Kamis, 17 April 2014

Madre: Tak Ada Seorang Pun yang Sanggup Membuang Ibunya


Judul: Madre (a Coffee Table Book)
Penulis: Dee (Dewi Lestari)
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Maret 2013
Jumlah Halaman: xiv+94 Halaman
ISBN: 978-602-7888-24-1

“Saya cari di google, kata ‘Madre’ itu ternyata berasal dari bahasa Spanyol, artinya ‘ibu.’ Madre, Sang Adonan Biang, lahir sebelum ibu kandung saya. Dan, dia sanggup hidup lebih panjang dari penciptanya.” (halaman 24)


Sebuah kisah kadang terlahir dari sebuah kebetulan, sebagaimana kisah Madre yang dituturkan oleh Dee ini. Kita telah mengenal Dee sebagai seorang penyanyi dan penulis yang sukses. Talentanya memang luar biasa. Siapa sangka kalau Dee juga tertarik untuk membuat roti dan mengikuti kursus membuat roti, sehingga muncul ide cerita madre. Madre adalah sebutan untuk adonan biang yang digunakan untuk mengembangkan dan meronggakan roti. Madre bisa disimpan selama ratusan tahun. Novelet yang saya baca ini mulanya diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen. Dan kini saya membacanya dalam edisi film, dengan gambar-gambar berupa potongan-potongan adegan film Madre yang diperankan oleh Vino G. Bastian dan Laura Basuki.

Vino G. Bastian di dalam novella Madre berperan sebagai Tansen Wuisan, pemuda pekerja serabutan di Bali yang tiba-tiba mendapatkan surat wasiat bahwa dia mewarisi harta dari Tuan Tan, lelaki keturunan Tionghoa yang baru saja meninggal. Didorong oleh rasa penasaran, Tansen pergi ke Jakarta dan menemui pengacara Tuan Tan. Ternyata harta warisannya hanya sebuah kunci dan alamat. Tansen pun pergi ke alamat itu dan menemukan sebuah gedung tua bekas toko roti “Tan De Bekker.”

Si penunggu gedung, Pak Hadi, sudah mengetahui kedatangan Tansen dan menyambutnya dengan hangat. Tanpa berpanjang kata, Tansen mendapatkan penjelasan soal harta warisan yang didapatkannya. Kunci yang dipegangnya itu adalah kunci sebuah kulkas di mana tersimpan adonan biang yang sudah berumur puluhan tahun: Madre. Dengan kata lain, Tansen diminta meneruskan usaha roti Tan De Bekker yang sudah bangkrut. Tentu saja Tansen tidak mau karena dia tidak bisa membuat roti dan tidak mau tinggal di Jakarta. Dia menyerahkan Madre kepada Pak Hadi, yang langsung ditolak mentah-mentah. Pak Hadi memintanya untuk mencoba dulu membuat roti. Pada percobaan pertama, Tansen langsung berhasil membuatnya, menandakan bahwa dia pewaris yang tepat untuk madre.

Tansen menceritakan kejadian aneh itu di blognya, yang langsung disambut oleh salah seorang  pembaca blognya, Mei. Gadis itu bersikeras ingin membeli roti Tansen. Hingga sampailah pada kesimpulan bahwa Mei ingin membeli madre guna mengembangkan produk baru dari usaha toko rotinya “Fairy Bread,” yaitu dengan memproduksi roti-roti klasik. Roti klasik mengingatkan saya saat masih kecil di mana lewat tukang roti Tan Ek Tjoan  yang terkenal. Malah saya berpikir penamaan Tan De Bekker ini terinspirasi oleh Tan Ek Tjoan. Saya ingat roti-rotinya yang berukuran besar-besar, mengembang sempurna. Semula Tansen setuju dengan penawaran Mei, tetapi setelah melihat kesedihan di mata Pak Hadi dan eks karyawan Tan De Bekker lainnya, ia mengurungkan niatnya menjual madre. Bisakah ia dan para eks karyawan Tan De Bekker menghidupkan kembali kejayaan roti klasik itu dengan ketiadaan modal?

Apa yang membuat saya terkesan dengan novella ini?

Pertama, ide ceritanya luar biasa! Dari sebuah adonan biang dikembangkan menjadi cerita yang sederhana tetapi inspiratif. Bahkan, penamaan madre pun berkorelasi dengan si pembuat madre, yaitu nenek Tansen, Laksmi, dan latar belakang hidup Tansen. Tansen tak pernah melihat ibu dan neneknya karena neneknya meninggal saat melahirkan ibunya dan ibunya meninggal saat melahirkan Tansen. Ketika Tansen mengurungkan niatnya untuk menjual madre, para eks karyawan bertanya mengapa, dan Pak Hadi menjawab, “karena sebetulnya ndak ada yang sanggup menjual ibunya sendiri.” (halaman 50).

Kedua, cerita yang padat dan tidak bertele-tele. Entah apakah novella ini memang sengaja dikemas dalam bentuk novella sehingga tidak perlu berpanjang-panjang kata dengan jumlah halaman yang sedikit, yang pasti ceritanya menjadi lebih padat dan tidak bertele-tele. Semua rahasia yang mengelilingi hidup Tansen dibeberkan tanpa diulur-ulur, tetapi cerita masih terus menyimpan rahasia sehingga pembaca tidak bosan. Dengan jumlah halaman yang sedikit, pembaca pun tidak keberatan untuk menamatkannya.

Ketiga, sentuhan visual pada setiap halaman buku, entah itu potongan adegan dalam filmnya ataupun sekadar gambar kartun hitam putih. Setidaknya ini tidak membuat bosan pembaca, serta seolah sedang menonton filmnya.

Keempat, ada kalimat-kalimat yang digarisbawahi seakan untuk menegaskan bahwa kalimat itu amat penting atau mewakili ekspresi si tokoh.

Saya belum membaca Madre yang terbit di tahun 2011, jadi saya tidak bisa membandingkannya dengan versi film ini. Secara diksi, kata-kata di dalam novella ini benar-benar seperti kata-kata di dalam sebuah film, tidak berkerut-kerut kening dan mudah diserap otak. Jika dibandingkan dengan novel Supernova, karya perdana Dee yang memuat diksi ajaib dan tak biasa, tentu Madre lebih bisa diterima oleh pembaca pemula. Setelah membaca novella ini, saya semakin yakin bahwa Dee memang seorang penulis yang luar biasa.




2 komentar:

  1. 4 kelebihan sudah luar biasa. Ada kekurangan?

    BalasHapus
  2. gambar kartun hitam putihnya kayak apa, bun? aku belum pernah baca yang ini hehe. jadi penasaran

    BalasHapus