Rabu, 07 Mei 2014

Dunia di Kepala Alice


Judul: Dunia di Kepala Alice
Penulis: Ucu Agustin
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Agustus 2006
ISBN: 979-22-2379-7
Jumlah Halaman: x + 131

“Di antara penulis muda, Ucu Agustin adalah salah satu favorit saya. Cerpennya adalah dongeng dengan perkara kontemporer, yang mengaburkan batas antara dunia khayal dan nyata, mitos dan modernitas, dunia kanak dan dewasa.” Ayu Utami, Penulis.


Ini adalah kumpulan cerpen karya Ucu Agustin. Semuanya ditulis dari sudut pandang seorang anak kecil. Judulnya “Dunia di Kepala Alice,” yang diambil dari salah satu cerpen yang telah dimuat di Media Indonesia, 9 Oktober 2005 dengan judul “Dunia di Kepalanya.” Semua  cerpen yang ada di dalam buku ini telah dimuat di media massa ternama seperti: Femina, Suara Merdeka, Koran Tempo, Media Indonesia, Majalah Playboy, dan Jawa Pos. Tak heran bila cerpen-cerpen ini mendapatkan pujian dari penulis-penulis sastra.

Metafora-metafora tersebar di setiap diksi yang dirajut oleh Ucu Agustin, memaksa pembaca untuk memahami artinya. Bukan dunia kanak-kanak yang ceria dan jenaka yang hendak disampaikan oleh Ucu, melainkan dunia yang gelap, suram, dan sakit. Dunia kanak-kanak yang ternodai oleh tindak tanduk orang dewasa di sekitar mereka.

Simaklah kisah “aku” menghadapi pertengkaran orang tuanya dalam cerpen berjudul “Vacuum Cleaner.” Setiap kali mendengar orang tuanya bertengkar, “aku” segera menghidupkan vacuum cleaner agar suara pertengkaran itu dapat teredam.

“Aku suka vacuum cleaner. Aku senang melihat debu dan benda-benda kotor hilang. Aku pikir ibuku tomat. Ayahku adalah lada bubuk. Aku melihat lada itu terisap dan masuk begitu saja ke penyimpan debu. Tapi tomat itu terlalu besar dan bertingkah. Maka kuinjak dulu ia. Itulah balasan membuat sulit kerja vacuum cleanerku….” (halaman 3)

Simaklah kisah Alice, yang mengalami pelecehan seksual di usianya yang baru 5 tahun. Hal itu membuat imajinasinya melayang jauh, mengkhayalkan kereta anelsesia. Kereta pemakan memori, pengelupas kenangan. Kereta yang ingin dimasukkannya ke dalam kepalanya.

“Alice memejamkan mata. Tangan kanannya mulai memutar kenop. Di kepalanya, Alice melihat cermin itu. Di dalam cermin, kereta anelsesia muncul berderak tanpa suara. Bingo meloncat-loncat di dalamnya. Dan Alice melihat dirinya mengejar Binggo sambil tertawa-tawa. Langit di dalam cermin begitu biru. Daun-daun hijau dari pohonan yang dilewati kereta mengembuskan udara segar yang harum. Di dapur, bau gas yang menggantung di langit-langit tercium semakin kuat.” (halaman 21)

Dalam “Origins,” seorang ibu menceritakan kepada anaknya, mengenai siapa sebenarnya ayah si anak. Si anak  tak percaya ketika diceritakan bahwa ayahnya adalah alien. Alien yang datang hanya dua malam dan menghamili ibunya? Benarkah alien itu ada? Bagaimana jika alien memang tak ada, sedangkan NASA telah menggelontorkan dana yang cukup mengatasi kelaparan di Somalia?

Cerpen “Giring Angin,” bercerita tentang seorang anak yang berayahkan angin. Di dalam cerpen bertaburan metafora yang bebas diterjemahkan oleh pembaca.

“Lelaki-lelaki dusun Oi Seda bilang, selain uang, bagian terbagus dari Nisa Kota adalah apabila kota itu disinggahi malam. Tak seperti di dusun mereka yang gelap gulita, jalan-jalan dan bangunan di Nisa Kota bergelimangan penuh kunang-kunang bila gelap tiba. Kunang-kunang itu tidak berkeliaran, melainkan ditampung di dalam tabung tipis yang bisa diletakkan di gedung-gedung besar, pertokoan, dan sepanjang jalanan. Cahayanya bisa dihidupmatikan sesuai kebutuhan.” (halaman 40).

Dan masih ada beberapa cerpen lagi dengan taburan metafora dan diksi yang memikat. Saya percaya, tak cukup sehari dua hari untuk menuliskan cerpen-cerpen ini. Karya-karya yang dibangun dengan pemikiran mendalam seorang Ucu Agustin.  Apa yang mau saya kritik, sementara karya saya tak ada seujung kuku pun dibandingkan Ucu. Karya sastra tak perlu menjelaskan maksudnya secara tersirat. Pembaca dipersilakan menerjemahkannya sendiri. Seperti ketika Alice memutuskan untuk memasukkan kepalanya ke dalam oven, agar berubah menjadi bolu yang mekar dan enak.

Namun, sayangnya, pada cerpen berjudul “Lelaki yang Menetas di Tubuhku,” Ucu Agustin memperlihatkan keberpihakannya pada lesbian.

“Karena tentang benar atau salah. Di manakah posisiku menurutmu, sebenarnya? Berbohong pada orang mungkin aku mampu. Namun, berbohong pada diri sendiri rasanya mau mampus saja. Mengapa kalian memberi kata depan jenis, untuk kelamin? Mengapa bukan macam atau tipe saja? Kenapa kalian hanya membaginya cuma menjadi dua? Kenapa kata itu hanya untuk lelaki dan perempuan saja? Jawablah! Sebab aku adalah perempuan, namun ada lelaki yang menetas di tubuhku.” (halaman 90)

Padahal, di awal kisah dijelaskan penyebab si tokoh menjadi lesbian. Akibat melihat percumbuan antara sesama lesbian. Ucu  ingin menggiring setiap lesbian untuk menerima takdirnya, tanpa memberi peluang bahwa takdir bisa diubah. Saya jadi teringat kisah pelecehan seksual yang menimpa anak-anak lelaki. Mereka disodomi. Pada “ahli” berpendapat, bahwa anak-anak itu berpotensi menjadi homo, akibat telah merasakan sodomi. Padahal, belum tentu begitu. Mengapa kita sudah menetapkan takdir yang jelek untuk anak-anak itu? Apakah dengan begitu, kita tidak perlu lagi memberikan terapi kepada anak-anak itu agar mereka kelak tetap memiliki kecenderungan seksual yang lurus? Karena toh mereka sudah terlanjur kena sodomi dan besok pasti jadi penyodomi juga.

Tentu saja, bagi saya, lesbian, gay, biseksual, dan transgender adalah penyakit. Penyakit itu bisa diobati.  Bukan berarti seorang anak yang pernah mengalami pelecehan seksual dari sesama jenisnya, lalu tidak bisa diobati dan dibiarkan kelak memiliki kecenderungan seks yang sama. Dengan kata lain, bagian akhir dari cerpen “Lelaki yang Menetas di Tubuhku” itu sebenarnya bisa dihilangkan saja untuk meniadakan keberpihakan penulisnya terhadap lesbianisme. 

1 komentar: