Jumat, 13 Maret 2015

Buku Ini (Tidak) Dijual


Judul: Buku Ini (Tidak) Dijual
Penulis: Henny Alifah
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Maret 2015
Jumlah Halaman: 192
ISBN: 978-602-1614-48-8

“Kok dijual?”
“Cuma buku-buku SD- SMP, kok!”
“Meskipun cuma buku SD-SMP, tetap saja itu buku. Ada ilmu di sana.”
“Jadi, Bapak masih menyimpan buku-buku SD-SMP?”
“Tentu saja!”
(halaman 10)



Masihkah kamu menyimpan buku-buku SD sampai SMP? Buku-buku SMA? Buku-buku kuliah? Saya tidak. Jadi, ketika membaca bagian pertama dari  novel ini yang menceritakan percakapan Padi dengan seorang ibu di dalam kereta, saya mengerutkan kening. Oh, ada toh orang yang saking cintanya sama buku sampai-sampai masih menyimpan buku pelajaran SD-SMP? Novel pemenang pertama Lomba Menulis Novel Inspiratif Penerbit Indiva tahun 2014 ini mengusung ide yang lain daripada yang lain. Kisahnya hanya berkisar pada pencarian koleksi buku-buku Padi, seorang lelaki paruh baya. Koleksi buku-buku Padi dijual paksa oleh bapaknya kepada seorang pengumpul barang-barang bekas. Padi, yang baru tiba di rumah bapaknya, bersikeras agar buku-buku itu dicari kembali karena buku-bukunya tidak dijual.

Pada bab-bab awal membaca buku ini, saya gemas akan sikap Padi. Secinta-cintanya saya pada buku, toh saya kadang-kadang menjual bahkan membagikan buku-buku itu. Apalagi buku-buku pelajaran SD, entah sudah berada di mana. Tetapi, Padi, sama sekali tak membolehkan satu pun bukunya dijual. Ia menyuruh Gading, putra semata wayangnya, untuk mencari buku-bukunya lagi. Jika Gading tidak bisa mendapatkan kembali buku-buku itu, maka Padi akan menjual koleksi gitar Gading. Gading mencari buku-buku itu bersama Kingkin, sepupunya. Proses pencariannya yang berliku-liku, membuat saya gemas. Terlebih membaca kekeraskepalaan Padi. Padahal, buku-bukunya itu dijual ke tempat-tempat mulia: sekolah dan bakti sosial. Kenapa sih buku-bukunya tidak boleh dijual?

Gading pun sempat bertanya-tanya mengapa ayahnya begitu bersikeras menginginkan bukunya kembali? Buku-buku itu adalah buku-buku lama yang sudah tidak dibaca kembali. Ia bahkan kerepotan harus membersihkan buku-buku itu dari debu. Kakeknya pun menyebut buku itu sebagai “rosok” alias rongsokan. Toh, buku-buku itu dijual ke sekolah-sekolah yang membutuhkan. Kalaupun sekadar menjadi pembungkus tempe, buku-buku itu tetap lebih bermanfaat daripada hanya menghuni lemari berdebu.

Menurut bocoran juri, novel ini menjadi pemenang pertama karena memiliki ide yang unik. Menurut saya memang demikian adanya. Sepengetahuan saya, belum pernah ada penulis yang menulis cerita tentang kecanduan seseorang terhadap buku sampai-sampai koleksi bukunya tidak boleh dijual. Sebagai pecinta buku, saya jadi merasa tersentil karena kadang-kadang masih menjual koleksi buku-buku saya kalau sedang BU alias Butuh Uang. Saya juga sering memberikan koleksi buku-buku saya sebagai hadiah, terutama buku-buku yang kurang saya minati, hehehe….. Menurut saya sih,  buku-buku itu lebih baik dijual kepada pembaca yang lebih membutuhkannya daripada saya anggurkan.

Apalagi buku pelajaran zaman SD, SMP, SMA, hadeeeuuuh… buat apa lagi disimpan? Nah, itu dia, simak jawaban Padi berikut ini:

“Buku-buku pelajaran itu adalah saksi bisu perjuangan bagi para murid sekolah. Ketika mereka dewasa, telah bekerja, telah menemui takdir masing-masing, telah berkeluarga, bahkan mungkin melanglang buana ke seluruh penjuru dunia, mereka akan ingat bahwa segala yang mereka peroleh sekarang ini dulunya berawal dari titik ini. Dari rumah, dari sekolah kecil mereka. Buku-buku itu saksinya. Tulisan semrawut, tidak rapi, dan buruk rupa itu adalah hasil coretan mereka. Ketika memori itu telah mulai meninggalkan mereka, buku-buku itu membantu mereka memanggil kembali memori itu. Dan itulah yang membuat mereka tersenyum di hari tua.” (halaman 22)

Di sini saya merasa terharu, teringat akan buku-buku pelajaran zaman SD, SMP, dan SMA yang penuh coretan dan gambar tangan. Dulu, saya suka mencoret halaman-halaman kosong di dalam buku-buku pelajaran itu. Ah, bila saja saya menyimpan buku-buku itu seperti yang dilakukan Padi, tentu saya teringat kembali kenangan-kenangan masa kecil dan remaja yang sudah jauh meninggalkan saya.

Lalu, apakah Gading dan Kingkin berhasil menemukan koleksi buku-buku Padi? Penulis sengaja membuat adegan-adegan yang menggemaskan, mengulur-ulur proses penemuan buku-buku Padi, mempertemukan Gading dan Kingkin pada kejadian-kejadian yang lucu sekaligus melelahkan. Saya jadi teringat pada film “Children of Heaven” besutan sutradara asal Iran tentang usaha seorang anak laki-laki mendapatkan sepatu sekolah. Ya, seperti itu pulalah penulis mempermainkan Gading dan Kingkin dalam usahanya mendapatkan buku-buku Padi.

Hanya saja, seperti sebagian besar penulis pemula, penulis buku ini juga terjebak pada adegan-adegan nyaris klise dan kebetulan, terutama pada halaman 131-135, saat Gading nyaris tertabrak truk (saya sering menemukan adegan tokoh yang ditabrak kendaraan di film-film televisi :D), dan kebetulan bertemu Doni, orang yang menjual buku-bukunya ke sekolah-sekolah. Walaupun begitu, akhir kisah novel ini sangat manis dan menjawab pertanyaan, mengapa Padi bersikeras untuk tidak menjual buku-bukunya, sekalipun itu ke sekolah-sekolah dan bakti sosial. 

Muatan islami di novel ini sangat kental, termasuk anjuran untuk membaca yang termuat di dalam Al Quran. "Wahyu yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca," Padi melanjutkan jawabannya sambil tetap memegangi bukunya erat-erat. "Iqra'! Jibril bahkan harus mengulangi perintah ini hingga tiga kali. Lalu, bagaimana mungkin saya tidak memuliakan aktivitas membaca? Tuhan yang memerintahkannya." (halaman 7)

Dan sebagaimana kata Afifah Afra yang memberikan endorsement, “Ide novelnya sangat unik, lain daripada yang lain. Pilihan katanya juga efektif dan segar. Novel ini merupakan otokritik yang brilian. Namun begitu, saya tetap merasa sangat terhibur dan tak bisa beranjak sampai lembar terakhir.” Novel ini memang mengandung kritik, terutama bagi Anda yang tidak suka membaca buku dan suka meloakkan buku-buku, sekalipun itu buku pelajaran SD, koran-koran, dan majalah bekas.  



4 komentar:

  1. Kemarin sempat nonton rekaman bedah bukunya di IBF Jakarta. Baca resensi Mbak Leyla tambah penasaran jadinya..

    BalasHapus
  2. Konstruksi pemikiran yang dibangun di novel ini begitu lembut... tokoh antagonis dan protagonis sama2 memiliki alasan. Konfliknya rapi, meski memang ada beberapa kejadian yang mengganggu jalannya cerita. Juga eksplorasi bahasa masih belum kuat. Seandainya bisa dikemas lebih matang lagi, novel ini bisa luar biasa.

    BalasHapus
  3. waaaahhh...udah diterbtikan aja. Perasaan baruuu aja pengumuman. Padahal cuma perasaannya saja ya, waktu yang tak terasa.
    Aku mau beli juga ah kapan-kapan. Aku selalu pingin baca tulisan2 pemenang lomba menulis novel :D

    BalasHapus
  4. kepingin juga buku ini.. Mbak Ela mau jual nggak? :D

    BalasHapus