Judul:
Satin Merah (Aku Hanya Ingin Menjadi Signifikan)
Penulis:
Brahmanto Anindito & Rie Yanti
Penerbit:
Gagas Media
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, 2010
Jumlah
Halaman: xiv + 314
ISBN:
978-979-780-443-5
“Satin merah. Sastra-sastra yang ditulis
dengan tinta merah, alias darah. Semua pengarang yang gayanya ditiru telah
almarhum, beberapa saat sebelum
karya-karya itu dipublikasikan Lotus dan blogger nggak jelas bernama Lina I.”
(halaman 272).
Saya
sudah tahu buku ini ketika pertama kali terbit di tahun 2010, konon katanya ini
buku bagus dan “nyastra,” tapi berbau thriller, atau kisah pembunuhan. Bayangan
“nyastra” membuat saya berpikir buku ini ditulis dengan bahasa yang “ribet” (literer)
yang akan sulit saya mengerti dengan permainan diksi yang rumit. Ternyata
setelah membacanya, dugaan saya salah. Ini memang novel bertema pembunuhan.
Nyastra? Ya, tapi bukan dari segi bahasanya melainkan latar belakang
tokoh-tokohnya yang bergelut di bidang Sastra Sunda.
Gaya
bercerita kedua penulisnya tidak berbelit-belit, bisa dimengerti, bahkan cenderung
sederhana. Coba saja baca bagian pembukanya yang mirip dengan cerita-cerita di
buku Bahasa Indonesia (berarti emang
nyastra, dong!) dan novel-novel masa lampau:
“Pada siang yang terik, Juni 2009, Polsek
Margacinta diributkan oleh laporan dua wartawan bulletin Kumaha Damang, Nakula
dan Sadewa. Kedua remaja itu menemukan calon narasumber mereka, Yahya
Soemantri, tidak berada di rumahnya. Ilalang di pekarangan rumah pujangga
Sastra Sunda itu sudah selutut orang dewasa. Rumahnya sendiri berdebu, tetapi tak
satu pun pintu terkunci….” (halaman 1).
Tidak
ada kata yang “tak biasa”, bukan? Di sinilah keuntungannya, saya jadi
tidak perlu menguras otak untuk memahami
jalan ceritanya. Lain halnya kalau saya membaca novel penulis yang pengolahan
diksinya rumit, mungkin novel ini perlu waktu berbulan-bulan untuk dibaca. Kamu
tahulah, sastra literer di mana kita harus buka KBBI untuk mengetahui arti kata
per kata yang digunakan. Jujur, itu bikin lama proses membaca.
Nadya,
seorang siswi SMA di Bandung, lolos seleksi perlombaan remaja berprestasi. Dia
harus menyiapkan semacam makalah tentang dunia remaja. Dia merasa tema-tema
yang sudah ada terlalu umum, sampai kemudian dia mendapatkan ide untuk menulis
tentang Sastra Sunda di kalangan remaja Pasundan yang sudah mulai lenyap
ditelah zaman. Sebagai anak yang besar di Bandung, dia pun sudah jarang
menggunakan Bahasa Sunda. Pencarian narasumber pun dimulai, dari mulai
sastrawan-sastrawan Sunda sampai ke dosen Sastra Sunda. Tragisnya, semua
narasumber yang ditemui Nadya, menghilang tanpa jejak hingga kemudian ditemukan
telah tewas.
Penulis
tidak bermaksud menyembunyikan siapa pembunuhnya, karena sejak awal sudah
diterangkan bahwa pelakunya adalah Nadya, siswi SMA itu. Pertama, sastrawan
senior bernama Yahya, yang hidup sendiri karena istrinya sudah meninggal dan
tidak punya anak. Mulanya, Yahya bersedia menjadi narasumber Nadya, bahkan
mengajari anak itu menulis. Petaka terjadi saat Yahya menyindir tulisan Nadya
yang jelek. Dipenuhi emosi, Nadya memukuli kepala Yahya sampai mati.
Kemudian,
Nadya menemui Deni, penulis berbahasa Sunda yang putar haluan menjadi penulis
cerita-cerita kriminal. Hubungan mereka pun baik-baik saja, Deni pun turut
mengajari Nadya menulis, sampai kemudian Nadya kembali terpicu oleh kemarahan
dan mencekik Deni. Belum selesai sampai di situ, Nadya menemui Ningsing,
penulis wanita asli Sunda, yang kaya dari menulis. Ningsih kembali menemui ajal
di tangan Nadya. Tidak ada yang percaya bahwa Nadya-lah pelakunya. Anak SMA
yang baru berusia 17 tahun? Walaupun Nadya terakhir kali terlihat bersama
Ningsih, tak ada seorang pun yang menaruh curiga kecuali Lina, dosen Sastra
Sunda yang menjadi tempat konsultasi Nadya.
Lina
juga yang menemukan teori Satin Merah, sastra tinta merah, sastra yang ditulis
dengan darah. Apakah Lina juga akan tewas di tangan Nadya setelah gadis itu
menyadari bahwa sepak terjangnya nyaris diketahui oleh Lina? Temukan jawabannya
di dalam novel ini.
Yap,
memang sih gaya bahasa cerita ini agak kaku, mirip-mirip berita-berita
kriminal, tapi ceritanya asyik juga disimak. Kita juga jadi bisa sedikit tahu
tentang Sastra Sunda. Saya pikir penulis bakal menyembunyikan siapa
pembunuhnya, seperti di novel-novel thriller dan kriminal lain, tapi ternyata
tidak. Kita dibiarkan mengetahui bahwa Nadya-lah pembunuhnya. Hanya saja, kita
disuruh menebak-nebak, mengapa Nadya melakukannya. Yang menjadi pertanyaan:
Pertama,
benarkah anak-anak remaja di Bandung sudah malas menggunakan bahasa Sunda?
Sebab, sebagai menantu dari keluarga Sunda, seluruh keluarga suami dari yang
tua sampai muda, masih setia berbahasa Sunda, tidak seperti Nadya dan
teman-temannya yang malas berbahasa Sunda, hehehe…. Suami dan adik-adiknya
kuliah di Bandung dan tetap berbahasa Sunda.
Kedua,
agak-agak bingung mulanya kenapa Nadya tega membunuh dan kok bisa ya gadis
semuda dia membunuh laki-laki dewasa? Penulis memberikan alibi, yaitu Yahya
terjatuh dari tangga sehingga mudah dihabisi dan ukuran tubuh Deni yang kecil. Untuk Deni, saya masih bingung sih, sekuat apa
Nadya sampai sukses mencekik seorang laki-laki? Untuk Ningsih, walaupun cara
membunuhnya klise, yaitu memasukkan racun sianida, tapi bolehlah.
Ketiga,
walaupun Nadya itu psikopat, ternyata dia tidak tega membunuh ayah dan adiknya,
padahal alasan Nadya menjadi psikopat adalah karena iri terhadap perlakuan
orang tua kepada adiknya. Adiknya selalu diistimewakan. Dalam kasus-kasus
kriminal di dunia nyata, justru keluarga yang tidak adil yang menjadi sasaran
pembunuh. Nah ini, Nadya di akhir cerita malah dikisahkan sayang sekali sama
adiknya. Agak kurang inkonsisten.
Keempat,
endingnya agak mengecewakan dn terkesan musykil. Seperti apa endingnya? Ya,
baca sendiri deh, yang pasti agak kurang memuaskan bagi saya.
Apa
pun, novel ini cukup mengasyikkan untuk dibaca dan tidak begitu
menyeramkan kok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar