Senin, 17 Maret 2014

CineUs: Usaha Mewujudkan Klub Film di Sekolah


Judul: CineUs
Penulis: Evi Sri Rezeki
Penerbit: Teen Noura
Tahun Terbit: Cetakan I, Agustus 2013
Jumlah Halaman: 304
Ukuran Buku: 13x19 cm
ISBN: 978-602-7816-56-5
                                                 
Ada klub film di SMA? Wow! Kalau saja di sekolah saya dulu ada klub film, pasti saya ikutan deh. Seru juga belajar bikin film pendek, apalagi kalau disertakan di dalam lomba film pendek dan scenario. Barangkali saya seperti Lena dkk yang tergila-gila oleh film. Bukan sekadar menonton, tapi juga membuatnya. Maka, ketika membaca novel ini, saya ikut terbawa kegembiraan dan kesulitan Lena dkk dalam menghidupkan klub film di sekolah mereka.


Anggotanya bisa dihitung dengan jari, saking susahnya Lena mempopulerkan klubnya. Hanya ada Lena, Dion, Dania, Romi, Balia, Aya, dan beberapa anak lainnya. Mereka mempunyai basecamp di belakang sekolah, sebuah bangunan mirip gudang yang sudah hampir rusak dan harus dibersihkan. Lena dkk sudah beberapa kali mengikuti kompetisi film pendek, bahkan Lena pernah keluar sebagai pemenang dalam kategori scenario terbaik. Kejadian itu justru membuat hubungannya dengan Adit, sang pacar, putus gara-gara Adit marah kenapa justru Lena yang menang sedangkan selama itu Adit merasa sudah mengajari Lena?
Tahun ini, Adit menantang Lena untuk mengikuti kompetisi film dan scenario lagi, siapa yang kalah harus mencuci kaki yang menang dan bekerja sebagai penggulung kabel film selama setahun. Itulah mengapa Lena harus bekerja keras membuat film pendek dan scenario agar klub filmnya bisa memenangkan pertandingan. Tak disangka, di tengah usaha kerasnya, Romi malah berkhianat dengan mengajak anggota lain untuk membelot, membuat klub film yang baru, dan bersaing dengan klub film Lena. Romi juga mengambilalih basecamp dengan paksa, serta merusak semua barang-barang Lena dkk. Yang tertinggal hanya Dion dan Dania, sebagai sahabat Lena.

Untunglah datang Rizky dan Ryan. Lena bertemu dengan Rizky secara tak sengaja, ketika kemalaman berada di basecamp, dia ketakutan karena imajinasinya tentang hantu. Film pendeknya memang bergenre horor. Ketika sedang terbirit-birit ketakutan, dia bertabrakan dengan Rizky yang bertubuh gempal. Dia melihat gambar-gambar kartun Rizky yang bagus dan berpikir untuk mengajak cowok itu bergabung di klub film sebagai pembuat storyboard. Sayangnya, keesokan harinya, Lena kesulitan mencari jejak Rizky yang tak ada di mana-mana. Apakah dugaannya benar bahwa Rizky itu anak hantu? Sebab, Rizky muncul dari balik pohon besar yang dibilang angker oleh teman-temannya. Tak disangka, Rizky muncul setelah Lena ketahuan mengambil data siswa SMA-nya. Dan Rizky memang mempunyai basecamp sendiri di balik pohon besar itu.

Pertama membaca novel ini, saya belum konek karena sudah lama meninggalkan bangku SMA jadi rada lemot menyelami kehidupan anak SMA. Selain itu, penceritaan menggunakan sudut pandang orng pertama (AKU), dan saya kurang suka dengan Pov 1 karena cenderung membosankan. Menjelang Bab 3, yaitu pertemuan Rizky dan Lena, baru deh saya menikmati kisah ini karena menjadi semakin seru dan menegangkan. Mungkin karena efek horor yang ditimbulkan pas Lena sendirian di basecamp itu kali ya…..

Tema yang diangkat cukup menarik, mengenai klub film di sekolah. Di beberapa halaman ada gambar komiknya. Gaya bahasa juga ringan, maklumlah teenlit. Karakter masing-masing tokohnya bikin gemes, tapi kalau dikaitkan dengan kesukaan mereka akan film, ya wajarlah. Lena dan Rizky tergolong badung karena suka bolos. Ini sebenarnya contoh yang kurang bagus untuk anak SMA, tapi bolosnya mereka itu positif juga sih, bolos untuk membuat film. Saya bisa ngebayangin gimana betenya anak-anak semacam Lena dan Rizky bila dipaksa “memakan” pelajaran-pelajaran IPA dan IPS. Di situ juga disebutkan betapa betenya Lena mengikuti ulangan Geografi dan dia menjawab dengan “mengarang.” Apalagi Matematika, mati kutu deh dia. Bagusnya sih, selain sibuk bikin film, Lena dkk juga belajar bersama untuk menghadapi ulangan umum.

Sepertinya kalau membaca novel ini, anak-anak sudah diarahkan pada bakatnya sejak duduk di bangku SMA ya, karena daya imajinasi mereka sudah tinggi. Anak-anak semacam Lena dan Rizky sebaiknya sudah difokuskan pada pelajaran membuat film, karena minat mereka sangat tinggi. Toh, kelak mereka akan menggeluti profesi sebagai sineas, jika fokus pada cita-cita dan mimpi. Seandainya begitu, dari dulu saya juga sudah mewujudkan mimpi sebagai sineas, hahaha…

Cita-cita dan impian memang harus diwujudkan dengan keberanian dan kerja keras. Lena dan kawan-kawan sudah memperlihatkannya di dalam novel ini. Penulis juga memasukkan pesan bahwa hendaknya kemenangan itu bukan untuk menunjukkan kehebatan kita dan mendapatkan pengakuan dari orang-orang. Sebab, itu  hanya akan membuat kita menghalalkan segala cara. Konflik terbangun ketika Lena memarahi Dion yang penderita ADHD (penderita jadi agak lemot dan hanya fokus pada sesuatu yang menarik perhatiannya) yang dikira berkhianat, serta tertukarnya skrip scenario Lena dan Rizky.

Kejanggalannya adalah, sebagai sebuah kompetisi nasional, mengapa yang terpilih sebagai  pemenang hanya klub film Lena, Adit, dan Romi yang memang saling bersaing? Akan lebih masuk akal kalau kompetisi itu hanya seputar SMA di Bandung, ya kaaan? Trus, si Lena itu gak dimarahin ya sama ortunya karena pulang malam terus? Mbok ya dikasih adegan maminya nanya-nanya kenapa si Lena pulang malam terus. Atau mungkin ortu Lena memang menerapkan aturan bebas tak terbatas, jadi si Lena gak dicariin walau pulang malam terus? Ada sih sedikit disebutkan kalau Lena sudah minta izin ke mamanya, izin menginap di rumah Dania.

Sebagai novel remaja, novel ini gak sekadar berkisah tentang cinta, tapi lebih banyak porsinya mengenai proses menggapai impian. Recommended book.








1 komentar:

  1. aku juga suka novel ini mbak, meski di awal-awal agak membosankan, tapi makin jauh makin menarik ceritanya, hehee..

    BalasHapus