Senin, 05 Mei 2014

Gossiplicious


Judul: Gossiplicious
Penulis: Dianing
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: 2011
Jumlah Halaman: 148
ISBN: 978-979-081-423-3
                               
Sinopsis:
Inilah sekelumit catatan seorang perempuan yang terjebak dalam kehidupan bertetangga yang penuh gossip. Ironis, miris, realistis!

Review
Mengapa Membeli Buku Ini?
Saya kira ini sejenis novel, karena judulnya tidak menyiratkan bahwa ini kisah nonfiksi. Ternyata saya salah. Isinya adalah catatan-catatan kehidupan sehari-hari sang penulis saat berhubungan dengan para tetangga yang suka bergosip. Saya membeli buku ini karena mengenal penulisnya, Mbak Dianing, yang juga seorang novelis. Jadi, tak salah dong kalau saya kira buku ini juga novel?


Kover
Kovernya bergambar perempuan cantik, lengkap dengan kutek dan lipstick merah jambu, dengan jari telunjuk kanan di bibir, menyimbolkan ungkapan, “sss… diam….” Cocok deh sama isi bukunya. Kover sederhana dengan warna khas perempuan dan pas dengan isi ceritanya. Kok review saya belakangan ini jadi ngomongin kovernya ya? Ya, ini cara saya belajar menganalisis  buku dari kovernya. Biasanya, saya gak perhatian sama kover buku, tapi sekarang agaknya perlu mencari benang merah antara kover dan isinya hehehe….

Lalu?
Gossiplicious berisi catatan-catatan singkat sang penulis saat bertetangga dan sering mendengar gossip-gosip yang beredar di antara tetangga. Dunia wanita memang tak bisa dilepaskan dari gossip, ups…. Jujur, saya sendiri juga masih sulit untuk total berhenti bergosip. Walaupun tidak berniat bergosip, kalau sudah ngobrol dengan sesama teman wanita, pasti deh ada sedikit-sedikit obrolan yang menjurus bergosip. Beda kalau ngobrol dengan suami saya, misalnya. Kalau saya sudah mulai ngomongin orang, suami akan mengingatkan, “eh, Mama, jangan ngegosip…..” Sedangkan kalau sama teman perempuan, yang ada malah kita makin asyik  bergosip, hihihi…..

Nah, itu juga yang dialami Dianing saat bertetangga di kompleks perumahan yang mana penghuninya mayoritas kalangan menengah ke bawah dan masih suka nyinyir (menyindir). Menurut Dianing, akan beda kalau dia tinggal di komplek perumahan yang penghuninya kalangan terpelajar dan sibuk. Pasti gak bakal sempat bergosip. Eit, jangan salah. Gosip itu bisa menjangkiti siapa saja. Bahkan kalangan terpelajar yang konon katanya sibuk dan individualis. Kalau mereka gak terlihat bergosip dengan tetangga sebelah, pasti mereka bergosip di sosmed! Ya, kaaaan… Kadang saya “panas” juga kalau ada teman sosmed yang lagi menyindir seseorang di twitter atau facebook. Saya jadi bertanya-tanya, “itu dia ngomongin gue bukan ya?” Hahahaha… padahal, belom tentu ngomongin saya.

Pernah lho kejadian, saat saya masih bodoh di sosmed dan berantem sama seorang teman sosmed, ibu-ibu juga. Ibu-ibu jahiliyah ini mah. Berantem dengan alasan debat, tsaaah…. Lalu, saya  baca status si teman kok kayaknya nyindir saya yah. Saya konfirmasi ke dia, dia menyangkal. “Jangan selalu merasa bahwa saya nyetatusin kamu. Memangnya teman saya cuma kamu?” Jiyaaah…. Malu, malu deh. Nah, maka dari itu, jadi sebenarnya kita itu sebaiknya gak bergosip baik di dunia nyata maupun maya. Iya, kan? *pentung kepala sendiri.

Tokoh-tokoh Sentral
Cerita di dalam buku ini bentuknya terputus antara cerita yang satu dengan yang lain, tapi tokoh utamanya ada dua: Widya (si penulis) dan Bu Iin (tokoh yang dianggap bijaksana). Widya sering sekali menyebut Bu Iin sebagai “teman saya yang akhlaknya mulia.” Katanya sih karena Bu Iin ini suka digosipin ibu-ibu tetangganya, tapi Bu Iin tetap baik kepada mereka. Widya adalah seorang penulis yang jarang bergaul, tapi terpaksa harus bergaul sesekali karena pernah digosipin sebagai kurang gaul dan sombong. Sebenarnya Widya bukan gak mau bergaul, tapi dia emang gak suka nongkrong-nongkrong di waktu luang. Dia lebih suka menulis. Sebenarnya, Widya ini sama seperti saya. Saya juga ibu rumah tangga yang penulis. Saya juga pernah digosipin sombong gara-gara gak bergaul. Bukan gak pingin gaul, tapi kalau ada waktu kosong, saya lebih baik menulis. Saya gak memusingkan omongan tetangga. Biar aja mereka nyindir-nyindir saya kurang gaul, yang penting saya tetap asyik dengan dunia saya hahaha…. Setelah anak-anak sekolah, mau gak mau sih saya harus bergaul juga dengan ibu-ibu saat menunggui anak sekolah.

Selain itu, maaf saja, memang latar belakang pendidikan saya dengan ibu-ibu tetangga di sini berbeda jauh. Mantan Ibu RT saja ternyata lulusan SD. Bukan saya mau merendahkan. Hanya saja, ketimpangan latar belakang pendidikan itu bikin obrolan jadi gak nyambung. Saya pernah kumpul-kumpul dengan ibu-ibu tetangga, eh yang diomongin terong milik suami mereka, ya gimana dong? Bukaaan.. bukan karena suami mereka petani terong. Ya, terong yang itu deh…. Ups! Enaknya didengerin atau enggak? Lah, ini kok jadi ngomongin saya. Bagaimana dengan kisah Widya dan Bu Iin?

Tema Gosip
Gosipnya macam-macam. Ada Bu Feri dan gengnya yang suka bergosip dan mendiamkan tetangga yang tidak mereka sukai. Bu Feri malah suka mendiamkan tetangga yang berkonflik dengannya sampai bertahun-tahun. Ada tetangga yang suka pinjam uang tapi males ngembaliin. Ada tukang serabutan yang istrinya gonta-ganti terus. Ada kisah pembantu yang diusir anaknya sendiri. Ada Bu Iin yang tetap membantu tetangganya yang sudah mendiamkannya berhari-hari. Ada nenek tetangga sebelah yang dicuekin anaknya, dan sebagainya. Semua cerita ditulis dengan gaya ibu-ibu, misalnya memakai sebutan “Jeng,” bahasanya ringan, sehingga mudah dipahami.

Cerita yang Berkesan
Bagi saya, cerita yang berkesan di antara semua cerita ini adalah kisah Bu Iin yang didiamkan oleh Bu Sari, entah kenapa. Aneh sekali, padahal keduanya berteman dekat. Bu Iin sudah meminta maaf, tapi Bu Sari tak peduli. Suatu ketika, Bu Sari sakit mendadak dan tidak ada orang di rumah.  Anaknya datang meminta bantuan ke rumah Widya, yang kebetulan punya mobil, untuk membawa Bu Sari ke rumah sakit. Widya tidak bisa menyetir mobil, tapi Bu Iin bisa. Mengingat Bu Iin sedang didiamkan oleh Bu Sari, apakah Bu Iin mau membantu? Eh ternyata, Bu Iin mau membantu! Subhanallah….

Seringkali ibu-ibu memang suka berantem tanpa alasan. Mungkin saja ada penyebabnya, tapi orang yang dibencinya itu gak tau kenapa. Nah, ini kan susah. Kita bingung, kenapa sih orang itu sentiment banget sama kita? Perasaan kita gak salah apa-apa. Jadi, jangan heran kalau tiba-tiba ada orang yang benci kepada kita tanpa kita ketahui sebabnya. Tetaplah berbuat baik kepada orang itu, seperti yang dicontohkan Bu Iin. Niscaya, orang itu akan malu sendiri.

Ada satu lagi yang berkesan, yaitu kisah Bu Feri yang suka menakut-nakuti tetangga baru yang mau merenovasi rumahnya. Katanya, harus memakai jasa tukang bangunan di sekitar komplek itu, kalau tidak mau “dikerjai” oleh mereka. Untunglah, Bu Iin mampu menolak karena tukang bangunan di sekitar komplek itu suka menipu dan kerjanya gak beres. Ternyata mereka masih saudara Bu Feri. Ini berita yang penting sekali, karena di komplek perumahan saya juga banyak berkeliaran tukang bangunan aspal (asli tapi palsu), dan saya sudah kena jadi korban juga. Harus hati-hati sebelum memakai jasa tukang bangunan. Lebih baik yang suka kita ketahui hasil kerjanya.

Kontradiksi
Hemm… membaca buku ini, saya jadi senyum-senyum sendiri. Ya, ya, ya, memang begitulah gossip di antara sesama ibu-ibu, kadang memicu pertengkaran yang serius. Alhamdulillah, karena saya jarang bergaul, jadi saya gak pernah bertengkar dengan ibu-ibu tetangga. Tapi, tetangga saya ada yang sampai bertengkar gara-gara gossip. Saya mengerti niatan penulis ketika menuliskan buku ini, terutama dengan menampilkan tokoh Bu Iin yang beberapa kali dipuji sebagai “teman saya yang akhlaknya mulia.” Bu Iin dimaksudkan sebagai tokoh protagonist, kebalikan dari ibu-ibu tukang gossip seperti Bu Feri dan gengnya.

Sayangnya, hal ini menjadi kontradiksi manakala obrolan antara Bu Iin dan Widya (si penulis) ternyata sama saja gak jauh dari gossip. Mereka memang menyayangkan sikap Bu Feri (dan ibu-ibu lain), tapi juga menggosipkan! Bahkan, saking terpengaruhnya akan gossip, Widya membuat kesimpulan sendiri tanpa tabayyun (mencari tahu dulu ke orang yang digosipkan itu). Misalnya, ketika ada pembantu yang berhenti kerja dari rumah seorang ustaz karena honornya sedikit. Cerita hanya didapat dari si pembantu.

“Diam-diam aku mengingat sosok orang alim itu. Dia guru agama, sering memimpin salat berjamaah di masjid, sering memimpin doa di hajatan tetangga, sering memberi ceramah agama. Pendek kata dia itu ustaz, tapi kok bisa ya menggaji Bu Sari dengan harga jauh dari layak. Mungkin ini yang dinamakan jangan terpesona oleh kulit. Maybe.” (halaman 50)

Ini kan mestinya ditanyakan dulu ke ustaznya, bener enggak ngasih gaji sedikit sampai pembantunya berhenti? Soalnya, gak sedikit juga pembantu yang suka jelek-jelekin majikannya. Begitu diberhentiin sama majikan, dia bikin cerita yang enggak-enggak perihal majikannya. Cerita kayak gitu gak sekali dua kali deh.

Ah, semoga saja dengan membaca buku ini, saya tak seperti sedang mendengarkan pergunjingan! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar