Kamis, 26 Februari 2015

Keep The Tiger in The Closet


Judul: Keep The Tiger in The Closet
Penulis: Fanny Herdina
Penerbit: Raih Asa Sukses
Tahun Terbit: Cetakan 1, Jakarta, 2011
Jumlah Halaman: iv + 220
ISBN: 978-979-013-164-4

Baru-baru ini terjadi pembunuhan yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya yang berusia 7 tahun, gara-gara si anak berebut pakaian dengan kakaknya. Sang ayah yang kesal, memukul kepala anaknya dengan kayu hingga meninggal dunia. Si anak meninggal di pangkuan ayahnya. Sebelum meninggal, si anak meminta maaf kepada ayahnya karena sudah membuat ayahnya kesal. Sebagai Ibu, tentu saja saya ikut sedih. Saya bisa merasakan kekesalan sang ayah melihat anak-anaknya bertengkar. Sang ayah pasti tak berniat membunuh anaknya, tapi emosi terlalu dalam menguasai dirinya. Sang ayah pasti tak mengira bahwa pukulannya dapat mengambil nyawa sang anak.


Sebagai ibu yang 24 jam berada di rumah untuk mengasuh anak-anak, saya merasakan betul kekesalan melihat anak-anak berantem. Alhamdulillah, saya masih dijauhkan dari tindakan emosional yang merenggut nyawa anak. Bukan apa-apa. Anak-anak itu kalau sudah berantem, tak hanya saling memukul tapi juga berteriak-teriak dan berlarian ke sana kemari, terutama mencari perlindungan dari ibunya. Ibunya hanya satu, anaknya ada tiga. Tiga-tiganya minta perlindungan di saat ibunya sedang masak. Bagaimana coba? Alhasil, ibunya ikut teriak-teriak, “Diam! Diam ya semua! Awas kalau nggak mau diam nanti Mama---“

Rupanya, pada saat saya sedang marah-marah begitu, harimau ungu yang ada di dalam tubuh saya menampakkan diri. Harimau ungu? Apa pula itu? Ya, harimau tapi yang berwarna ungu. Warna ungu adalah warna kesukaan banyak orang. Sedangkan harimau adalah binatang buas yang dibenci banyak orang. Lalu, bagaimana jika harimaunya berwarna ungu? Buas tapi indah dilihat? Harimau ungu bersembunyi di kantong-kantong kulit orang dewasa, terutama orang tua. Tanda-tanda bila harimau ungu sedang muncul, diantaranya: sering membentak anak, tidak mau mendengarkan anak, melakukan kekerasan fisik dan psikis terhadap anak, lebih memilih main ponsel daripada berbicara dengan anak, dan sebagainya.

Menggunakan metafora seekor harimau ungu, Fanny Herdina, seorang praktisi parenting dan hypnosis membagikan ilmu parentingnya. Gaya penulisan buku ini juga unik, karena Fanny menganalogikan mengasuh dan mendidik anak ibarat mendaki gunung dan tebing tinggi. Butuh persiapan, peralatan, mental, dan fisik yang mumpuni. Setiap awal bab diceritakan layaknya seorang pendaki gunung yang akan mendaki. Judul-judul bab pun menggunakan nama-nama alam: GUA, GUNUNG, SUNGAI, dan TEBING. Gaya bahasa penulis seperti seorang trainer yang sedang memberikan bimbingan secara langsung; akrab, hangat, meski sering kali menyentil para orangtua (termasuk saya). Ada beberapa ilmu dan istilah baru dalam dunia parenting yang saya pelajari, diantaranya:

Anchor = jangkar = weker = tombol mental. Anchor adalah jangkar bawah sadar yang membuat kita mengalami kembali. Anchor ada positif dan negatif. Anchor apa yang tertanam di dalam jiwa anak bila mengingat orangtuanya? Tatapan penuh kasih? Pelukan hangat? Kata-kata lembut? Hati-hati, anchor dapat tersimpan terus di alam bawah sadar dan diingat terus oleh anak-anak. (halaman 96)

Reframing atau mengganti label, yaitu proses menukar perspektif kita saat melihat sebuah kenyataan. Contohnya, anak yang suka membantah, orangtua mengganti label tersebut dengan “belajar punya otoritas.” Niscaya dengan begitu, anak-anak akan selalu terlihat positif dan punya kelebihan di mata orangtua. (halaman 102)

Pengasuhan kongruen, pengasuhan yang membuat orangtua harus menyesuaikan kata-katanya dengan tindakan dan ekspresinya. Jadi, kalau menyuruh anak agar tidak sering menonton teve, orang tua juga tidak boleh sering-sering menonton televisi. (halaman 137)

Dan masih banyak lagi ilmu parenting lainnya yang bisa kita pelajari dari buku ini. Walaupun ada satu materi yang kurang saya setujui, yaitu tentang penggunaan kata “Jangan” pada anak. Allah Swt juga menggunakan kata “jangan” bila menyangkut larangan terhadap maksiat. Contohnya, “jangan berbuat zina, jangan minum khamr, dan lain-lain.” Jadi, tak ada salahnya memakai kata “jangan” untuk memberikan peringatan kepada anak-anak terhadap hal-hal yang berbahaya.

Dan ini pesan penulis kepada para orangtua:

“Siapa bilang pendidikan tanggungjawab pemerintah? Pendidikan, ya tanggung jawab orangtua dong.” (halaman 214).



2 komentar:

  1. sepertinya menarik. ceritanya unik gitu..

    BalasHapus
  2. duh keren banget ini bukunya, tp udah 4 tahun yg lalu ya terbitnya... pingin baca juga...
    makasih reviewnya mak :)

    BalasHapus