Sabtu, 10 Mei 2014

Stiletto Merah, Senyawa Cinta, Alasan Sentimentil


Judul: Stiletto Merah, Senyawa Cinta, Alasan Sentimentil
Penulis: Lusi Wulan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Jakarta, 2012
Jumlah Halaman: 192
ISBN: 978-979-22-8212-2

Kodrat adalah suara alam.  Memenuhinya adalah pilihan. (halaman 5)

Blurb:
Teori senyawa cinta menyebutkan persenyawaan dua insan pecinta menghasilkan se(buah) nyawa turunan. Teori ini eksis dari zaman primitive hingga mungkin akhir zaman, di belahan bumi mana pun. Termasuk pria di sebelahku, si dia tercinta. Sayangnya tidak diriku. Sampai seorang wanita dengan se(buah) nyawa balita mencuri perhatian si dia. Aku pun melakukan sesuatu yang melibatkan stiletto merah yang kumasukkan ke dalam salah satu unsur senyawa cinta kami.


Genre metropop telah menjadi bagian dari novel popular Indonesia sejak beberapa tahun lalu, di mana tokoh-tokohnya berfokus pada seorang perempuan usia 25-35 tahun, berkarir, dan memiliki selera fashion yang tinggi. Penuturan novel-novel yang masuk ke genre ini sangat ringan, layaknya seorang warga perkotaan yang tengah bertutur. Dengan permasalahan yang khas perkotaan, maka novel metropop memang sesuai dengan labelnya: metro dan pop.

Lusiwulan menjadi salah satu penulis yang masuk ke genre metropop, dan novel ini adalah novel  ketujuhnya. Bercerita tentang tokoh “aku” yaitu Runa, seorang wanita matang yang telah menikah tapi tak mau memiliki anak. Alasan sentimentilnya adalah, dia belum bisa menerima kehadiran anak sehingga tak mau kelak tidak dapat memperlakukan anaknya sebaik mungkin. Suaminya, Dandre, sangat ingin memiliki anak setelah empat tahun pernikahan mereka.

Runa memiliki trauma masa lalu, karena berasal dari keluarga berantakan. Dia merasakan menjadi anak terbuang, yang harus mati-matian mencari nafkah dan membiayai sekolahnya sendirian. Dia tak mau anaknya kelak semenderita dirinya. Baginya, menikah tak harus memiliki anak. Akan tetapi, pendiriannya mulai goyah ketika Dandre yang semula sepakat untuk memunda memiliki momongan, tiba-tiba sangat ingin mempunyai anak setelah berhubungan dengan seorang kliennya, seorang janda beranak satu. Runa pun merasa terancam. Dia harus mengalihkan perhatian Dandre. Segala macam cara dicoba, termasuk mengenakan stiletto merah yang konon bisa menampakkan keseksian seorang wanita.

Sayangnya, Dandre masih belum bisa melupakan keinginannya memiliki anak. Belakangan, Runa pun mendapatkan desakan dari mertuanya agar segera memiliki momongan. Runa, yang menjunjung tinggi ideology feminis yang dianutnya, mulai berkompromi terhadap budaya timur. Menikah dan punya anak. Dia mencoba menumbuhkan naluri keibuannya dengan menjadi sukarelawan di rumah penitipan anak. Bahkan, dia sempat ingin mengadopsi seorang anak. Dia juga sempat tak meminum pil kontrasepsi yang selama ini diandalkannya untuk menghalangi kehadiran anak. Apakah dia bisa memiliki anak?

Saya cukup memiliki ekspektasi yang tinggi ketika membeli novel ini. Nama Lusiwulan cukup sering disebut di goodreads sebagai pencerita yang baik. Sayangnya, saya baru sekali ini saja membaca novelnya, jadi belum bisa menyimpulkannya sebagai pencerita yang baik. Bagaimana review saya atas novel ini? (berbelit-belit banget sih ini ngomongnya? :D)

Kover
Kovernya cukup sederhana, dengan gambar kopi, boneka teddy, dan sekuntum mawar merah. Belakangan ini, ada beberapa novel dengan gambar kopi. Kopi adalah salah satu minuman khas warga perkotaan. Teddy bear menyimbolkan anak-anak, sedangkan mawar merah adalah simbol cinta. Gambaran kover ini ada kaitannya dengan isi novelnya. Sayangnya, kover ini tidak terlalu menarik perhatian pembaca, bila dibandingkan dengan kover novel metropop lainnya. Bahkan saya tidak bakal tahu kalau ini novel metropop kalau tidak melihat logo “metropop” di belakang kover.

Gaya Bahasa
Sebagaimana novel metropop lainnya, gaya bahasanya biasa saja, cenderung “tell” daripada “show.” Karena memang si tokoh “aku” ini tengah bercerita mengenai diri dan kehidupannya. Dan mungkin karena saking seringnya membaca novel jenis ini, saya langsung disergap kebosanan di awal cerita. Membaca novel ini tidak akan menyumbang perbendaharaan kosa kata, karena gaya bahasanya menggunakan bahasa sehari-hari.

Karakter Tokoh
Runa, wanita matang berusia 30-an yang menganut gaya hidup feminis. Menikah, tapi tidak mau punya anak. Dominansinya sangat terlihat, karena Dandre, suaminya, sangat penurut. Dia tidak perlu minta ijin Dandre setiap melakukan tindakan apa pun, justru Dandrelah yang selalu berkompromi terhadapnya.

Dandre, suami baik hati yang menerima segala perlakuan istrinya. Malahan jadi terlihat “lemah” karena tidak bisa menuntut Runa untuk punya anak. Setelah empat tahun menikah, rasanya wajar saja jika seorang suami ingin memiliki anak dari istrinya.

Konflik
Konflik terjadi ketika Selina masuk ke dalam kehidupan Dandre dengan membawa anaknya yang masih balita. Selina seorang janda dan sepertinya tertarik dengan Dandre. Itulah yang membuat Runa mulai mempertimbangkan prinsipnya lagi, untuk tidak punya anak. Dia mulai berkompromi, barangkali memang sudah waktunya untuk punya anak. Sayangnya, konflik Selina ini kurang tergarap maksimal, karena Dandre tipe cowok setia dan sama sekali tidak perlu dikhawatirkan. Konflik yang tergarap justru pergulatan batin Runa sendiri ketika memutuskan untuk punya anak. Sebagai pembaca, saya sebenarnya tidak mengerti bila ada seorang perempuan yang telah memiliki karir bagus dan suami baik hati, tapi tidak mau punya anak setelah empat tahun menikah.

Alasan Runa untuk tidak mau punya anak cenderung dangkal. Kurang digali oleh pengarang. Barangkali jika dipaparkan lebih dalam mengapa Runa benar-benar tidak mau punya anak, cerita ini akan lebih memberikan pengetahuan baru. Misalnya, Runa mengidap sindrom ego tingkat tinggi sehingga tidak bersedia membagi kehidupannya dengan manusia baru, atau masa lalu Runa yang kurang perhatian orang tua itu dijelaskan lebih jauh, atau apa pun yang bisa membuat saya menerima alasannya untuk tidak punya anak. Barangkali memang begitulah masyarakat perkotaan, hanya mau menikah tanpa mau punya anak.

Setting
Daerah perkotaan. Tak perlu berharap banyak akan setting dari novel tipis ini.

Untung saja novel ini tipis dan bahasanya ringan, jadi saya bisa selesai membacanya.




1 komentar:

  1. Baru dengar nama Lusiwulan, dan ini adalah novel ketujuhnya? wah, saya benar-benar ketinggalan :D

    BalasHapus