Kamis, 09 Januari 2014

Yang Tersimpan di Sudut Hati: Belajar Mengenyahkan Dendam


Judul: Yang Tersimpan di Sudut Hati
Penulis: Ade Anita
Penerbit: Quanta, Elex Media
Tahun Terbit:  2013
ISBN: 986020221120
Halaman: 440

Solasfiana dan keluarganya tinggal di rumah keluarga besar Nek Nang Basyumi, kakek dari pihak Ayah. Ayahnya, Aslam adalah putra bungsu kakeknya yang sering mendapatkan perlakuan tidak adil akibat cacat fisik yang dialaminya. Sebelah matanya tidak berfungsi, serta kakinya pincang. Ibunya, Mak Pinah, pun menderita kelumpuhan sehingga harus berjalan dengan mengesot, usai melahirkan adik kembarnya: Marsyapati dan Isfahan. Syukurlah, Tuhan masih bersikap adil kepada keluarga itu. Meskipun Aslam tidak disekolahkan dan kemudian hanya menjadi pemanjat kelapa, anak-anaknya menjadi anak-anak yang cerdas dan berprestasi. Solasfiana bahkan mewakili sekolahnya dalam lomba Cepat Tepat IPA.


Suatu ketika, Aslam menemukan surga durian di sebuah pohon. Pohon-pohon durian yang sedang berbuah itu tidak ada yang memiliki. Aslam berniat memetiknya bersama Isfahan, sebagai anak lelaki satu-satunya, pada tengah malam buta, agar tidak dipergoki oleh para penduduk. Jika para penduduk mengetahuinya, harta durian itu tidak akan menjadi milik Aslam sendiri. Bahkan, dia mungkin hanya akan menjadi pemetiknya saja.

Sayang, sebuah kecelakaan merenggut nyawa Aslam, sehingga dia tak sempat menikmati harta karun yang sudah dinanti-nantikannya itu. Sejak itu, Solasfiana dan adik-adiknya menjadi yatim, dan posisi mereka semakin terdesak oleh ketidaksenangan kakak-kakak Aslam, terutama setelah mereka dikabarkan mendapatkan uang tunai yang luar biasa banyak dari hasil penjualan buah durian.

Mulanya adalah mimpi buruk Wak Hasni bahwa dia akan dibunuh oleh Mak Pinah. Disusul oleh kematian beberapa orang tetangga setelah melihat benda semacam santet. Tuduhan pun mengarah kepada Mak Pinah, dan ujung-ujungnya adalah pengusiran warga terhadap keluarga Mak Pinah. Bayangkan, sebuah keluarga tanpa bapak, anak-anak yang masih remaja, dan seorang ibu yang lumpuh, harus berjalan jauh mencari tempat tinggal lain yang bersahabat. Mereka pun harus tinggal di bekas kandang ayam sebuah keluarga yang dermawan.

Tuduhan santet itu tentu hanya mengada-ada, karena Mak Pinah adalah seorang yang taat beragama dan tidak macam-macam. Solasfiana dan adik-adiknya merasa dendam terhadap warga yang telah bertindak tidak adil kepada mereka. Namun, perlahan rasa dendam itu memudar dan mereka dapat memaafkan orang-orang yang sudah berlaku zalim. Ada banyak nilai moral yang disampaikan oleh novel bersetting pedalaman Sumatera Selatan ini. Penulis mampu menceritakannya dengan baik dan detil, sehingga kita dapat merasakan emosi Solasfiana sekeluarga, serta latar tempat dengan maksimal.

Tidak mudah melupakan perbuatan orang-orang yang sudah menzalimi kita. Teringat penderitaan Solasfiana sekeluarga yang harus meninggalkan rumah mereka dengan membawa harta seadanya. Bahkan, surat-surat penting pun tak dibawa karena khawatir hilang selama dalam perjalananan. Isfahan harus menggendong ibundanya yang lumpuh, sepanjang perjalanan. Mencari tempat berteduh dari guyuran hujan dan panas matahari. Hingag tibalah di bawah rumah panggung pasangan suami istri yang dermawan. Perjuangan Solasfiana dan adik-adiknya untuk bertahan hidup, patut diacungi jempol. Dengan modal seadanya, mereka membangun usaha. Ujian belum selesai, karena Isfahan terkena penyakit diabetes di usia muda. Sungguh banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari novel ini, sebuah novel inspiratif yang menggugah hati.

Catatan: Dimuat di Nabawia.com

1 komentar:

  1. kisah ini mengharukan ya, Mbak..
    Subhanallah, keluarga Solasfiana sungguh tegar dan sabar.

    BalasHapus