Judul: Sepatu Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Nourabooks
Tahun Terbit: Mei, 2012
Jumlah Halaman: 392
ISBN: 978-602-949-8240
Siapa yang tak mengenal Prof. Dr.
(HC) Dahlan Iskan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang keenam, mantan
Dirut PLN, dan mantan CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos Grup? Namanya
sempat melambung sebagai salah seorang pejabat negara yang merakyat, tegas,
disiplin, dan amanah dalam memegang jabatan. Dahlan Iskan, lahir tanggal 17
Agustus 1951, tanggal kelahiran yang dikarangnya sendiri supaya sama dengan
hari kemerdekaan Indonesia, karena orang tuanya yang miskin tidak sempat
mencatatkan tanggal kelahirannya. Beliau selalu mengukir prestasi dalam setiap
jabatan yang diembannya, diantaranya menghidupkan kembali Koran Jawa Pos yang hampir mati, mereformasi PLN sehingga
terbebas dari mati listrik, menciptakan BUMN yang bersih dari korupsi, dan
mengembangkan mobil nasional yang digerakkan oleh listrik. Beliau juga sempat
digadang-gadang menjadi calon presiden RI.
Ada banyak buku yang mengangkat
profil beliau, salah satunya adalah novel biografi ini, sekuel pertama dari trilogi
Dahlan Iskan. Sepatu Dahlan mengisahkan kenangan masa kecil Dahlan Iskan,
terutama keinginannya memiliki sepatu. Dahlan Iskan lahir dari keluarga yang
sangat miskin, sehingga tak heran bila paman, ibu, dan kakaknya satu per satu
meninggal dunia dikarenakan penyakit kanker hati. Belakangan, Dahlan Iskan juga
menderita penyakit yang sama, tetapi dia lebih beruntung karena sudah menjadi
orang kaya dan bisa membiayai operasi transplantasi hati (ganti hati). Cerita
dibuka dengan detik-detik menjelang operasi transplantasi hati yang dijalani
Dahlan di Cina. Ingatan Dahlan melayang ke masa silam, masa kecilnya yang penuh
dengan perjuangan dan pengorbanan, terutama dalam usahanya mendapatkan sepeda
dan sepatu.
Sebagai novel biografi, novel ini
tidak seratus persen sesuai dengan kenyataan. Pada catatan pengarang disebutkan
bahwa sebagian tokoh di dalam kisah ini namanya dipendekkan, sebagian lainnya
imajinasi pengarang. Jadi, novel ini berdasarkan kisah nyata Dahlan Iskan yang
dikembangkan oleh imajinasi Khrisna Pabichara sebagai pengarang. Membaca novel
ini kita merasakan kegetiran hidup seorang bocah yang tinggal di salah satu
kampung di Magetan, Jawa Timur. Meskipun tanah di desa itu sangat subur, tidak
ada penduduk asli kampung itu yang kaya. Sebagian tanah dimiliki oleh tuan
tanah, sebagian lainnya milik pemerintah. Lelaki dewasa kebanyakan bekerja
sebagai buruh, sedangkan wanitanya membatik. Dahlan juga ikut membantu orang
tuanya bekerja menyabit rumput dan mengangon domba. Dalam keadaan tubuh lelah,
dia masih harus belajar keras.
Dahlan yang bercita-cita bisa
masuk ke SMP 3 Magetan, harus menerima nasib terdampar di Madrasah Tsanawiyah
Pesantren Takeran. Tetapi, justru di sanalah dia mendapatkan banyak bekal
menjadi pemimpin melalui wejangan-wejangan Kyai Irsjad. “Ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh santri yang akan kalian pilih.
Pertama, santri itu harus tawaduk, harus rendah hati. Terpilih menjadi pemimpin
bukan berarti menjadi penguasa yang berhak memerintah sekehendak hati,
melainkan jadi pelayan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kedua, harus tawakal. Dunia ini persinggahan semata.
Jabatan adalah amanat yang dilimpahkan kepada kita, kelak kita akan dimintai
tanggung jawab. Menjadi pemimpin bukan untuk gagah-gagahan atau cari pamor.
Siapa pun yang terpilih harus siap bekerja. Sanggup?” (halaman 158).
Novel ini juga menceritakan masa
kelam Dahlan ketika mencuri makanan karena kelaparan. Pembaca diajak merasakan
momen-momen kelaparan Dahlan, sehingga wajar bila mencuri. Akan tetapi, kakak
perempuannya justru menasihati agar tidak mengulangi perbuatan itu. Walaupun
miskin harta, asal jangan miskin iman. Lalu, bagaimana dengan keinginan Dahlan
untuk memiliki sepatu yang dapat digunakannya bermain voli? Mampukah Dahlan
memiliki benda mahal menurut ukurannya itu? Mampukah Dahlan bertarung dengan
hati nuraninya, kembali mencuri demi memiliki sepatu idaman?
Novel ini sungguh apik
menggambarkan sebagian kisah hidup Dahlan Iskan, mimpinya saat remaja, mimpi
yang sangat sederhana: memiliki sepeda dan sepatu. Mimpi Dahlan remaja adalah
mimpi anak-anak miskin di negeri ini, yang sekadar membeli sepatu saja
kesulitan. Berpuluh tahun setelah Dahlan meninggalkan masa remajanya, masih
banyak anak-anak Indonesia yang dijerat kemiskinan. Akankah dari anak-anak itu
tumbuh Dahlan Iskan yang lain? Yang berjuang dan bekerja keras memperoleh
sepatu dan kelak menjadi pemimpin besar?
Secara keseluruhan, novel ini
memang bagus dan menginspirasi. Menulis sebuah novel biografi seseorang tentu
membutuhkan riset mendalam dan penghayatan yang tinggi bagaimana jika penulis
berada di posisi narasumber. Dahlan Iskan remaja tergambarkan sebagai sosok
yang berkemauan keras dan pantang menyerah. Sebagai sebuah novel pencitraan,
novel ini juga tidak hanya menggambarkan sisi positif Dahlan Iskan. Ada sisi
negatifnya juga, seperti pengalaman Dahlan saat mencuri karena kelaparan.
Namun, agaknya saya kurang
berselera terhadap gaya bercerita si penulis. Saya perlu waktu cukup lama untuk
membaca novel ini, bahkan disela dengan membaca novel lain. Entah mungkin karena
terlalu mendayu-dayu, tidak ada tegangan-tegangan, dan cenderung datar. Atau
mungkin memang di situlah kesulitannya menulis novel berdasarkan kisah nyata
seseorang, tak bisa sembarangan mengeksplorasi. Kebebasan berimajinasi dibatasi
oleh kehendak narasumber. Ya, ya, mungkin saja kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar