Selasa, 22 April 2014

Sepatu Dahlan: Perjuangan Dahlan Demi Sepasang Sepatu


Judul: Sepatu Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Nourabooks
Tahun Terbit: Mei, 2012
Jumlah Halaman: 392
ISBN: 978-602-949-8240

Siapa yang tak mengenal Prof. Dr. (HC) Dahlan Iskan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang keenam, mantan Dirut PLN, dan mantan CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos Grup? Namanya sempat melambung sebagai salah seorang pejabat negara yang merakyat, tegas, disiplin, dan amanah dalam memegang jabatan. Dahlan Iskan, lahir tanggal 17 Agustus 1951, tanggal kelahiran yang dikarangnya sendiri supaya sama dengan hari kemerdekaan Indonesia, karena orang tuanya yang miskin tidak sempat mencatatkan tanggal kelahirannya. Beliau selalu mengukir prestasi dalam setiap jabatan yang diembannya, diantaranya menghidupkan kembali Koran Jawa Pos  yang hampir mati, mereformasi PLN sehingga terbebas dari mati listrik, menciptakan BUMN yang bersih dari korupsi, dan mengembangkan mobil nasional yang digerakkan oleh listrik. Beliau juga sempat digadang-gadang menjadi calon presiden RI.


Ada banyak buku yang mengangkat profil beliau, salah satunya adalah novel biografi ini, sekuel pertama dari trilogi Dahlan Iskan. Sepatu Dahlan mengisahkan kenangan masa kecil Dahlan Iskan, terutama keinginannya memiliki sepatu. Dahlan Iskan lahir dari keluarga yang sangat miskin, sehingga tak heran bila paman, ibu, dan kakaknya satu per satu meninggal dunia dikarenakan penyakit kanker hati. Belakangan, Dahlan Iskan juga menderita penyakit yang sama, tetapi dia lebih beruntung karena sudah menjadi orang kaya dan bisa membiayai operasi transplantasi hati (ganti hati). Cerita dibuka dengan detik-detik menjelang operasi transplantasi hati yang dijalani Dahlan di Cina. Ingatan Dahlan melayang ke masa silam, masa kecilnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan, terutama dalam usahanya mendapatkan sepeda dan sepatu.

Sebagai novel biografi, novel ini tidak seratus persen sesuai dengan kenyataan. Pada catatan pengarang disebutkan bahwa sebagian tokoh di dalam kisah ini namanya dipendekkan, sebagian lainnya imajinasi pengarang. Jadi, novel ini berdasarkan kisah nyata Dahlan Iskan yang dikembangkan oleh imajinasi Khrisna Pabichara sebagai pengarang. Membaca novel ini kita merasakan kegetiran hidup seorang bocah yang tinggal di salah satu kampung di Magetan, Jawa Timur. Meskipun tanah di desa itu sangat subur, tidak ada penduduk asli kampung itu yang kaya. Sebagian tanah dimiliki oleh tuan tanah, sebagian lainnya milik pemerintah. Lelaki dewasa kebanyakan bekerja sebagai buruh, sedangkan wanitanya membatik. Dahlan juga ikut membantu orang tuanya bekerja menyabit rumput dan mengangon domba. Dalam keadaan tubuh lelah, dia masih harus belajar keras.

Dahlan yang bercita-cita bisa masuk ke SMP 3 Magetan, harus menerima nasib terdampar di Madrasah Tsanawiyah Pesantren Takeran. Tetapi, justru di sanalah dia mendapatkan banyak bekal menjadi pemimpin melalui wejangan-wejangan Kyai Irsjad. “Ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh santri yang akan kalian pilih. Pertama, santri itu harus tawaduk, harus rendah hati. Terpilih menjadi pemimpin bukan berarti menjadi penguasa yang berhak memerintah sekehendak hati, melainkan jadi pelayan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kedua,  harus tawakal. Dunia ini persinggahan semata. Jabatan adalah amanat yang dilimpahkan kepada kita, kelak kita akan dimintai tanggung jawab. Menjadi pemimpin bukan untuk gagah-gagahan atau cari pamor. Siapa pun yang terpilih harus siap bekerja. Sanggup?” (halaman 158).  

Novel ini juga menceritakan masa kelam Dahlan ketika mencuri makanan karena kelaparan. Pembaca diajak merasakan momen-momen kelaparan Dahlan, sehingga wajar bila mencuri. Akan tetapi, kakak perempuannya justru menasihati agar tidak mengulangi perbuatan itu. Walaupun miskin harta, asal jangan miskin iman. Lalu, bagaimana dengan keinginan Dahlan untuk memiliki sepatu yang dapat digunakannya bermain voli? Mampukah Dahlan memiliki benda mahal menurut ukurannya itu? Mampukah Dahlan bertarung dengan hati nuraninya, kembali mencuri demi memiliki sepatu idaman?

Novel ini sungguh apik menggambarkan sebagian kisah hidup Dahlan Iskan, mimpinya saat remaja, mimpi yang sangat sederhana: memiliki sepeda dan sepatu. Mimpi Dahlan remaja adalah mimpi anak-anak miskin di negeri ini, yang sekadar membeli sepatu saja kesulitan. Berpuluh tahun setelah Dahlan meninggalkan masa remajanya, masih banyak anak-anak Indonesia yang dijerat kemiskinan. Akankah dari anak-anak itu tumbuh Dahlan Iskan yang lain? Yang berjuang dan bekerja keras memperoleh sepatu dan kelak menjadi pemimpin besar?

Secara keseluruhan, novel ini memang bagus dan menginspirasi. Menulis sebuah novel biografi seseorang tentu membutuhkan riset mendalam dan penghayatan yang tinggi bagaimana jika penulis berada di posisi narasumber. Dahlan Iskan remaja tergambarkan sebagai sosok yang berkemauan keras dan pantang menyerah. Sebagai sebuah novel pencitraan, novel ini juga tidak hanya menggambarkan sisi positif Dahlan Iskan. Ada sisi negatifnya juga, seperti pengalaman Dahlan saat mencuri karena kelaparan.

Namun, agaknya saya kurang berselera terhadap gaya bercerita si penulis. Saya perlu waktu cukup lama untuk membaca novel ini, bahkan disela dengan membaca novel lain. Entah mungkin karena terlalu mendayu-dayu, tidak ada tegangan-tegangan, dan cenderung datar. Atau mungkin memang di situlah kesulitannya menulis novel berdasarkan kisah nyata seseorang, tak bisa sembarangan mengeksplorasi. Kebebasan berimajinasi dibatasi oleh kehendak narasumber. Ya, ya, mungkin saja kan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar