Minggu, 24 Maret 2013

Always Be in Your Heart


Ibarat sebuah tubuh, bagaimanakah bila ada satu bagian tubuh yang terlepas? Tentu rasanya sakit. Seperti itulah rasanya saat Timor-Timur melepaskan diri dari Indonesia setelah referendum tahun 1999. Terbayang perjuangan menyatukan Tim-tim ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memakan nyawa ratusan ribu rakyat Timor-Timur dan para Tentara Republik Indonesia yang gugur. Tentu ada perbedaan pandangan mengenai penyatuan Timor-Timur ke dalam NKRI. Kelompok Pro Integrasi menganggap TRI sebagai pahlawan yang membebaskan mereka dari penjajahan Fretilin (pro komunis). Bila membaca sejarah yang tercatat, tahun 1975, Timor-Timur ditinggalkan oleh Pemerintah Portugis yang sebelumnya berkuasa, dan dibiarkan tanpa pemerintahan. Sementara itu, kelompok radikal Fretilin, terus menebar terror, membunuh rakyat Tim-Tim yang tidak pro kepada mereka. Sehingga kelompok pro integrasi meminta bantuan pemerintah Indonesia untuk melawan Fretilin. Kemenangan berada di pihak TRI dan Tim-Tim pun menjadi bagian dari NKRI pada tahun 1976 sebagai provinsi ke-27.


Namun, di pihak Fretilin, Indonesia adalah penjajah. Sebuah sebutan yang sangat menakutkan, sementara rakyat Indonesia sendiri juga pernah merasakan dijajah ratusan tahun oleh Belanda. Kedatangan TRI ke Tim-Tim adalah untuk merebut paksa wilayah Tim-Tim, dan selama masa pemerintahannya, TRI banyak menyiksa rakyat Tim-Tim yang Pro Fretilin. Dipenjara, disiksa, dan dibunuh. Apakah rakyat Indonesia di luar Tim-Tim mengetahui hal ini? Pada masa pemerintahan orde baru di mana pers tidak sebebas sekarang, informasi disembunyikan demikian rapat. Bahkan mungkin kelompok hak asasi manusia tak mampu berbuat apa-apa, karena pemerintah Indonesia begitu menekan. Siapa bersuara, akan mati atau hilang tak tentu rimbanya. Terbukti, ketika Presiden Habibie menawarkan referendum, kelompok Fretilin menang mutlak sehingga Timor-Timur terlepas dari NKRI. Mayoritas penduduk Timor-Timur yang menghendaki referendum, mengatakan bahwa kemenangan itu berarti kemerdekaan Timor-Timur. Tahun 2002, Timor-Timur resmi dinyatakan sebagai negara merdeka dan mengganti nama menjadi Timor Leste.

Terlepas dari intrik politik yang melatarbelakangi terlepasnya Timor-Timur dari NKRI, pernahkah terbayang kesedihan di antara rakyat Tim-Tim yang Pro Integrasi dan Pro Fretilin? Rakyat Tim-Tim yang Pro Integrasi, terpaksa harus meninggalkan Timor Leste, mengungsi ke Timur Barat yang masih dimiliki oleh NKRI. Barangkali, dan ini pasti, mereka harus meninggalkan anggota keluarga, saudara, tetangga, orang-orang tercinta yang memilih untuk menetap di Timor Leste. Bayangkan saja, meninggalkan tanah yang sudah ditempati sejak nenek moyang, rumah, kebun, harta benda, demi rasa setia terhadap NKRI. Namun, setibanya di Indonesia, tak ada perlakuan istimewa yang mereka terima. Mereka harus berjuang dari awal untuk menyokong hidup mereka sendiri. Satu per satu dari mereka menyerah pada keadaan, kembali ke  pelukan keluarga tercinta, mengingkari NKRI demi bisa memijakkan kaki kembali di Timor Leste.

Shabrina WS, begitu cerdasnya mengambil momen menyedihkan ini sebagai setting novelnya yang terbaru “Always Be in Your Heart.” Sebuah novel dengan aroma percintaan, genre yang sedang tren di ranah perbukuan kita saat ini. Ah, tema cinta tak pernah usang dituliskan.  Klise, tapi menjadi tak biasa manakala penulis novel romance mampu membidik latar cerita yang tak biasa. Proses jatuh cinta antara seorang lelaki dan wanita, barangkali memiliki kemiripan di antara satu kisah dengan kisah yang lain. Jatuh cinta dengan tetangga, teman sekolah, musuh bebuyutan, tak terhitung penulis yang mengisahkan hal yang nyaris sama, berulang-ulang? Bosankah kita? Tentu tidak, bila penulis piawai menyajikan tema yang klise ini. Simaklah bait-bait puisi yang membuka novel setebal 236 halaman ini:

Kita punya cinta yang sama,
Tetapi memilih jalan yang berbeda.
Aku selalu menunggumu dari matahari di timur
hingga matahari di barat.
Aku telah melewati musim yang berganti berulang kali
Namun, kau tak pernah hadir di sini.
Kini, ketika aku ingin pulang ke  hatimu,
Masihkah pintunya terbuka untukku?

Marsela dan Juanito, sepasang anak manusia yang melewati masa kecil mereka dengan indah di Timor Leste, bersama aroma kopi Emera. Pelan-pelan timbul ketergantungan di antara keduanya, yang tak terucap kata, tetapi bermakna. Sebuah cinta biasa yang mudah terjadi pada lelaki dan wanita berlainan jenis, bila kerap bersama. Shabrina WS seakan menguasai betul latar Timor Leste, lengkap dengan beberapa kata dalam bahasa Timor Leste. Tak membuat pembaca mengerutkan kening, karena Shabrina tahu mana kata yang boleh disebutkan dalam bahasa Timor Leste dan porsinya, sehingga tanpa melihat kamus pun, pembaca sudah bisa menebak-nebak apa artinya.  

Gaya menulis Shabrina yang lembut, puitis, romantis, tetapi mudah dicerna, membuat kita terbawa pada romansa percintaan Marsela dan Juanito yang sopan tanpa berlama-lama membuka halaman tiap lembarnya. Tak ada aroma vulgar sama sekali, justru kental dengan tata krama. Bagaimana Apa (ayah Marsela), mengajarkan putri semata wayangnya untuk menjaga jarak dengan Juanito, setelah putrinya menjadi gadis remaja.

“Sela sudah menjadi gadis sekarang, Tia…” ucap Marsela, lirih. Tia Tika mendengar sambil memiringkan kepalanya. “Apa tidak mengizinkanku berdekatan dan bersentuhan dengan lawan jenis atau orang asing.” (halaman 39)

Hingga waktu berlalu dan Juanito melanjutkan kuliah di Dili sambil tetap menyimpan cintanya kepada Marsela. Selepas Marsela lulus SMA, Juanito melamar Marsela tanpa basa-basi. Nilai moral yang jarang ada pada remaja sekarang.

“Kamu mau, kan kita menikah?” Sekali lagi, Juanito bertanya. Marsela sungguh tak siap. Dia bahkan tidak pernah membayangkan kalau tiba-tiba akan dilamar seperti itu. (halaman 63)

Namun, referendum mengubah segala. Ayah Marsela memilih untuk setia pada NKRI dan mengungsi ke Timor Barat, sedangkan keluarga Juanito memilih bertahan di rumah mereka di Timor Leste, yang berarti pro pada Fretilin. Marsela dan Juanito, yang sudah menyusun rencana pernikahan, terpaksa harus berpisah tanpa ada kepastian akan bertemu. Hingga ayah Marsela meninggal dunia dan Marsela bertahan seorang diri, tinggal di pengungsian, sambil menatap Timor Leste di kejauhan dan berharap bisa bertemu kembali dengan Juanito.

Mengapakah Juanito tak mencari tahu kabarnya?
Apakah Juanito telah menikah?
Bagaimana dengan Randu? Lelaki Padang yang menaruh hati kepada Marsela?
Siapa yang akan menjadi muara cinta Marsela?
Dan apakah dia akan tetap setia pada NKRI seperti ayahnya, atau mengikuti jejak rekan-rekannya di pengungsian yang memutuskan untuk kembali ke Timor Leste?

Nikmatilah novel ini sambil membayangkan harumnya aroma kopi Emera. Terbanglah bersama Shabrina WS ke tahun 1999, saat referendum terjadi. Posisikan diri Anda sebagai bagian dari warga Timor Leste yang terpaksa berpisah dengan sanak saudaranya, bahkan kekasihnya, demi sebuah kata: setia. 

3 komentar:

  1. Terima kasih Mbaaak...sudah membaca dan membuat catatannya.
    Btw, aku juga membayangkan kopi Ermera :D

    BalasHapus
  2. Hai,mbak...rasanya kok kepengin baca novelnya. Can I get in free :D hihihi. Just kidding mbak :)

    BalasHapus
  3. covernya cantik :D

    visit my blog ^_^
    www.LuchLuchCraft.com
    My online store ^_^
    www.TokoLuchLuchCraft.biz

    BalasHapus