Penulis:
Ariy
Penerbit:
B-First (imprint Bentang Pustaka)
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2013
Jumlah
halaman: xiv + 174
ISBN:
978-602-8864-72-5
“Kau bisa meninggalkan masa lalu, berlari
jauh darinya. Atau, kau bisa memasukkan masa lalumu ke dalam kotak besi baja,
menguncinya, membuang kotak itu ke palung laut terdalam, dan melontarkan
kuncinya ke belahan dunia lain. Tetapi, bisa apa kau pada masa lalu yang
mengalir di pembuluh darahmu?”
Sepertinya
saya salah membeli buku. Saya kira ini semacam novel travelling, gara-gara
membaca blurb di belakang buku. Saya belum mengetahui informasi tentang buku
ini, sampai seorang teman menawarkan buku-buku dengan diskon lumayan. Pilihan
saya jatuh pada buku karena judulnya yang berbeda dengan buku-buku kebanyakan.
Lalu, saya cari informasinya melalui twitter, dan ternyata hanya ada sedikit informasi.
Bak membeli kucing dalam karung, buku ini pun jatuh ke tangan saya.
Setelah
sampai di rumah, ternyata buku ini sejenis buku pengalaman travelling dari
penulisnya yang juga baru saya kenal. Barangkali saya yang kurang pergaulan
karena baru kenal. Sebenarnya, saya tidak terlalu suka membaca buku-buku
traveling. Bahkan, saya punya buku pengalaman traveling yang ditulis oleh
travel writer ternama, hasil dari hadiah lomba, yang hanya saya baca sekilas
dan melompat-lompat. Baiklah, karena saya sedang haus membaca, saya paksakan
membaca buku ini.
Oh,
tidaaaak! Kali ini berbeda. Pengalaman traveling penulisnya ditulis dengan
diksi memikat, tak sekadar seperti orang yang bercerita dengan bahasa
ceplas-ceplos. Penulis juga mengambil hikmah dari setiap perjalanan yang
dilaluinya, juga orang-orang yang bertemu dengannya. Saya pun sukses
menghabiskan membaca buku ini dalam semalam, walau tak benar-benar semalam
karena saya kan tidur juga.
“Dalam
setiap perjalanan itu, kami memunguti pelajaran, baik antarkami para travelers
maupun dari lingkungan yang kami datangi. Dunia itu sumber persoalan, tapi dari
memulai menjelajahi setiap jengkal dunia, saya menemukan lebih banyak
sumber-sumber kebaikan. Benar kata orang, traveling adalah persoalan proses dan
bukan lagi melulu destinasi. Proses memperkaya hati.” (halaman xi)
Ariy
memulai ceritanya dari keputusannya resign
(mengundurkan diri dari kantor). Sebelumnya ia bekerja sebagai jurnalis, tapi
hatinya merasa tidak nyaman bekerja di bawah tekanan. Saat masih bekerja,
kadang-kadang ia melakukan traveling dengan mengajukan cuti kantor. Akhirnya,
ia memutuskan untuk benar-benar menjadi traveler. Bekerja hanya untuk
mengumpulkan uang yang akan digunakannya untuk traveling.
Di
Chiang Mai, Ariy bertemu dengan Pop, seorang teman asli Thailand yang
dikenalnya di situs travelers dunia. Rupanya, para backpacker saling menjalin
hubungan dengan sesama backpacker di seluruh dunia melalui jejaring sosial. Di
sana, mereka akan memberitahukan destinasi berikutnya, misalnya Thailand, lalu
sesama travelers yang berasal dari Thailand akan menawarkan rumahnya sebagai
tempat menginap gratis. Dengan demikian, biaya tempat tinggal bisa
diminimalisir. Begitulah saat Ariy berkenalan dengan Pop. Pop menawarkan Ariy
untuk tinggal di tempatnya. Tak disangka, ternyata Pop adalah seorang penyanyi
terkenal di Thailand! Orangnya tampan (ada fotonya), tapi tidak banyak
tersenyum. Pantas saja sepanjang perjalanan, Pop selalu menundukkan wajah. Pop
menjadi travelers karena ingin bepergian ke tempat di mana tak ada seorang pun
mengenalnya.
Selain
Pop, Ariy juga berkenalan dengan Khum,
adik Pop. Dan ternyata, Khum bukanlah adik Pop, melainkan seorang pendatang
illegal dari Myanmar. Kondisi perpolitikan di Myanmar yang tak bagus membuat
banyak warganya melarikan diri ke Thailand. Tapi kalau ketahuan ya ditangkap
dan dikembalikan ke Myanmar. Ironisnya, bila masuk kembali ke Myanmar, mereka
akan dipenjara atau dihukum mati karena dituduh berkhianat. Duh, di dunia
demokrasi, ternyata masih ada pemerintahan kejam seperti itu. Khum pun menjadi
korban. Ditangkap oleh tentara Thailand adan dikembalikan ke Myanmar.
Selain
sering menumpang di rumah traveler lain, rumah Ariy di Solo pun sering
ditumpangi oleh traveler yang singgah ke Solo. Syaratnya, hanya berlaku untuk
satu orang traveler. Sayangnya, ada saja traveler yang tidak mengindahkan
syarat itu. Diantara traveler yang menginap di rumah Ariy, yang paling berkesan
adalah Sven, pemuda dari Swiss yang pribadinya sangat baik. Dia bahkan dekat
dengan Ibuk, panggilan untuk ibunda Ariy. Bahkan disebut pula sebagai “A Son
from different Father and Mother.” Sven sangat pengertian dan tidak mengeluh,
walau harus menginap di rumah sederhana. Dia bahkan memberi hadiah macam-macam
untuk keluarga Ariy.
Yang
menggelikan ada kisah “Duo Gembel,” traveler gembel yang menginap di rumah
Ariy. Sebenarnya mereka punya pekerjaan mapan, tapi memang sengaja ingin
bepergian super irit, sampai-sampai ingin beli makan seharga Rp 2.000 per
porsi!
Masih
banyak lagi cerita unik, lucu, tapi mengandung hikmah dari setiap perjalanan
traveling Ariy. Membuka wawasan saya, walaupun justru tidak banyak mengeksplor
kota-kota yang disinggahinya. Sepertinya untuk buku ini memang hanya berfokus
pada karakter orang-orang yang melakukan perjalanan. Kalau ada kesempatan, saya
mau baca buku Ariy lagi. Sangat menginspirasi!
Wah, sama mbak Ella, saya juga kurang suka membaca buku-buku traveller. Blog-blog traveller kadang suka lihat sepintas saja, gak baca sampai lama. Ada beberapa sih, yang jika ditulis dengan essai, seperti blognya Marischa prudence, nah itu aku suka, hehee...
BalasHapus