Selasa, 20 Januari 2015

Nur Jahan: the Queen of Mughal


Judul: Nur Jahan the Queen of Mughal
Penulis: Indu Sundaresan
Penerbit: Hikmah (PT. Mizan Publika)
Tahun Terbit: Cetakan I, Mei 2008
Jumlah Halaman: xvi + 684
ISBN: 979-979-114-179-5

Kejahatan terbesar di dunia literasi adalah buku yang tidak dibaca. Selama beberapa tahun, saya sudah berbuat jahat terhadap buku ini karena membiarkannya teronggok di rak  buku dengan hanya membaca dua bab pertama. Dulu, saya dibuat capai oleh tuturan penulis yang padat deskripsi. Minggu lalu, akibat menonton film serial Jodha Akbar yang mengangkat kisah kesultanan Islam Mughal di  India, saya tertarik untuk membaca kembali novel ini. Saya mengira akan menemukan kisah tentang Ratu Jodha, ternyata tak ada. Hanya disebut nama Ratu Ruqayya, rival Ratu Jodha, yang juga istri kesayangan Raja Akbar. Nur Jahan: the Queen of Mughal tidak berkisah tentang Ratu Jodha, melainkan Ratu Nur Jahan, istri kedua puluh Raja Jahangir, putra Raja Akbar. Kisah Raja Akbar diceritakan sekilas, bahwa kerajaannya diambil paksa oleh Raja Jahangir, putra kesayangannya.


Kisah ini adalah kisah pembuka dari rentetan sejarah Taj Mahal, bangunan fenomenal di India yang menjadi saksi bisu kejayaan kesultanan Islam Mughal. Taj Mahal adalah nama lain dari Arjumand Banu, keponakan Ratu Nur Jahan yang kelak akan menggantikan Ratu Nur Jahan naik takhta melalui sederet pertumpahan darah yang dilakukan oleh Raja Syah Jahan, suami Arjumand Banu. Taj Mahal boleh menjadi bangunan bersejarah, tetapi penulis novel ini mengatakan bahwa Mehrunnisalah atau Ratu Nur Jahan, yang lebih bsanyak memiliki peran dalam sejarah kesultanan Mughal. Seorang wanita yang dapat mengendalikan Sultan, hingga tunduk patuh kepadanya.

Mehrunnisa, sudah menjadi cinta pertama Pangeran Jahangir sejak masih belia. Di usia belasan, Mehrunnisa bekerja pada Ratu Ruqayya, mengasuh Pangeran Khurram, putra Ratu Jagat Gossini, istri Pangeran Jahangir. Di zaman itu, amatlah biasa seorang Raja dan Pangeran memiliki banyak istri. Ratu Jagat Gossini berseteru dengan mertua tirinya, Ratu Ruqayya. Ratu Ruqayya yang tak memiliki anak, bersikeras mengasuh cucu tirinya, Pangeran Khurram, dan diijinkan oleh Pangeran Jahangir. Hingga kemudian, Jahangir naik takhta dan Ratu Jagat Gossini menjadi Padhsah Begam, atau Ratu Utama.

Di usia belasan itu, Mehrunnisa sudah jatuh cinta kepada Pangeran Jahangir, begitu juga sebaliknya. Tetapi, Ratu Ruqayya tak membiarkan cinta itu berkembang. Ia menikahkan Mehrunnisa dengan Ali Quli, seorang prajurit. Dari pernikahan itu, Mehrunnisa dikaruniai seorang anak perempuan bernama Ladhli. Sedangkan Pangeran Jahangir yang diangkat menjadi Raja, menikah sebanyak 19 kali. Hal yang biasa pada zaman itu, belum ditambah dengan harem-haremnya yang dikumpulkan di dalam zenana. Zenana ini adalah istana para perempuan, tak boleh ada lelaki dewasa pun yang memasukinya kecuali Sultan dan para kasim (lelaki yang sudah dikebiri sehingga tak punya nafsu syahwat lagi). Tentang kasim-kasim ini, menjawab pertanyaan saya mengapa di film Jodha Akbar, banyak laki-laki berpakaian wanita yang melayani istri-istri Raja? Rupanya, itulah kasim-kasim yang ditugaskan menjaga para istri raja. Mereka memiliki kekuatan laki-laki yang dapat melindungi para wanita, tetapi tak memiliki nafsu syahwat sehingga tidak membahayakan.

Istri-istri Raja dan Pangeran digambarkan mengenakan cadar bila hendak meninggalkan zenana dan tak boleh ada seorang lelaki pun yang diperkenankan memandang wajah mereka. Pakaian mereka sangat tertutup, hingga tak ada seorang lelaki pun selain Sultan, yang dapat menggambarkan seperti apa wajah ratu. Terkurung di istana dan harus mengenakan cadar, pastilah kita mengira para istri itu tidak memiliki kebebasan. Sebaliknya, mereka memiliki kekuasaan yang luas ke seantero negeri, karena mendapatkan kekayaan dari hasil perdagangan. Kekayaan para istri itu tak dapat ditandingi oleh wanita biasa, yang bebas berkeliaran di jalan-jalan.

Di usia 34 tahun, Ali Quli meninggal karena dibunuh dan Mehrunnisa menjadi janda. Sultan Jahangir tak menyiakan kesempatan itu untuk menikahi wanita yang dicintainya. Mehrunnisa menjadi istri ke-20 dan mendapatkan gelar Nur Jahan (Cahaya Dunia). Walaupun sudah menikah 20 kali, istri Sultan Jahangir yang masih bersamanya hanya dua: Ratu Jagat Gossini dan Nur Jahan. Kedua ratu ini pun bersaing memperoleh kedudukan istimewa di mata Sultan. Sayangnya, cinta Sultan Jahangir sudah dirampas semuanya oleh Mehrunnisa, yang memiliki kecantikan luar biasa. Digambarkan bahwa Mehrunnisa memiliki sepasang mata biru yang sangat indah. Walaupun sudah janda dan usianya juga sudah tua, Mehrunnisa tak terlihat seperti wanita yang tua.

Saking cintanya kepada Mehrunnisa, Sultan Jahangir tanpa sadar meletakkan kepemimpinannya di tangan Mehrunnisa. Ratu Jagat Gossini pun disingkirkan, tak lagi menjadi Padhsah Begum. Semua keputusan Sultan dibuat atas persetujuan Mehrunnisa. Hal yang tidak lazim bagi adat dan tradisi kala itu di mana wanita tak memiliki  harga, tak seharusnya mengendalikan kesultanan. Banyak bangsawan istana yang protes diam-diam. Konflik mulai memanas ketika Mehrunnisa hendak menjodohkan Pangeran Khurram dengan Ladhli, padahal Pangeran sudah menikah dengan Arjumand Banu, keponakan Mehrunnisa. Hal itu agar kelak Mehrunnisa masih dapat mengendalikan pemerintahan, sekalipun Pangeran Khurran sudah naik takhta. Peperangan antar saudara pun terjadi, disertai intrik-intrik khas kerajaan. Betapa mengerikan, demi takhta, seorang adik tega membunuh kakak dan adiknya.

Sepanjang cerita, saya dibuat gemas oleh kecerdikan dan kelicikan Mehrunnisa. Sebagai seorang penganut monogami, rasanya gemas membayangkan istri ke-20 lebih berkuasa dibandingkan istri ke-2. Jagat Gossini adalah istri kedua Raja Jahangir, tetapi posisinya seketika bergeser setelah Jahangir menikahi Mehrunnisa. Saya dapat membayangkan kesedihan Jagat Gossini karena suaminya lebih betah tinggal di kediaman Mehrunnisa yang cantik dan menggairahkan. Lebih gemas lagi tatkala Mehrunnisa berusaha mengendalikan pemerintahan di belakang punggung suaminya. Mehrunnisa melakukan segala daya dan upaya untuk mempertahankan takhta.

Sebagai seorang sultan dari kerajaan Islam, gaya hidup Sultan dan anak-anaknya pun seolah tidak mencerminkan ajaran Islam. Sering disebutkan bahwa Sultan melakukan salat menghadap Mekkah, tetapi juga kerap minum anggur (minuman keras) dan mengisap opium sampai mabuk. Belum lagi dengan koleksi harem (selir atau gundik) yang ribuan jumlahnya yang sebagiannya beragama Hindu, sedangkan Sultan seorang muslim. Bukankah dalam Islam, pernikahan berbeda agama itu dilarang? Sultan juga merayakan Holi, hari raya agama Hindu. Beberapa adegan menggambarkan Pangeran Khurram bermain-main dengan harem-haremnya, ketika Arjumand sedang sakit. Barangkali, itulah budaya pada masa itu di mana wanita masih diperjualbelikan sebagai budak, dan budak boleh digauli layaknya suami istri. Bukan hanya terjadi di dalam kerajaan Mughal, tapi juga di seluruh kerajaan Asia (Cina, Korea, Jepang, dll), Afrika, bahkan Eropa. Syukurlah, saya lahir di masa perbudakan sudah dihapuskan.

Sultan adalah gambaran pemerintahan Khilafah pada masa itu. Mestinya, kehadiran kesultanan berfungsi untuk menyebarkan agama Islam, tetapi cerita di dalam novel ini justru menggambarkan keburukan-keburukan Sultan dan anak-anaknya. Kecuali dua, Sultan Jahangir digambarkan sebagai raja yang adil. Beliau membuat sebuah rantai yang panjang dengan 19 bel yang berbunyi super kencang. Siapa saja yang ingin mengadukan ketidakadilan yang menimpanya, dapat membunyikan bel itu. Sultan akan segera melayani karena bel itu bergema ke seluruh istana. Sultan juga melakukan dengar pendapat setiap hari di Jharoka (semacam balai sidang), siapa pun boleh mengajukan pendapat bila beruntung dipilih oleh Sultan.

Setelah saya mencari referensi mengenai sejarah kesultanan Islam Mughal, ternyata memang pada masa pemerintahan Sultan Jalal Akbar, Jehangir, dan Syah Jahan, diterapkan sistem pemerintahan Toleransi Universal. Hukum syariah hanya ditegakkan di pengadilan, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari diabaikan. Di satu sisi, sistem toleransi universal ini dapat menyatukan seluruh India karena Sultan membaur dengan masyarakat India yang plural. Di sisi lain, tentu saja kesultanan menjadi tidak mencerminkan Islam, meskipun label Sultan itu identik dengan pemerintahan Islam.

Sayangnya, novel ini lebih terfokus pada konflik perebutan kekuasaan. Entah apakah karena penulisnya bukan seorang muslim, jadi titik berat cerita lebih banyak pada intrik-intrik perebutan kekuasaan. Karena itu saya ingin sekali membaca cerita sejarah Islam dari sisi keislamannya, ditulis oleh penulis muslim yang memandang kesultanan dari sisi lain. Dulu saya pernah membaca buku nonfiksi tentang sejarah Islam yang menyebutkan bahwa kejatuhan kerajaan-kerajaan Islam disebabkan oleh buruknya akhlak pemimpim-pemimpin Islam di akhir kekhalifahan, yaitu suka mabuk, bermain wanita, membunuh, merampok harta rakyat, dan lain sebagainya. Wallahu’alam bisshawab. Yang pasti, saya semakin tertarik ingin membaca lebih banyak lagi mengenai sejarah kekhalifahan Islam.

Bila awalnya saya tersendat-sendat membaca novel ini, setelah selesai saya malah ingin membaca novel-novel lain yang sejenis. Terutama dari sisi harem-harem sang raja. Saya merasa ada kemiripan kisah ini dengan kisah Raja Suleiman yang kisahnya ditayangkan di televisi dengan judul “Abad Kejayaan.” Di sana juga diceritakan persaingan antara ratu pertama dengan istri baru raja yang seorang budak Polandia bernama Hurrem. Apakah semua kesultanan memiliki jalan cerita yang mirip berupa perebutan takhta dan intrik di antara ratu-ratunya? Ataukah cerita-cerita itu hanya khayalan para novelis?  Nah, ditunggu bantahan dari penulis-penulis muslim mengenai kebenaran sejarah yang sesungguhnya.

5 komentar:

  1. Ngeri yya kalau baca kehidupan sultan2 dulu dan haremnya...

    BalasHapus
  2. Aku pernah baca Taj Mahal. Sungguh mengharukan.
    Pengen baca ini juga ah

    BalasHapus
  3. Saya sudah lama membaca seri novel Nur Jahan ini, mulai dari Mehrunisa (menceritakan sosok nur jahan sebelum masuk istana), kemudian Nur Jahan (menceritakan kehidupan Nur Jahan setelah masuk istanan hingga menjadi ratu), lalu Jahanara (menceritakan kehidupan sultan Syah Jahan dan Mumtaz Mahal, pendirian Taj Mahal dan kehidupan Jahanara, putri sulung Syah Jahan dan Mumtaz Mahal).
    Menurut catatan penulisnya, beliau sudah melakukan riset sejarah pada saat menulis novel tersebut, jadi mungkin memang tidak banyak jejak sejarah kebesaran islam saat itu yang bisa ditemukan. Saya sendiri penasaran dengan sejarah perkembangan islam pada masa kesultanan mughal ini (yg notabene merupakan kesultanan islam terbesar sepanjang sejarah india).

    BalasHapus
  4. Memang menarik kalau mempelajari cerita sejarah2 kerajaan islam maupun sejarah lainnya dibelahan bumi ini. Hanya saja kurang jelasnya sumber atau keautentikan dari cerita sejarah tsb trkadang membuat prtanyaan dan tanda tanya besar akan kebenaran yg sesungguhnya. Karena memang tdk dpt dipungkiri pasti ada saja pihak (tokoh2 dlm sejarah) yg berusaha menyulitkan trtulisnya sejarah tsb dizaman itu. Saya yg masih berumur 17thn pun ingin sekali menggali sebanyak-banyaknya ilmu baru, Salam kenal untuk semua~

    BalasHapus
  5. Sejarah selalu memihak penguasa..

    BalasHapus