Jumat, 17 Oktober 2014

Ai, Cinta Tak Pernah Lelah Menanti


Judul: AI, Cinta Tak Pernah Lelah Menanti
Penulis: Winna Efendi
Penerbit: Gagas Media
Tahun Terbit: Cetakan kesembilan, 2013
Jumlah Halaman: vi+282
ISBN: 9797806863

Sei:
Aku mencintai Ai. Tidak tahu sejak kapan—mungkin sejak pertama kali dia menggenggam tanganku—aku tidak tahu mengapa, dan aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya mencintainya, dengan caraku sendiri.


Ai:
Aku bersahabat dengan Sei sejak kami masih sangat kecil. Saat mulai tumbuh remaja, gadis-gadis mulai mengejarnya. Entah bagaimana, aku pun jatuh cinta padanya, tetapi aku memilih untuk menyimpannya. Lalu, datang Shin ke dalam lingkaran persahabatan kami. Dia membuatku jatuh cinta dan merasa dicintai.”

Novel berkover merah dengan ilustrasi gadis Jepang berpakaian kimono ini sudah lama menjadi bahan pembicaraan teman-teman penulis yang menggemari karya Winna Efendi, dan kali ini saya berkesempatan membacanya. Ide sahabat jadi cinta, sudah banyak diangkat para novelis romance, tetapi barangkali Winna termasuk pionirnya.

Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama “AKU” terbagi dua versi: versi Sei dan versi Ai. Di bagian pertama, kita akan membaca cerita Sei tentang Ai, dan di bagian kedua, kita akan membaca cerita Ai tentang Sei. Membaca untaian kata-kata Winna di novel ini mengingatkan saya saat membaca karya-karya novelis asli Jepang, yang saya tidak hapal namanya tapi bukunya pernah saya baca. Ai memang bernuansa Jepang dan Winna berhasil memunculkan aroma Jepang di dalam novel ini.

Ai dan Sei, tinggal di sudut negeri Jepang yang dikelilingi laut. Ai, gadis berayah Jepang dan ibu asli Bali. Ibunya meninggal saat ia masih kecil. Ayahnya membuka usaha pemandian umum. Sei, asli Jepang, orang tuanya membuka warung makan yang letaknya bersebelahan dengan pemandian umum milik ayah Ai. Jadi, kedua usaha itu saling melengkapi. Jika sudah selesai mandi di tempat ayah Ai, bisa langsung makan di warung orang tua Sei. Tak heran jika Ai dan Sei seketika bersahabat sejak pertemuan pertama.

Sei sudah jatuh cinta kepada Ai, tetapi dia kesulitan mendefinisikan perasaannya apakah itu memang cinta atau sayang? Dia membiarkan hubungan mereka atas nama persahabatan, sampai kesadarannya muncul bersamaan dengan kemunculan Shin, pemuda asal Tokyo yang menyelinap ke dalam persahabatan mereka. Ai jatuh cinta kepada Shin, begitu pula Shin. Mereka pun berpacaran dengan masih mengikutsertakan Sei.

Sering kali Sei merasakan kegalauan menyaksikan kemesraan Shin dan Ai. Saya bisa ikut merasai kegalauan Sei, bayangkan saja berada di tengah pasangan yang sedang jatuh cinta, tentu tak enak. Apalagi jika kita ternyata mencintai orang yang selama ini kita anggap sebagai sahabat. Bertahun-tahun Sei mendustai perasaannya terhadap Ai. Dia mengalah kepada Shin hanya agar Ai tidak terluka, tetapi hatinya sendiri yang terluka.

Lulus SMA, mereka tinggal satu apartemen di Tokyo, setelah Ai memaksa Sei untuk ikut ke Tokyo. Tentu saja, Sei makin sering menyaksikan kemesraan Ai dan Shin, bahkan akhirnya Ai sekamar dengan Shin. Tidak dijelaskan ya apakah dengan mereka sekamar lalu melakukan hubungan seks seperti suami istri, yang mana di Jepang sudah menjadi hal biasa. Sebagai penikmat dorama Jepang, muda-mudi Jepang sudah terbiasa tinggal serumah walaupun belum menikah, dan melakukan hubungan seks pranikah. Namun, Winna tidak menceritakan secara gamblang di novelnya. Hanya sekamar saja, titik. Bisa jadi walaupun sekamar, Ai dan Shin tidak melakukan apa-apa toh?

Sampai sebuah kecelakaan merenggut nyawa Shin, sekaligus  keceriaan Ai. Sei pun mulai merasakan kehilangan disertai kemunculan kembali perasaan cintanya kepada Ai. Sayang, Ai sudah sulit menerima cinta yang lain. Di bagian 2, dari sudut pandang Ai, diceritakan bahwa Ai ternyata pernah mencintai Sei, tapi pemuda itu sangat dingin terhadap perempuan yang jatuh cinta kepadanya. Ai tidak mau persahabatan mereka berakhir gara-gara ia jatuh cinta kepada Sei, sehingga ditahanlah perasaannya itu. Sampai kemudian Shin datang dan mengalihkannya dari Sei.

Hmm… lalu, bagaimana akhir kisah cinta sepasang sahabat yang saling menyayangi ini?

Novel ini diceritakan dengan gaya yang manis, penulis melebur ke dalam semua tokoh sehingga kita bisa merasakan kegalauan tokoh-tokohnya. Bagaimana saat Sei menyaksikan kemesraan Ai dengan Shin, bagaimana saat Ai terpuruk sepeninggal Shin, bahkan perasaan tokoh figuran seperti Natsu—gadis yang jatuh cinta kepada Sei—pun dapat digambarkan dengan bagus oleh Winna.

Setting Jepang juga sangat terasa, dari mulai desa di pinggir laut tempat tinggal Ai dan Sei, sampai ke Tokyo di mana Ai, Sei, dan Shin melanjutkan kuliah. Juga Sapporo, tempat Ai melarikan diri, saya bisa membayangkan taman bunga Ahasiyama Koen, di mana Ai berbaring di bawah pohon Sakura, lalu Sei menghampirinya dan menyentuh pipinya lembut. Adegan itu sangat filmis. Saat itulah, Sei menyatakan cintanya kepada Ai, sesuatu yang sudah dipendamnya lama.

Tahukah kau, aku bisa gila jika tidak menemukanmu? Aku mencintaimu, Ai,” (halaman 171).

Walaupun setting di Jepang, Winna tidak “centil” dengan memasukkan banyak bahasa Jepang yang “mengotori” novel Indonesia ini. Tuturan Winna di novel ini justru sangat baku dan cocok dijadikan pegangan buku bahasa Indonesia—barangkali kekurangannya hanya adegan Shin dan Ai yang tidur sekamar—tak seperti beberapa penulis lain yang menggunakan setting luar negeri dan banyak memasukkan dialog berbahasa asing, membuat pembaca berkali-kali harus menengok catatan kaki.

Nyaris semua adegan di dalam novel ini memang filmis, sehingga sudah pasti bisa diadaptasikan ke dalam film. Saya seperti sedang menyaksikan sebuah dorama Jepang. Berhubung Ai ini Indo-Jepang (gadis Bali keturunan Jepang), jadi bisa memakai artis Indonesia untuk memerankannya. Yang berwajah campuran Bali dan Jepang.

Sayangnya, harus ada yang dikorbankan dalam kisah cinta Ai dan Sei yang terbalut persahabatan ini. Shin yang “dibunuh” oleh penulisnya dan Natsu, pacar Sei yang diputuskan begitu saja setelah Shin meninggal, karena Sei ingin memperhatikan Ai. Ucapan Natsu ini tepat sekali dialamatkan kepada Ai, yang mendapatkan perhatian Sei, tapi tak juga menerima cinta pemuda itu.

“Apakah kau sadar bahwa yang selama ini kaulakukan adalah memanfaatkan Sei? Kau menganggapnya tidak lebih dari sekadar perisai untuk melindungimu dirimu sendiri.” (halaman 262).

Novel ini bisa mendapatkan 4 bintang dari saya, jika saja saya tak berhenti membacanya pada beberapa bab terakhir, saking terserang kejenuhan, syukurlah saya bisa melanjutkan membaca. Jadi, saya kasih 3 bintang untuk novel Ai-Winna Efendi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar