Judul:
Dunia di Kepala Alice
Penulis:
Ucu Agustin
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, Agustus 2006
ISBN:
979-22-2379-7
Jumlah
Halaman: x + 131
“Di antara penulis muda, Ucu Agustin adalah
salah satu favorit saya. Cerpennya adalah dongeng dengan perkara kontemporer,
yang mengaburkan batas antara dunia khayal dan nyata, mitos dan modernitas,
dunia kanak dan dewasa.” Ayu Utami,
Penulis.
Ini
adalah kumpulan cerpen karya Ucu Agustin. Semuanya ditulis dari sudut pandang
seorang anak kecil. Judulnya “Dunia di Kepala Alice,” yang diambil dari salah
satu cerpen yang telah dimuat di Media Indonesia, 9 Oktober 2005 dengan judul
“Dunia di Kepalanya.” Semua cerpen yang
ada di dalam buku ini telah dimuat di media massa ternama seperti: Femina,
Suara Merdeka, Koran Tempo, Media Indonesia, Majalah Playboy, dan Jawa Pos. Tak
heran bila cerpen-cerpen ini mendapatkan pujian dari penulis-penulis sastra.
Metafora-metafora
tersebar di setiap diksi yang dirajut oleh Ucu Agustin, memaksa pembaca untuk
memahami artinya. Bukan dunia kanak-kanak yang ceria dan jenaka yang hendak
disampaikan oleh Ucu, melainkan dunia yang gelap, suram, dan sakit. Dunia
kanak-kanak yang ternodai oleh tindak tanduk orang dewasa di sekitar mereka.
Simaklah
kisah “aku” menghadapi pertengkaran orang tuanya dalam cerpen berjudul “Vacuum
Cleaner.” Setiap kali mendengar orang tuanya bertengkar, “aku” segera
menghidupkan vacuum cleaner agar suara pertengkaran itu dapat teredam.
“Aku
suka vacuum cleaner. Aku senang melihat debu dan benda-benda kotor hilang. Aku
pikir ibuku tomat. Ayahku adalah lada bubuk. Aku melihat lada itu terisap dan
masuk begitu saja ke penyimpan debu. Tapi tomat itu terlalu besar dan
bertingkah. Maka kuinjak dulu ia. Itulah balasan membuat sulit kerja vacuum
cleanerku….” (halaman 3)
Simaklah
kisah Alice, yang mengalami pelecehan seksual di usianya yang baru 5 tahun. Hal
itu membuat imajinasinya melayang jauh, mengkhayalkan kereta anelsesia. Kereta
pemakan memori, pengelupas kenangan. Kereta yang ingin dimasukkannya ke dalam
kepalanya.
“Alice
memejamkan mata. Tangan kanannya mulai memutar kenop. Di kepalanya, Alice
melihat cermin itu. Di dalam cermin, kereta anelsesia muncul berderak tanpa
suara. Bingo meloncat-loncat di dalamnya. Dan Alice melihat dirinya mengejar
Binggo sambil tertawa-tawa. Langit di dalam cermin begitu biru. Daun-daun hijau
dari pohonan yang dilewati kereta mengembuskan udara segar yang harum. Di
dapur, bau gas yang menggantung di langit-langit tercium semakin kuat.” (halaman 21)
Dalam
“Origins,” seorang ibu menceritakan kepada anaknya, mengenai siapa sebenarnya
ayah si anak. Si anak tak percaya ketika
diceritakan bahwa ayahnya adalah alien. Alien yang datang hanya dua malam dan
menghamili ibunya? Benarkah alien itu ada? Bagaimana jika alien memang tak ada,
sedangkan NASA telah menggelontorkan dana yang cukup mengatasi kelaparan di
Somalia?
Cerpen
“Giring Angin,” bercerita tentang seorang anak yang berayahkan angin. Di dalam
cerpen bertaburan metafora yang bebas diterjemahkan oleh pembaca.
“Lelaki-lelaki
dusun Oi Seda bilang, selain uang, bagian terbagus dari Nisa Kota adalah
apabila kota itu disinggahi malam. Tak seperti di dusun mereka yang gelap
gulita, jalan-jalan dan bangunan di Nisa Kota bergelimangan penuh kunang-kunang
bila gelap tiba. Kunang-kunang itu tidak berkeliaran, melainkan ditampung di
dalam tabung tipis yang bisa diletakkan di gedung-gedung besar, pertokoan, dan
sepanjang jalanan. Cahayanya bisa dihidupmatikan sesuai kebutuhan.” (halaman 40).
Dan
masih ada beberapa cerpen lagi dengan taburan metafora dan diksi yang memikat.
Saya percaya, tak cukup sehari dua hari untuk menuliskan cerpen-cerpen ini.
Karya-karya yang dibangun dengan pemikiran mendalam seorang Ucu Agustin. Apa yang mau saya kritik, sementara karya saya
tak ada seujung kuku pun dibandingkan Ucu. Karya sastra tak perlu menjelaskan
maksudnya secara tersirat. Pembaca dipersilakan menerjemahkannya sendiri. Seperti
ketika Alice memutuskan untuk memasukkan kepalanya ke dalam oven, agar berubah
menjadi bolu yang mekar dan enak.
Namun,
sayangnya, pada cerpen berjudul “Lelaki yang Menetas di Tubuhku,” Ucu Agustin
memperlihatkan keberpihakannya pada lesbian.
“Karena
tentang benar atau salah. Di manakah posisiku menurutmu, sebenarnya? Berbohong
pada orang mungkin aku mampu. Namun, berbohong pada diri sendiri rasanya mau
mampus saja. Mengapa kalian memberi kata depan jenis, untuk kelamin? Mengapa
bukan macam atau tipe saja? Kenapa kalian hanya membaginya cuma menjadi dua?
Kenapa kata itu hanya untuk lelaki dan perempuan saja? Jawablah! Sebab aku
adalah perempuan, namun ada lelaki yang menetas di tubuhku.” (halaman 90)
Padahal,
di awal kisah dijelaskan penyebab si tokoh menjadi lesbian. Akibat melihat
percumbuan antara sesama lesbian. Ucu
ingin menggiring setiap lesbian untuk menerima takdirnya, tanpa memberi
peluang bahwa takdir bisa diubah. Saya jadi teringat kisah pelecehan seksual
yang menimpa anak-anak lelaki. Mereka disodomi. Pada “ahli” berpendapat, bahwa
anak-anak itu berpotensi menjadi homo, akibat telah merasakan sodomi. Padahal,
belum tentu begitu. Mengapa kita sudah menetapkan takdir yang jelek untuk
anak-anak itu? Apakah dengan begitu, kita tidak perlu lagi memberikan terapi
kepada anak-anak itu agar mereka kelak tetap memiliki kecenderungan seksual
yang lurus? Karena toh mereka sudah terlanjur kena sodomi dan besok pasti jadi
penyodomi juga.
Tentu
saja, bagi saya, lesbian, gay, biseksual, dan transgender adalah penyakit.
Penyakit itu bisa diobati. Bukan berarti
seorang anak yang pernah mengalami pelecehan seksual dari sesama jenisnya, lalu
tidak bisa diobati dan dibiarkan kelak memiliki kecenderungan seks yang sama. Dengan
kata lain, bagian akhir dari cerpen “Lelaki yang Menetas di Tubuhku” itu
sebenarnya bisa dihilangkan saja untuk meniadakan keberpihakan penulisnya
terhadap lesbianisme.
Belum pernah baca tulisan Ucu Agustin, sepertinya menarik ya
BalasHapus