Selasa, 18 Maret 2014

Mempertanyakan Arti Mimpi di Tanah Penuh Gejolak


Judul: RINAI
Penulis: Sinta Yudisia
Penerbit: GIZONE Books (Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi)
Jumlah Halaman: 402
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, September 2012
ISBN: 978-602-8277-65-5

Rinai Hujan, nama yang unik tetapi ternyata tak ada kaitannya dengan isi cerita novel ini, karena gadis berusia 25 tahun ini memiliki kakak yang bernama Guntur Alam. Ini novel kesekian Mba Sinta Yudisia yang saya baca. Barangkali ini salah satu novel Mba Sinta yang mengandung materi cukup berat, yaitu pengutipan ilmu-ilmu psikologi sebagai ilmu yang didalami oleh Mba Sinta. Di satu sisi, membuka pengetahuan. Di sisi lain, penjabarannya masih berupa text book, sehingga bikin kepala pening dan agak menghilangkan sisi hiburan dari sebuah novel.


Barangkali ini memang bukan novel yang dimanfaatkan untuk menghibur, tapi untuk mengajak berpikir. Diawali dengan mimpi Rinai tentang ular yang berdasarkan tafsir mimpi pakar psikolog ternama SIGMUND FREUD, berarti alat kelamin laki-laki. Bagi Rinai, itu adalah mimpi buruk. Dengan begitu seringnya dia bermimpi dibelit ular, apakah itu berarti dia sangat menggandrungi organ vital laki-laki? Apakah itu berarti pikirannya selalu “jorok”?

Omong-omong, ternyata saya juga sering bermimpi tentang ular dari sejak masih remaja. Saat itu, teman-teman saya menafsirkan bahwa saya sudah ngebet nikah, hehehe…. Syukurlah, setelah membaca novel Rinai ini, penafsiran saya berubah. Rinai memilih mengikuti tafsir Ibnu Khaldun, pakar psikologi Islam yang menafsirkan mimpi tentang ular dari sudut pandang berbeda.

Lalu, apa hubungan cerita ular dengan Gaza? Rinai mendapat kesempatan ke Gaza dalam rangka meneliti kecerdasan anak-anak korban perang, bersama dosen Psikologinya, Nora Effendi, asisten dosen, Amaretta, dan teman-teman lain. Di sana, Rinai kembali menemukan bahwa salah seorang anak, Hazem, juga sering bermimpi tentang ular. Bagaimana mungkin seorang anak lelaki terobsesi alat kelamin lelaki lain? Untunglah kekhawatiran Rinai tidak terbukti jika mengikuti tafsir mimpi Ibnu Khaldun.

Tentu saja disajikan pengalaman Rinai dan kawan-kawan selama berkunjung ke Gaza, negara penuh gejolak yang sudah puluhan tahun dijajah oleh Israel. Bagaimana pengalaman Rinai selama di sana, patut Anda simak. Ada juga intrik yang terjadi antara Rinai dan teman-teman psikolognya berkaitan dengan hasil penelitian yang dimanipulasi. Ke mana Rinai berpihak?

Ini memang novel yang cerdas dan memberikan banyak informasi penting berkaitan dengan psikologi dan kondisi di Gaza. Akan tetapi, ada ekspektasi yang tak terpenuhi. Saya kira novel ini bakal penuh konflik yang meledak-ledak, apalagi mengambil setting Gaza, sebuah negara yang sedang bergejolak. Ternyata konflik digarap kurang maksimal, dengan penuturan yang lamban dan datar. Mungkin karena penulis terlalu sibuk dengan pembahasan ilmu-ilmu psikologi, sehingga konflik yang terjadi antara Rinai dan teman-teman psikologinya kurang tergarap.  Belum lagi konflik antara Rinai dan keluarganya (yang membuat Rinai “melarikan” diri ke Gaza), seperti menggantung begitu saja. Saya pikir, novel ini bakal fokus menceritakan tentang konflik di Gaza, ternyata fokusnya pada konflik yang membelit kejiwaan Rinai.

Walaupun demikian, bolehlah dibilang bahwa novel ini telah ikut mengangkat permasalahan Palestina untuk menjadi perhatian kita.

“Kehilangan telah menjadi hal lazim di Gaza. Kehilangan orang tua, anggota tubuh, bangunan tempat tinggal, pekerjaan, uang, listrik. Kehilangan tanah merdeka yang  menjadi sebab Nabi Adam ‘alaihissalam memiliki tempat berpijak di bumi. Mereka tetap berjalan sebagaimana mestinya meski hidup semakin tak  menampakkan jejaknya, hari ke hari.”  (halaman 393)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar