Jumat, 10 Oktober 2014

Satin Merah


Judul: Satin Merah (Aku Hanya Ingin Menjadi Signifikan)
Penulis: Brahmanto Anindito & Rie Yanti
Penerbit: Gagas Media
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, 2010
Jumlah Halaman: xiv + 314
ISBN: 978-979-780-443-5

“Satin merah. Sastra-sastra yang ditulis dengan tinta merah, alias darah. Semua pengarang yang gayanya ditiru telah almarhum, beberapa saat  sebelum karya-karya itu dipublikasikan Lotus dan blogger nggak jelas bernama Lina I.” (halaman 272).


Saya sudah tahu buku ini ketika pertama kali terbit di tahun 2010, konon katanya ini buku bagus dan “nyastra,” tapi berbau thriller, atau kisah pembunuhan. Bayangan “nyastra” membuat saya berpikir buku ini ditulis dengan bahasa yang “ribet” (literer) yang akan sulit saya mengerti dengan permainan diksi yang rumit. Ternyata setelah membacanya, dugaan saya salah. Ini memang novel bertema pembunuhan. Nyastra? Ya, tapi bukan dari segi bahasanya melainkan latar belakang tokoh-tokohnya yang bergelut di bidang Sastra Sunda.

Gaya bercerita kedua penulisnya tidak berbelit-belit, bisa dimengerti, bahkan cenderung sederhana. Coba saja baca bagian pembukanya yang mirip dengan cerita-cerita di buku Bahasa Indonesia (berarti emang nyastra, dong!) dan novel-novel masa lampau:

“Pada siang yang terik, Juni 2009, Polsek Margacinta diributkan oleh laporan dua wartawan bulletin Kumaha Damang, Nakula dan Sadewa. Kedua remaja itu menemukan calon narasumber mereka, Yahya Soemantri, tidak berada di rumahnya. Ilalang di pekarangan rumah pujangga Sastra Sunda itu sudah selutut orang dewasa. Rumahnya sendiri berdebu, tetapi tak satu pun pintu terkunci….” (halaman 1).

Tidak ada kata yang “tak biasa”, bukan? Di sinilah keuntungannya, saya jadi tidak  perlu menguras otak untuk memahami jalan ceritanya. Lain halnya kalau saya membaca novel penulis yang pengolahan diksinya rumit, mungkin novel ini perlu waktu berbulan-bulan untuk dibaca. Kamu tahulah, sastra literer di mana kita harus buka KBBI untuk mengetahui arti kata per kata yang digunakan. Jujur, itu bikin lama proses membaca.
Nadya, seorang siswi SMA di Bandung, lolos seleksi perlombaan remaja berprestasi. Dia harus menyiapkan semacam makalah tentang dunia remaja. Dia merasa tema-tema yang sudah ada terlalu umum, sampai kemudian dia mendapatkan ide untuk menulis tentang Sastra Sunda di kalangan remaja Pasundan yang sudah mulai lenyap ditelah zaman. Sebagai anak yang besar di Bandung, dia pun sudah jarang menggunakan Bahasa Sunda. Pencarian narasumber pun dimulai, dari mulai sastrawan-sastrawan Sunda sampai ke dosen Sastra Sunda. Tragisnya, semua narasumber yang ditemui Nadya, menghilang tanpa jejak hingga kemudian ditemukan telah tewas.

Penulis tidak bermaksud menyembunyikan siapa pembunuhnya, karena sejak awal sudah diterangkan bahwa pelakunya adalah Nadya, siswi SMA itu. Pertama, sastrawan senior bernama Yahya, yang hidup sendiri karena istrinya sudah meninggal dan tidak punya anak. Mulanya, Yahya bersedia menjadi narasumber Nadya, bahkan mengajari anak itu menulis. Petaka terjadi saat Yahya menyindir tulisan Nadya yang jelek. Dipenuhi emosi, Nadya memukuli kepala Yahya sampai mati.

Kemudian, Nadya menemui Deni, penulis berbahasa Sunda yang putar haluan menjadi penulis cerita-cerita kriminal. Hubungan mereka pun baik-baik saja, Deni pun turut mengajari Nadya menulis, sampai kemudian Nadya kembali terpicu oleh kemarahan dan mencekik Deni. Belum selesai sampai di situ, Nadya menemui Ningsing, penulis wanita asli Sunda, yang kaya dari menulis. Ningsih kembali menemui ajal di tangan Nadya. Tidak ada yang percaya bahwa Nadya-lah pelakunya. Anak SMA yang baru berusia 17 tahun? Walaupun Nadya terakhir kali terlihat bersama Ningsih, tak ada seorang pun yang menaruh curiga kecuali Lina, dosen Sastra Sunda yang menjadi tempat konsultasi Nadya.

Lina juga yang menemukan teori Satin Merah, sastra tinta merah, sastra yang ditulis dengan darah. Apakah Lina juga akan tewas di tangan Nadya setelah gadis itu menyadari bahwa sepak terjangnya nyaris diketahui oleh Lina? Temukan jawabannya di dalam novel ini.

Yap, memang sih gaya bahasa cerita ini agak kaku, mirip-mirip berita-berita kriminal, tapi ceritanya asyik juga disimak. Kita juga jadi bisa sedikit tahu tentang Sastra Sunda. Saya pikir penulis bakal menyembunyikan siapa pembunuhnya, seperti di novel-novel thriller dan kriminal lain, tapi ternyata tidak. Kita dibiarkan mengetahui bahwa Nadya-lah pembunuhnya. Hanya saja, kita disuruh menebak-nebak, mengapa Nadya melakukannya. Yang menjadi pertanyaan:

Pertama, benarkah anak-anak remaja di Bandung sudah malas menggunakan bahasa Sunda? Sebab, sebagai menantu dari keluarga Sunda, seluruh keluarga suami dari yang tua sampai muda, masih setia berbahasa Sunda, tidak seperti Nadya dan teman-temannya yang malas berbahasa Sunda, hehehe…. Suami dan adik-adiknya kuliah di Bandung dan tetap berbahasa Sunda.

Kedua, agak-agak bingung mulanya kenapa Nadya tega membunuh dan kok bisa ya gadis semuda dia membunuh laki-laki dewasa? Penulis memberikan alibi, yaitu Yahya terjatuh dari tangga sehingga mudah dihabisi dan ukuran tubuh Deni yang kecil.  Untuk Deni, saya masih bingung sih, sekuat apa Nadya sampai sukses mencekik seorang laki-laki? Untuk Ningsih, walaupun cara membunuhnya klise, yaitu memasukkan racun sianida, tapi bolehlah.

Ketiga, walaupun Nadya itu psikopat, ternyata dia tidak tega membunuh ayah dan adiknya, padahal alasan Nadya menjadi psikopat adalah karena iri terhadap perlakuan orang tua kepada adiknya. Adiknya selalu diistimewakan. Dalam kasus-kasus kriminal di dunia nyata, justru keluarga yang tidak adil yang menjadi sasaran pembunuh. Nah ini, Nadya di akhir cerita malah dikisahkan sayang sekali sama adiknya. Agak kurang inkonsisten.

Keempat, endingnya agak mengecewakan dn terkesan musykil. Seperti apa endingnya? Ya, baca sendiri deh, yang pasti agak kurang memuaskan bagi saya.

Apa pun, novel ini cukup mengasyikkan untuk dibaca dan tidak begitu menyeramkan  kok.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar