkan lagi deh di reviewnya hehe…. Suatu
prestasi lagi untuk saya, bisa menyelesaikan membaca novel sejarah ini (yang
kebenarannya masih harus ditelusuri lagi ya). Entah kenapa, Mbak Sinta ini
sangat terobsesi mengangkat kisah tentang kekaisaran Mongolia. Sebelumnya,
sudah ada novel pertama yang juga mengangkat tema kekaisaran Mongolia.
Pada
zaman dahulu, di masa kekhalifahan Islam, Mongolia adalah negara besar yang
kejam dan barbar. Barangkali kalau sekarang itu ya macam Amerika itulah. Demi luas
wilayah, kekaisaran Mongolia di bawah pimpinan Jenghiz Khan menaklukkan
daerah-daerah di sekitarnya dengan sekaligus membunuhi penduduknya tanpa ampun.
Baghdad, sebagai pusat ilmu pengetahuan masa itu, pun mengalami kekejaman
Mongolia. Sungai Nil pun menghitam karena tinta-tinta dari koleksi buku di
perpustakaan yang dibuang ke sungai, saking banyaknya buku itu. Mongolia tak
mengenal buku, mereka hanya tahu kekerasan.
Di
masa sekarang, negara Mongolia nyaris tak terdengar gaungnya. Anak-anak
generasi sekarang pasti banyak yang gak tahu di mana sih Mongolia itu? Mereka
taunya Amerika dan Korea Selatan, hehehe…. Mungkin, itulah imbas dari sistem
pemerintahan Mongolia atau tabiat asli penduduk Mongolia yang khas pedesaan:
beternak dan berladang. Kalau dulu mereka bisa terkenal karena kekerasan,
sekarang kan gak bisa lagi karena sudah ada Amerika yang lebih kuat. Dari
membaca buku ini juga bisa ditarik kesimpulan kenapa Mongolia ini sekarang
kehilangan jejaknya, karena generasi mereka yang terdahulu gak menganggap
penting pendidikan, jadinya kehidupan mereka gak ada kemajuan. Kalaupun mau
berperang, udah gak sesuai zamannya lagi. Negara lain sudah mengusai peralatan
perang yang lebih maju, Mongolia?
Apa
pun itu, membaca novel ini bisa sedikitnya membuka wawasan kita mengenai
kekaisaran Mongolia di masa lampau, walaupun imajinasi penulis tentunya lebih
mendominasi. Penulisnya, Sinta Yudisia, tak diragukan lagi kepiawaiannya dalam
mengolah konflik perebutan kekuasaan yang mirip-mirip dengan kisah-kisah
kolosal drama Korea dan China. Apa saja sih yang mirip?
Pertama, pembunuhan terhadap Kaisar Tugluq
Timur Khan dan permaisurinya yang dilakukan oleh orang dalam kekaisaran yang mengetahui kelemahan kaisar.
Kedua, persaingan dua kakak beradik
dalam menduduki tahta kekaisaran Mongo: Takudar dan Arghun didukung oleh orang
kepercayaan yang licik, Albuqa Khan.
Ketiga, kehadiran selir Han Shiang
(salah satu selir Kaisar Tuqlug Timur Khan) yang licik, cantik, dan haus
kekuasaan. Sosok selir yang demikian juga sering diangkat di dalam drama
kolosal Korea dan China.
Keempat, persaingan menjadi permaisuri
Arghun Khan oleh anak-anak Han Siang dan Albuqa Khan. Kalau yang ini mirip
kisah Cinderella juga, hehe…. Yang mengejutkan, Han Shiang menjodohkan anaknya
dengan Arghun Khan yang sebenarnya masih sedarah (adik kakak lain ibu tapi satu
ayah). Zaman dulu, pernikahan incest semacam itu rupanya tak masalah.
Takudar
yang dilarikan oleh dayangnya, Uchatadara (Almamuchi), kemudian diselamatkan
oleh kelompok muslim dari Pesantren Babussalam. Kelompok muslim ini memang
memiliki maksud tersembunyi dengan menyelamatkan Takudar, yaitu hendak
menjadikan Takudar sebagai kaisar
Mongolia yang arif bijaksana, tidak menyelesaikan masalah dengan
kekerasan, semua itu demi eksistensi kelompok muslim yang terancam oleh jalan
darah Arghun Khan. Rasyiduddin, sahabat Takudar, berhasil memasukkan
nilai-nilai keislaman ke dalam jiwa Takudar.
Usaha
perebutan tahta kekaisaran pun disusun. Dalam suatu perjalanan untuk
menaklukkan Jerusalem, kelompok Takudar berhasil mengalahkan Arghun Khan,
Takudar berhasil naik takhta, meskipun adiknya, Buzun, harus mati di tangan
Arghun. Takudar yang lemah lembut tak bisa membunuh Arghun dan memenjarakannya
di Bayarkhuu. Kelak hal itu akan menjadi bumerang baginya.
Di antara
kisah konspirasi perebutan tahta kaisar, terselip kisah romantika antara
Takudar dan Almamuchi. Ironisnya, Almamuchi justru diperkosa oleh Arghun Khan
dan hamil. Jauh sebelum itu, Arghun Khan sudah mengadakan seleksi pemilihan
permaisuri di mana Jayjuni, putri Albuqa Khan, dan Bayduni, putri Han Shiang,
masuk menjadi finalis. Sebenarnya, Arghun Khan lebih menyukai Urghana, tapi
gadis itu memilih Buzun.
Bagi
Anda yang menyukai fiksi sejarah, novel ini bisa dijadikan bahan bacaan yang
menarik. Jalan ceritanya pun filmis, sehingga cocok untuk difilmkan. Diksi yang
digunakan oleh Sinta Yudisia pun tak diragukan lagi, kaya akan bahasa tapi
tetap enak dinikmati. Kita juga diberikan beberapa istilah dalam bahasa Mongol.
Yang paling melekat di benak saya adalah “airag,”
untuk khamr, minuman memabukkan, saking tentara Mongol ini suka minum-minum.
Kata-kata yang lain cukup membuat saya berkerut-kerut bingung, ada yang
diberikan artinya di catatan kaki, tapi ada juga yang terlewat. Bahasa Mongol
ini seperti campuran bahasa Rusia dan Cina, jadi sulit dilafalkan hehe….
Hanya
saja, ada banyak penghamburan informasi yang membuat jenuh. Ada banyak narasi
yang panjang-panjang. Ada juga banyak dialog yang panjang-panjang (satu orang
ngomong hingga berparagraf-paragraf dan tidak dipotong). Hal itu cukup
melelahkan pembaca, apalagi untuk novel tebal ini. Barangkali itu memang ciri khas
Sinta Yudisia, karena di novel berikutnya, Tahta Awan, ciri khas itu masih
akan tetap ada.
kerennn kak :D
BalasHapusCek resi pengiriman