Senin, 01 Desember 2014

Learning to Love


Judul: Learning to Love
Penulis: Eni Martini
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Oktober, 2014
Jumlah Halaman: 184
ISBN: 978-602-03-0988-0

“Sesuatu yang tidak cocok bukan dipaksakan untuk menjadi cocok, tapi dipahami agar saling mengisi.” (halaman 13)

Dijodohkan? Anak muda zaman sekarang akan langsung antipati mendengar kata itu. Seakan-akan perjodohan hanya berlaku bagi pemuda-pemudi di zaman Sitti Nurbaya. Apalagi perjodohan Sitti Nurbaya membawa penderitaan, membuat para pemuda sudah berprasangka buruk terhadap orangtua bila mereka hendak menjodohkan anak-anaknya.


Sementara itu, jumlah para lajang yang belum mendapatkan jodoh semakin meningkat. Mereka kesulitan mencari jodoh, tapi juga tak mau dijodohkan. Barangkali karena dimanjakan oleh keinginan memiliki pasangan sempurna yang tak juga ditemukan. Atau, karena kurangnya inisiatif untuk memulai. Sayangnya, mereka pun tak mau menggunakan perantara orang ketiga (terlebih lagi bila itu adalah orangtua), karena khawatir jodoh yang disodorkan tak sesuai keinginan. Lalu, kapan mau menikah?

Novel “Learning to Love” karya Eni Martini ini mengangkat tema perjodohan antara Eliza dan Ken, pemuda-pemudi metropolitan yang sukses berkarir tapi kesulitan mendapatkan jodoh. Walaupun keduanya sama-sama pernah beberapa kali menjalin hubungan serius dengan pacar masing-masing, toh hubungan itu kandas pula di tengah jalan. Sementara usia terus merangkak naik. Eliza sudah berusia 33 tahun, usia yang rawan bila mengingat organ reproduksi wanita dibatasi usia. Sedangkan Ken berusia 34 tahun, hanya setahun lebih tua. Kedua orangtua mereka pun bertemu untuk menjodohkan anak-anaknya. Tentu saja awalnya Ken dan Eliza menolak keras, tetapi demi menyenangkan orangtua, mereka mau mencobanya.

Cinta tak bisa langsung tumbuh pada pertemuan pertama, karena mereka disergap oleh kecanggungan dan keanehan perasaan “dijodohkan.” Eliza memang sudah mulai menaruh hati kepada Ken, tapi sikap lelaki itu yang cuek dan dingin, membuat perasaannya maju mundur. Benarkah Ken juga menginginkannya? Ataukah Ken menerima perjodohan mereka hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya? Ken pun perlu meyakinkan dirinya sebelum menerima Eliza, karena gadis itu terlalu pendiam sehingga sulit ditebak perasaannya. Demi orangtua, mereka mau menikah sebulan setelah pertemuan pertama. Bagaimana jadinya sebuah pernikahan yang melalui perjodohan? Akankah pernikahan keduanya langgeng?

Tak ada pernikahan yang tak melalui aral melintang, sekalipun kedua pasangan telah lama berpacaran. Apalagi pernikahan Eliza dan Ken yang melalui proses kilat. Mereka harus beradaptasi dulu dengan sifat, sikap, dan kebiasaan masing-masing. Ada kebiasaan Ken yang tak disukai Eliza, dan begitu juga ada kekurangan Eliza yang mengganggu Ken. Bahkan, beberapa bulan setelah menikah, Eliza meminta cerai karena merasa tidak sanggup melanjutkan pernikahannya dengan Ken. Kalau begitu, salahkah pilihan orangtua mereka?

Orangtua tentu ingin anak-anaknya mendapatkan jodoh yang sesuai dan baik, setidaknya itu yang sudah diusahakan oleh orangtua Ken dan Eliza. Orangtua Eliza tak menjodohkan putrinya dengan lelaki tua seperti Datuk Maringgih, melainkan dengan pemuda tampan, berpendidikan, dan mapan, seperti Ken. Orangtua Ken pun tak menjodohkan putranya dengan gadis tua yang urakan, melainkan dengan Eliza yang cantik, berpendidikan, dan punya sopan santun. Urusan cinta, tinggal diusahakan. Sebab, cinta sesungguhnya bisa diupayakan bila masing-masing pasangan mau belajar mencintai pasangannya.

Jalan jodoh bisa melalui siapa saja, termasuk melalui orangtua. Bagi para lajang yang belum menemukan jodohnya, bacalah novel ini. Barangkali setelah itu, Anda tidak buru-buru menolak pilihan orangtua sebelum mencoba untuk menjajakinya.

Adegan yang paling berkesan dan sampai sekarang masih terbayang di kepala saya adalah saat Ken--ehem..ehem...--menghampiri Eliza yang sudah tertidur dengan hanya mengenakan *sensor*. 

"Aku kedinginan setelah mandi," bisik Ken.
"Kamu mandi jam berapa?" tanya Eliza, serak.
"Baru saja." Ken tampak sedikit menggigil.
Tubuh lelaki itu hanya mengenakan kaus oblong dan boxer meringkuk di sampingnya di dalam selimut. Eliz melebarkan mata dan mengedarkan pandangan. Ia mendapati jam dinding menunjukkan  pukul sepuluh malam. Ia sudah tertidur dua jam dan Ken baru mandi. 
"Aku peluk kamu ya," Itu bukan pertanyaan karena tahu-tahu tangan kekar Ken sudah melingkar di pinggang Eliz. Kepalanya menaungi kepala Eliz dari samping. Eliz tidak menyahut. Tubuhnya seketika kaku. (halaman 91).

Selebihnya, baca sendiri dong di bukunya... ihihihi......

6 komentar:

  1. tema perjodohan tetep favorit genre amore nih kayanya...

    BalasHapus
  2. Huwa..sensor..sensor..
    *salah fokus*

    BalasHapus
  3. hayyah mana handuuk, baru mandi xixiix :)

    BalasHapus
  4. aiiiiih..panas dingin bacanya, wkwkwkwk....

    BalasHapus
  5. wkwkwkw...Mba Leyla hebat euy, sepotong adegan dalam Learning To Love sudah mampu membuat imajinasi berlayar liar di mata pembaca/komentator

    BalasHapus
  6. jiaaah.. Mbak Ela nih yg berkesan adegan yg paling hot ya.. xixixi...

    BalasHapus