Senin, 17 Maret 2014

Sebuah Perjalanan untuk Menghilangkan Patah Hati


Judul: On a Journey
Penulis: Desi Puspitasari
Penerbit: Pustaka Populer, Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Januari 2013
Jumlah Halaman: 266
ISBN: 978-602-7888-01-2

Kalau kamu patah hati, apa yang kamu lakukan? Patah hati kedengarannya sepele, tapi tidak buat orang yang mengalaminya. Ada  yang hanya menangis, mengurung diri di kamar, meratap, berteriak-teriak, dan yang lebih parah, bunuh diri. Tidak percaya?


Rubi Tuesday, mengobati  patah hatinya karena ditolak oleh Stine, dengan melakukan perjalanan. Tujuan utamanya adalah Diavabre. Tetapi, dia tidak pernah sampai ke tempat itu karena perjalanan telah menyadarkannya bahwa masalah ada untuk dihadapi.

Rubi Tuesday adalah seorang penulis muda, berusia sekitar 25 tahun. Dia jatuh cinta kepada Stine, sahabatnya. Setelah sekian lama bersahabat dan yakin mencintai Stine, ia berterus terang mengenai perasaannya ke cowok itu. Tragisnya, Stine menolaknya! Rubi benci setengah mati kepada Stine, lalu memutuskan untuk meninggalkan cowok itu dan melakukan perjalanan ke Diavabre. Bukan dengan mobil atau transportasi umum, melainkan dengan sepeda rongsok!

Ada banyak peristiwa yang ditemukan Rubi di sepanjang perjalanan. Mula-mula ia bertemu dengan Dave, seorang dokter yang juga sedang melancong (tapi menggunakan sepeda motor). Dave memberikan kesan manis dengan meninggalkan sebuah roti tawar lapis telur ceplok dan setermos susu dingin. Kemudian, Rubi bertemu dengan Ros, Oto, Sam, Jim, pelayan-pelayan di sebuah warung makan. Rubi menumpang makan di rumah Ros, bahkan sampai beberapa hari karena ia kekurangan uang saku dan bekerja sementara sebagai tukang cuci piring di warung makan Sam. Dari situ, ada banyak peristiwa yang dialaminya. Sam juga menertawainya karena alasannya melancong yang sepele: patah hati.

Setelah melanjutkan perjalanan, Rubi mengalami nasib sial. Sepedanya dicuri! Ia tak dapat menemukan pencurinya. Ketika sedang duduk merenungi nasib, seorang gadis yang sedang hamil, meminta bantuannya untuk menelepon ambulans. Gadis itu mengalami pendarahan, tapi belum waktunya melahirkan. Sofi, nama gadis itu. Sofi meminta Rubi menjaganya sampai ia melahirkan. Akhirnya, Rubi menginap di motel yang ditempati Sofi. Rupanya, Sofi juga sedang melarikan diri. Ia hamil di luar nikah dan tinggal di motel sampai melahirkan. Pacarnya, Bili, datang menjenguk setiap sore. Bili bekerja keras untuk mencari biaya persalinan. Kejutan pun datang ketika tiba saatnya Sofi melahirkan, dan Rubi menyadari siapa Bili sebenarnya.

Ketika pertama membaca novel ini, saya langsung diserang kejemuan. Bahasanya mirip dengan bahasa novel Barat terjemahan. Sama sekali tidak terkesan Indonesianya walaupun penulisnya orang Indonesia. Memang, setting novel ini juga bukan di Indonesia. Sepertinya di luar negeri, mungkin Amerika. Lho, kok “mungkin.” Ya, karena penulis tidak menyebutkan DI MANA setting novel ini? Penulis hanya menyebutkan nama-nama kota yang tidak familiar, seperti: DIAVABRE, GUANA LEON, RICHANARA. Apakah ini di Meksiko? Soalnya penulis beberapa kali menyebutkan bahwa Rubi ngefans dengan Ernesto Guevara.

Paragraf pembuka:          
Aku baru saja menghentikan mobil di tepi jalan. Sambil bertumpu di jendela, aku menatap kejauhan. Sambil mengamati langit yang sedikit redup karena mendung, aku sedikit berpikir; kenapa Tuhan tidak menetapkan hari lahiranku pada sekitaran tahun 1930? Sehingga saat 1949 aku sudah cukup umur untuk pergi berdua bersama Ernesto Guevara…. (halaman 1)

Setting luar negeri (mungkin Amerika) semakin kuat dengan gambaran-gambaran situasi, semacam jenis makanan, pom bensin yang dilewati, motel-motel, padang rumput, bus oranye, dan sebagainya, mirip dengan setting novel Barat terjemahan lainnya yang pernah saya baca. Cukuplah saya bertanya-tanya soal setting, anggap saja tebakan saya benar, mengingat semua tokohnya berbau asing. Walaupun ini terasa aneh karena penulisnya Indonesia. Barangkali banyak novel sejenis ini, (novel “asing” yang ditulis orang Indonesia) tapi saya baru sekali ini membacanya. Aroma novel terjemahan Barat memang sangat terasa sepanjang membaca novel ini. Sungguh tidak ada kesan Indonesianya, kecuali nama penulis di depan sampul buku.

Pesan yang disampaikan cukup bagus. Penulis memasukkan kesadaran-kesadaran ke dalam jiwa Rubi Tuesday, bagaimana mengatasi patah hati dengan elegan. Dia tidak perlu menjauhi Stine, apalagi melakukan perjalanan yang cukup membahayakan. Tapi, toh perjalanan itu juga amat berarti baginya karena telah memberinya banyak pelajaran, khususnya, berani menghadapi masalah (bukannya lari). Buku ini mulai menarik dibaca menjelang adegan pertemuan Rubi dengan Dave, diteruskan dengan pertemuan Rubi dengan tokoh-tokoh lain, sampai pada kejutan saat kemunculan Bili.

Saya membayangkan diri saya jika bepergian sendirian seperti Rubi, dengan hanya menggunakan sepeda (pada bagian akhir, bahkan naik bus dan berjalan kaki), keluyuran tengah malam hingga dini hari, tidur di emperan toko atau taman kota, apakah tidak berbahaya? Di situ, penulis memasukkan satu adegan ketika Rubi nyaris dijahati oleh gelandangan, tapi selebihnya dia aman-aman saja keluyuran di jalan pada malam hari. Lalu, penulis juga menyisipkan alasan bahwa berita dan cerita di televisi jauh lebih kejam daripada dunia nyata. Intinya, keluyuran malam-malam itu aman-aman saja, tidak seperti di televisi yang menyebutkan banyaknya korban kejahatan.

Satu nasihat Pak Oto ini mungkin bermanfaat bagi Anda yang juga sedang patah hati:

“Patah hati itu bukan apa-apa, Nak! Di luar sini masih banyak laki-laki yang lebih tampan dan lebih baik daripada laki-laki yang kausukai!” (halaman 107).




1 komentar: