Judul:
AI, Cinta Tak Pernah Lelah Menanti
Penulis:
Winna Efendi
Penerbit:
Gagas Media
Tahun
Terbit: Cetakan kesembilan, 2013
Jumlah
Halaman: vi+282
ISBN:
9797806863
Sei:
Aku mencintai Ai. Tidak tahu sejak
kapan—mungkin sejak pertama kali dia menggenggam tanganku—aku tidak tahu
mengapa, dan aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya mencintainya, dengan caraku
sendiri.
Ai:
Aku bersahabat dengan Sei sejak kami masih
sangat kecil. Saat mulai tumbuh remaja, gadis-gadis mulai mengejarnya. Entah
bagaimana, aku pun jatuh cinta padanya, tetapi aku memilih untuk menyimpannya.
Lalu, datang Shin ke dalam lingkaran persahabatan kami. Dia membuatku jatuh
cinta dan merasa dicintai.”
Novel
berkover merah dengan ilustrasi gadis Jepang berpakaian kimono ini sudah lama
menjadi bahan pembicaraan teman-teman penulis yang menggemari karya Winna
Efendi, dan kali ini saya berkesempatan membacanya. Ide sahabat jadi cinta,
sudah banyak diangkat para novelis romance, tetapi barangkali Winna termasuk
pionirnya.
Novel
ini menggunakan sudut pandang orang pertama “AKU” terbagi dua versi: versi Sei
dan versi Ai. Di bagian pertama, kita akan membaca cerita Sei tentang Ai, dan
di bagian kedua, kita akan membaca cerita Ai tentang Sei. Membaca untaian
kata-kata Winna di novel ini mengingatkan saya saat membaca karya-karya novelis
asli Jepang, yang saya tidak hapal namanya tapi bukunya pernah saya baca. Ai
memang bernuansa Jepang dan Winna berhasil memunculkan aroma Jepang di dalam
novel ini.
Ai dan
Sei, tinggal di sudut negeri Jepang yang dikelilingi laut. Ai, gadis berayah
Jepang dan ibu asli Bali. Ibunya meninggal saat ia masih kecil. Ayahnya membuka
usaha pemandian umum. Sei, asli Jepang, orang tuanya membuka warung makan yang
letaknya bersebelahan dengan pemandian umum milik ayah Ai. Jadi, kedua usaha itu
saling melengkapi. Jika sudah selesai mandi di tempat ayah Ai, bisa langsung
makan di warung orang tua Sei. Tak heran jika Ai dan Sei seketika bersahabat
sejak pertemuan pertama.
Sei
sudah jatuh cinta kepada Ai, tetapi dia kesulitan mendefinisikan perasaannya
apakah itu memang cinta atau sayang? Dia membiarkan hubungan mereka atas nama
persahabatan, sampai kesadarannya muncul bersamaan dengan kemunculan Shin,
pemuda asal Tokyo yang menyelinap ke dalam persahabatan mereka. Ai jatuh cinta
kepada Shin, begitu pula Shin. Mereka pun berpacaran dengan masih
mengikutsertakan Sei.
Sering
kali Sei merasakan kegalauan menyaksikan kemesraan Shin dan Ai. Saya bisa ikut
merasai kegalauan Sei, bayangkan saja berada di tengah pasangan yang sedang
jatuh cinta, tentu tak enak. Apalagi jika kita ternyata mencintai orang yang
selama ini kita anggap sebagai sahabat. Bertahun-tahun Sei mendustai
perasaannya terhadap Ai. Dia mengalah kepada Shin hanya agar Ai tidak terluka,
tetapi hatinya sendiri yang terluka.
Lulus
SMA, mereka tinggal satu apartemen di Tokyo, setelah Ai memaksa Sei untuk ikut
ke Tokyo. Tentu saja, Sei makin sering menyaksikan kemesraan Ai dan Shin,
bahkan akhirnya Ai sekamar dengan Shin. Tidak dijelaskan ya apakah dengan
mereka sekamar lalu melakukan hubungan seks seperti suami istri, yang mana di
Jepang sudah menjadi hal biasa. Sebagai penikmat dorama Jepang, muda-mudi
Jepang sudah terbiasa tinggal serumah walaupun belum menikah, dan melakukan
hubungan seks pranikah. Namun, Winna tidak menceritakan secara gamblang di
novelnya. Hanya sekamar saja, titik. Bisa jadi walaupun sekamar, Ai dan Shin
tidak melakukan apa-apa toh?
Sampai
sebuah kecelakaan merenggut nyawa Shin, sekaligus keceriaan Ai. Sei pun mulai merasakan
kehilangan disertai kemunculan kembali perasaan cintanya kepada Ai. Sayang, Ai
sudah sulit menerima cinta yang lain. Di bagian 2, dari sudut pandang Ai,
diceritakan bahwa Ai ternyata pernah mencintai Sei, tapi pemuda itu sangat
dingin terhadap perempuan yang jatuh cinta kepadanya. Ai tidak mau persahabatan
mereka berakhir gara-gara ia jatuh cinta kepada Sei, sehingga ditahanlah
perasaannya itu. Sampai kemudian Shin datang dan mengalihkannya dari Sei.
Hmm…
lalu, bagaimana akhir kisah cinta sepasang sahabat yang saling menyayangi ini?
Novel
ini diceritakan dengan gaya yang manis, penulis melebur ke dalam semua tokoh
sehingga kita bisa merasakan kegalauan tokoh-tokohnya. Bagaimana saat Sei
menyaksikan kemesraan Ai dengan Shin, bagaimana saat Ai terpuruk sepeninggal
Shin, bahkan perasaan tokoh figuran seperti Natsu—gadis yang jatuh cinta kepada
Sei—pun dapat digambarkan dengan bagus oleh Winna.
Setting
Jepang juga sangat terasa, dari mulai desa di pinggir laut tempat tinggal Ai
dan Sei, sampai ke Tokyo di mana Ai, Sei, dan Shin melanjutkan kuliah. Juga
Sapporo, tempat Ai melarikan diri, saya bisa membayangkan taman bunga Ahasiyama
Koen, di mana Ai berbaring di bawah pohon Sakura, lalu Sei menghampirinya dan
menyentuh pipinya lembut. Adegan itu sangat filmis. Saat itulah, Sei menyatakan
cintanya kepada Ai, sesuatu yang sudah dipendamnya lama.
“Tahukah kau, aku bisa gila jika tidak
menemukanmu? Aku mencintaimu, Ai,” (halaman
171).
Walaupun
setting di Jepang, Winna tidak “centil” dengan memasukkan banyak bahasa Jepang
yang “mengotori” novel Indonesia ini. Tuturan Winna di novel ini justru sangat
baku dan cocok dijadikan pegangan buku bahasa Indonesia—barangkali kekurangannya
hanya adegan Shin dan Ai yang tidur sekamar—tak seperti beberapa penulis lain
yang menggunakan setting luar negeri dan banyak memasukkan dialog berbahasa
asing, membuat pembaca berkali-kali harus menengok catatan kaki.
Nyaris
semua adegan di dalam novel ini memang filmis, sehingga sudah pasti bisa
diadaptasikan ke dalam film. Saya seperti sedang menyaksikan sebuah dorama
Jepang. Berhubung Ai ini Indo-Jepang (gadis Bali keturunan Jepang), jadi bisa
memakai artis Indonesia untuk memerankannya. Yang berwajah campuran Bali dan
Jepang.
Sayangnya,
harus ada yang dikorbankan dalam kisah cinta Ai dan Sei yang terbalut
persahabatan ini. Shin yang “dibunuh” oleh penulisnya dan Natsu, pacar Sei yang
diputuskan begitu saja setelah Shin meninggal, karena Sei ingin memperhatikan
Ai. Ucapan Natsu ini tepat sekali dialamatkan kepada Ai, yang mendapatkan
perhatian Sei, tapi tak juga menerima cinta pemuda itu.
“Apakah kau sadar bahwa yang selama ini
kaulakukan adalah memanfaatkan Sei? Kau menganggapnya tidak lebih dari sekadar
perisai untuk melindungimu dirimu sendiri.” (halaman 262).
Novel
ini bisa mendapatkan 4 bintang dari saya, jika saja saya tak berhenti
membacanya pada beberapa bab terakhir, saking terserang kejenuhan, syukurlah
saya bisa melanjutkan membaca. Jadi, saya kasih 3 bintang untuk novel Ai-Winna
Efendi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar