Senin, 27 Januari 2014

Rose: Tentang Keikhlasan Seorang Mawar


Judul: Rose
Penulis: Sinta Yudisia
Penerbit: Afra Publishing, Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Cetakan II, Juni 2012
Halaman: 320
ISBN: 978-602-8277-46-4

Mawar. Itulah nama tokoh utama di dalam novel ini. Ketika membaca novel ini, saya jadi teringat naskah novel saya yang belum selesai-selesai juga sampai sekarang. Ditulis sewaktu saya masih kuliah, lho, dan belum membaca novel ini. Apa pasal? Tokoh utamanya juga bernama Mawar! Wah, kok bisa sama? Untunglah hanya nama tokoh utamanya saja yang sama. Isi ceritanya jauh berbeda. Walaupun secara karakteristik si tokoh utama, memiliki kemiripan. Mawar di draft naskah saya itu juga karakternya tomboy, keras, cerdas, dan kuat. Dengan begitu, saya semakin yakin bahwa Allah bisa jadi menitipkan ide yang mirip ke dalam kepala beberapa orang. Dalam hal ini, saya dan Mba Sinta Yudisia sama-sama terpikir untuk menulis novel yang tokoh utamanya bernama Mawar dan memiliki karakter seperti bunga Mawar. Bedanya, novel Mba Sinta sudah terbit, novel saya masih sampai di bab 3, hehehe…. Otomatis, saya harus memikirkan nama baru untuk tokoh saya itu, karena saya takut dianggap plagiat, hiks….


Baiklah. Berhubung saya terakhir kali membaca novel Mba Sinta yang berjudul Existere, maka saya bisa menyimpulkan bahwa novel Rose ini lebih sederhana kisahnya daripada Existere. Inget gak kisah Keluarga Cemara? Novel Rose ini jenisnya sama deh dengan Keluarga Cemara. Novel yang fokusnya pada keluarga dan orang-orang di dalamnya. Jadi ini  tergolong novel keluarga. Gaya penuturannya juga lebih sederhana daripada Existere. Konflik dan intriknya juga sederhana. Hanya seputar permasalahan di dalam keluarga Mawar. Mawar adalah anak ketiga dari empat bersaudara yang semuanya perempuan. Uniknya, keempat gadis itu dinamai dengan nama-nama Bunga. Anak pertama adalah Dahlia, lalu Cempaka, kemudian Mawar, dan terakhir Melati. Masalah bermula ketika ayah mereka meninggal dunia dan keluarga mereka kehilangan pegangan, sosok pencari nafkah. Ibu sudah sakit-sakitan dan hanya bisa bekerja sekuatnya.

Dahlia, sebagai anak pertama, terpaksa harus berhenti kuliah demi mencari nafkah dan menguliahkan adik-adiknya. Dahlia kerap iri kepada adik-adiknya, tetapi dia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menggantikan tugas ayahnya. Lain halnya dengan Cempaka, anak paling cantik di keluarga itu. Dia sama sekali tidak mau tahu terhadap permasalahan keluarganya. Dia egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Akibat kehilangan figur ayah, Cempaka menjadi perempuan gampangan dengan menjalin hubungan dengan banyak lelaki. Mawar, anak ketiga yang keras dan tegas, sering berseteru dengan Cempaka, membuat Cempaka tidak betah tinggal di rumah dan memilih tinggal di kos. Naasnya, justru karena terlepas dari pengawasan keluarganya itulah, Cempaka berbuat asusila dengan pacarnya sampai hamil.

Mawar, si gadis tegas, lebih banyak berperan sebagai polisi keluarga. Di balik sikapnya yang tidak menyenangkan, sebenarnya dia sangat menyayangi keluarganya. Dia banyak berkorban juga untuk keluarganya. Sementara itu, Melati si bungsu, karakternya lebih datar. Nyaris tidak ada cacatnya. Masih duduk di bangku SMA, tapi sudah mencoba berwirausaha untuk membantu keluarganya. Dan ketika kuliah, dia berhasil masuk ke fakultas kedokteran, lalu menikah dengan lelaki dari keluarga kaya. Sempurna deh.

Di bagian awal kisah ini, kelihatannya Dahlia yang banyak berkorban untuk keluarga. Putus kuliah demi mencari nafkah. Tetapi, menjelang pertengahan, semakin terlihat pengorbanan Mawar. Kuliahnya lambat selesai karena dia juga berjuang mencari nafkah, merawat putri Cempaka dari hubungan di luar nikah, dan dilangkahi oleh Melati yang menikah lebih dulu. Duh, kok ada ya orang yang mau berkorban sedemikian rupa? Hmm… kisah ini jadi mengingatkan saya dengan keluarga sendiri. Saya juga empat bersaudara, perempuan semua. Ditinggalkan ibunda yang bukan sekadar ibu, tetapi juga pencari nafkah. Syukurlah, di antara kami tidak ada yang bernasib seperti Cempaka, hamil di luar nikah. Naudzubillahimindzalik, deh.

Sebagai kisah keluarga, banyak hal positif yang bisa kita ambil dari novel ini. Pertama, adalah pengorbanan seperti yang ditunjukkan oleh Dahlia dan Mawar. Kedua, adalah keikhlasan memberikan yang terbaik untuk keluarga. Ketiga, adalah saling mendukung di antara sesama keluarga. Dahlia mengorbankan kuliahnya demi agar adik-adiknya tetap bisa sekolah. Mawar terpaksa tidak dapat lulus kuliah dengan cepat karena harus ikut mencari nafkah, mengurusi Yasmin, putri dari Cempaka, dan lapang dada ketika Melati menikah lebih dulu. Cempaka menunjukkan akibat dari kehilangan figur seorang ayah.  

Tapi boleh dong ya kalau saya mengkritik sedikit, hehehe…. (sok banget nih mengkritik Sinta Yudisia). Mengapa judulnya “Rose” dan bukan “Mawar”, padahal di sepanjang kisah ini tidak ada disebut Rose? Pasti karena judul dalam bahasa Inggris lebih enak dibaca, bukan? Saya yakin judul ini adalah hasil negosiasi dengan penerbit. Akan lebih "nyambung" kalau di dalam novelnya sedikit diselipkan tentang filosofi "Rose," mungkin si Mawar baca buku apa gitu yang nyangkut-nyangkut dikit tentang Rose, hehehe.. sok tau ya saya.

Karakter Mama membikin gemas. Di satu sisi, dia terlihat sangat menyayangi anak-anaknya, di sisi lain dia terlihat sangat membebani anak-anaknya. Si Mama ini tidak bisa bersikap tegas terhadap seluruh anaknya. Slow saja. Bahkan ketika Cempaka membawa cowok ke rumah, si Mama justru melarang Mawar untuk ikut campur. Eh, begitu Cempaka hamil, si Mama bisa juga menampar dan mengamuk kepada putrinya. Jadi sebenarnya, Mama ini kuat atau lemah? Kekuatan si Mama ini hanya terlihat ketika sedang mengatur Dahlia, Mawar, dan Melati. Misalnya, “menekankan” Dahlia akan tanggungjawabnya sebagai pencari nafkah, melarang Mawar untuk ikut campur dalam kehidupan Cempaka, dan melarang Melati beribadah terlalu tekun. Tapi terhadap Cempaka, Mama ini lemah sekali ya. Buktinya, Cempaka jadi tidak takut berbuat dosa dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Cempaka juga enak saja meninggalkan Yasmin bersama Mawar, tidak mau bertanggungjawab terhadap anak yang dilahirkannya. Jadi, dengan kata lain, karakter Mama ini tidak konsisten. 

Secara keseluruhan, novel ini sangat inspiratif, menyentuh, mengandung banyak nilai kebaikan, dan sangat enak dibaca. Kualitas Sinta Yudisia tidak perlu diragukan lagi, deh.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar