Judul:
Aku Bocah 10 Tahun Pembebas Budak Anak
Penulis:
Andrew Crofts
Penerjemah:
Utti Setiawati
Penerbit:
Puspa Populer
Tahun
Terbit: Cetakan 1, 2013
Jumlah
Halaman: vi + 262
ISBN:
978-602-8290-951
Dapatkah
Anda bayangkan bocah berusia 4 tahun sudah bekerja di Pabrik Karpet, menenun
dan melukai tangannya dengan jarum tenun. Duduk berjam-jam dari sebelum Subuh
hingga malam tanpa dibayar, karena bayarannya digunakan untuk melunasi biaya
pernikahan kakaknya? Saya tak dapat membayangkannya hingga merasa nyeri.
Anak-anak saya yang sudah berusia 6 dan 5 tahun saja tidak bisa duduk diam,
apalagi untuk bekerja? Dan tahukah mereka apa itu bekerja? Mereka hanya
melakukan perintah orang dewasa dan hanya tahu bahwa mereka akan mendapatkan
pukulan bila tidak bekerja.
Nasib
naas itulah yang menimpa Iqbal beserta ribuan anak lainnya di Pakistan.
Walaupun perbudakan sudah dihapuskan sejak zaman Rasulullah Saw, pada
prakteknya masih saja terdapat perbudakan terutama di negara-negara miskin dan
terbelakang. Anak-anak bukan saja tidak mendapatkan pendidikan, melainkan juga
harus bekerja untuk membantu orang tua. Tak perlu jauh-jauh ke Pakistan
pemerintah Indonesia pun belum sanggup mengatasi perbudakan anak-anak yang
dipaksa mengamen, mengemis, dan berjualan oleh orang tuanya, dalam usia yang
sangat dini.
Iqbal
Masih, seorang bocah Pakistan berusia 4 tahun, hanya menuruti suruhan kakaknya,
Aslam, untuk bekerja di sebuah pabrik karpet karena Aslam butuh uang untuk
biaya pernikahannya. Iqbal tak tahu apa itu bekerja. Dia pikir bekerja itu
seperti bermain-main saja. Dia menuruti suruhan kakaknya, karena Aslam
mengatakan bahwa semua orang di tempatnya telah melakukan tradisi itu turun
temurun. Tradisi bekerja di usia muda. Majikan pertamanya cukup baik karena tak
menegurnya walau dia malas-malasan bekerja dan suka melarikan diri. Akan tetapi,
sang majikan rupanya tak tahan akan kenakalan Iqbal, dan lalu menjual Iqbal
kepada majikan kedua yang sangat jahat.
Majikan
kedua seolah tak memahami bahwa Iqbal masih kanak-kanak, sehingga Iqbal
diforsir bekerja. Apabila malas-malasan, Iqbal harus kerja lembur untuk
mengganti jam kerja yang kurang. Sejak itu, Iqbal bertekad untuk melarikan diri
dari Pabrik Karpet tempatnya bekerja. Usaha pelarian diri yang pertama itu
berhasil. Iqbal mengadukan perlakuan sang majikan kepada polisi. Polisi pun mengajak
Iqbal ke tempat majikannya. Iqbal mengira para polisi akan menangkap
majikannya, ternyata polisi itu justru mengembalikannya kepada sang majikan
dengan imbalan uang! Hidup Iqbal semakin buruk karena sang majikan sangat marah
dan Iqbal harus bekerja rodi untuk membayar pelariannya.
Bertahun-tahun
berlalu, Iqbal kembali menemukan cara untuk melarikan diri, dan dia berhasil!
Tapi dia tidak akan kembali ke polisi, juga pulang ke rumah. Dia luntang
lantung di jalan sampai bertemu dengan aktivis kemanusiaan, Ehsan. Semula Iqbal
tak percaya dengan Ehsan, tapi dia tak punya tempat berlindung lagi. Syukurlah,
Ehsan benar-benar mau membantunya untuk bebas dari perbudakan. Bahkan kemudian
Iqbal bisa membebaskan ribuan temannya yang masih menjadi budak. Namanya pun
menjadi terkenal. Akan tetapi, dia tetap tak memiliki akhir yang baik sebagai
seorang pahlawan kecil.
Membaca
kisah nyata yang ditulis dengan gaya novel ini membuat saya merinding. Begitu kejamnya
hidup yang harus dijalani oleh anak-anak Pakistan miskin seperti Iqbal dan kawan-kawan.
Saya tak tahu apakah mereka masih diliputi oleh perbudakan. Kemiskinan memang
selalu membutuhkan korban. Anak-anak adalah salah satunya. Para orang tua
miskin tak merasa sedih sekalipun salah satu anak mereka mati, karena toh
mereka memiliki anak-anak yang lain. Anak-anak hanya menjadi komoditas yang
diperdagangkan oleh orang tua yang tak tahu cara untuk keluar dari kemiskinan.
Membaca
buku ini membuat kita mensyukuri hidup, bahwa di belahan dunia lain ada
orang-orang yang lebih naas hidupnya daripada kita. Iqbal, pada akhir hayatnya,
baru berusia 13 tahun, tetapi pikirannya sudah melampaui usianya. Dia masih
terus berusaha memperjuangkan kebebasan bagi anak-anak di Pakistan, meskipun
ancaman maut selalu mengintai.
weww...tragis banget ya mbak nasib anak-anak di sana, di Afghanistan saya dengar juga begitu :(
BalasHapusBtw, pengen baca buku ini