Rabu, 24 September 2014

Cintai Aku Meski Kutak Sempurna

Sumber: Indiva

Judul: Cintai Aku Meski Kutak Sempurna
Penulis: Ali bin Nayif asy-Syuhud, Muhammad Nabil Kadzim
Penerbit: Indiva, Sakina
Tahun terbit: Cetakan Pertama, Oktober 2013
Jumlah Halaman: 264
ISBN: 978-602-8277-05-1

Pernikahan adalah mahligai yang diimpikan oleh para jomblo, tetapi benarkah ikatan itu seindah impian? Jika iya, mengapa belakangan ini kita banyak mendengar kasus-kasus perceraian yang dilakukan oleh public figure? Sementara di berita-berita kriminal pun tak kalah hebohnya: istri membunuh suami, suami memutilasi istri, istri berselingkuh dengan suami tetangganya, suami sering “jajan” di luar? Mengapa keindahan pernikahan terasa hanya sekejap saja?


Barangkali karena tak sempat mencari ilmu, membaca buku-buku bertema pernikahan yang akan membimbing kita memasuki mahligai cinta. Kita terlalu terburu-buru ingin mengecap nikmatnya, tanpa menyadari bahwa di balik manisnya juga tersimpan rasa pahit. Untuk itulah, buku ini hadir, yang ternyata adalah gabungan dari dua buku yang ditulis oleh dua penulis berbeda. Cintai Aku Meski Tak Sempurna, dari judulnya saja kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa semestinya kita bisa mencintai pasangan, baik itu kelebihan maupun kekurangannya.

Ironisnya, memang ekspektasi kita terhadap pasangan hidup sangat tinggi. Seperti Cinderella yang berharap dapat berjodoh dengan Pangeran. Ternyata setelah menikah kita baru tahu bahwa pangeran tak sesempurna yang kita bayangkan. Jika tak mampu berkompromi, hasilnya adalah perceraian, sesuatu yang dibolehkan tapi sangat dibenci Allah. Mengapa? Karena jika banyak terjadi perceraian, akan merusak tatanan masyarakat. Akan muncul anak-anak kurang kasih sayang orang tua akibat orang tuanya mementingkan urusannya masing-masing. Sudah banyak terjadi walau tak semuanya anak korban perceraian itu berakhlak buruk.

Menu pertama dari buku ini ditulis oleh Ali bin Nayif Asy Syuhud, berisi empat poin penting: jalan menuju kebahagiaan rumah tangga, dalil yang menuntun Anda menuju kebahagiaan rumah tangga, bagaimana cara membahagiakan istri Anda, dan bagaimana cara membahagiakan suami Anda. Membaca judul-judulnya saja kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa bahasan penulis lebih kepada prakteknya, dan berdasarkan pengalaman sehari-hari.

Penulis banyak memberikan saran kepada suami istri agar menghindari hal-hal yang dapat memancing percekcokan di dalam rumah tangga, misanya: jangan membawa masalah pekerjaan ke dalam rumah, jangan menjelekkan suami, jangan membangkitkan emosi suami, dan sebagainya. Kita diberikan arahan-arahan perbuatan yang menyenangkan pasangan. Beberapa kasus yang disajikan, ternyata pernah saya lakukan juga (sebagai istri). Contohnya:

“Ada lagi seorang istri yang selalu menyebabkan ketegangan urat syaraf di mobil, dan dia tidak membiarkan suaminya menyetir dengan tenang.” (halaman 29). Aiiih…. Kok bisa ya penulisnya mengambil kasus yang mirip dengan saya. Jadi nggak enak hati nih saya. Memang, saya sering ngerecokin suami yang sedang nyetir. Biasanya karena anak-anak rewel dan saya ikut berteriak. Alhasil, suami nyaris menabrak orang atau mobil orang lain, lho.

Untuk suami, ada juga nih sindiran penulis terhadap kebiasaan suami yang membuat istri kesal, contohnya: “Seorang suami yang meninggalkan kaus kakinya berserakan di lantai atau melemparkan handuknya yang masih basah di atas kasur tempat tidur.” (halaman 26). Nah, suami saya punya kebiasaan seperti itu sehingga kerap membuat saya kesal.

Di poin kedua, penulis memberikan tips memilih pasangan hidup, diantaranya yang memiliki kualitas agama baik, pecinta dan berpotensi melahirkan banyak anak, ahli ibadah, lemah lembut, sabar, menjaga diri, dan sebagainya. Untuk poin ini, sudah sering dibahas oleh penulis buku-buku pernikahan.

Penulis memberikan saran-sarannya secara gamblang dan tidak bertele-tele, tapi penggunaan kata “jangan” yang terus-menerus membuat saya agak terganggu. Seperti anak kecil yang sedang dinasihati oleh penulis, “jangan ini, jangan itu, jangan begini, jangan begitu…..” Saya suka saran dari penulis, bahwa menikah itu untuk mencari pahala Allah. Jadi, perlakuan kita kepada pasangan diniatkan untuk mencari pahala, sehingga seberat apa pun, rasanya akan ringan. Misalnya, seorang suami yang wajib mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Niatkan untuk mencari pahala Allah, niscaya tidak akan terasa berat.

“Sesungguhnya kamu tidak menafkahkan satu nafkah dengan mencari keridhaan Allah dengannya, kecuali kamu akan diganjar pahala karenanya, sampai satu suapan makanan yang engkau masukkan ke dalam mulut istrimu.” (Hadits muttafaq’alaih).

Begitu juga, seorang istri yang harus melayani suaminya di ranjang padahal sedang tidak bergairah, niatkan untuk mencari pahala Allah. Niscaya, pekerjaan itu akan menjadi ringan. Saya pernah mendengar berita seorang suami membunuh istrinya gara-gara sang istri sudah empat kali menolak berhubungan badan dengan suaminya. Itulah akibat yang harus diterima sang istri, jadi tidak murni kesalahan suaminya semata. Jangankan menolak empat kali, menolak sekali saja sudah dikutuk malaikat. Sebab, kewajiban istri adalah melayani suaminya. Kalau tidak mau, jangan menikah. Itu sudah konsekuensi pernikahan. Suami juga memiliki batas toleransi dalam memahami istri, apalagi kalau istri tidak punya kendala apa pun untuk melayani suaminya.

Penulis memberikan saran-sarannya secara seimbang, ditujukan untuk suami dan istri. Tak seperti buku pernikahan lain yang lebih banyak menuntut istri agar menyenangkan suami, di buku ini, suami juga dituntut agar lebih memahami dan menyenangkan istri. Misalnya, temani istri dalam kegiatan sosial dan jangan memaksakan pendapat kepada istri. Poin tiga dan poin empat, penting dibaca oleh suami dan istri karena isinya adalah cara-cara menyenangkan pasangannya. Ah, bila saja semua rumah tangga mempraktekkan saran penulis, pasti tidak ada lagi deh percekcokan dalam rumah tangga. Apalagi sampai terjadi perceraian.

Menu kedua ditulis oleh Muhammad Nabil Kadzim. Isinya lebih teoritis. Kok saya melihat ada kesalahan penempatan menu, ya? Harusnya menu kedua ini disajikan lebih dulu. Ini seperti sedang makan di restoran. Dessertnya dulu, baru makan besarnya. Menu kedua dimulai dengan arti dan hakikat pernikahan, faktor yang mendorong terjadinya pernikahan, macam-macam pernikahan, dan sebagainya. Jadi seperti sedang mengikuti kuliah agama. Lalu, kemudian dilanjutkan dengan tata cara meminang, akad nikah, hak dan kewajiban suami istri, sampai tata cara malam pengantin. Saya rasa bahasannya sudah banyak ditemui di buku-buku pernikahan sejenis. Kecuali di bagian akhir, ada bahasan yang berhubungan dengan judul bukunya. Salah satunya, Seni Menyelesaikan Masalah.

Di dalam setiap rumah tangga, pasti ada masalahnya. Tidak mungkin ada rumah tangga yang adem ayem terus. Di situlah tantangannya, bagaimana suami istri dapat menyelesaikan masalah rumah tangganya tanpa harus berpisah.

Akhir kata, buku ini wajib dijadikan referensi bacaan semua orang yang mau menikah ataupun sudah menikah, dan ingin menggapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar