Sabtu, 25 Oktober 2014

Persiden


Judul: Persiden
Penulis: Wisran Hadi
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Mei 2013
Jumlah Halaman: xvi + 380
ISBN: 978-602-8811-39-2

Tertarik membeli buku ini karena label yang tertulis di kovernya: Novel Unggulan DKJ 2010. Ceritanya, saya mau belajar menulis novel sastra, walaupun saya tahu kebanyakan novel genre sastra sulit dicerna oleh otak saya. Ternyata benar. Saya tak sanggup menyelesaikan membaca novel ini, karena baru sampai bagian 3 setelah bukunya berbulan-bulan lalu saya beli dengan harga obral. Ah, sayang sekali, padahal baru setahun terbit, sudah diobral. Setelah dibeli pun, saya sulit membacanya. Sebagai penulis, saya lebih suka jika novel yang saya tulis bisa selesai dibaca dalam beberapa jam saja.


Persiden, apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata itu?  Kepala negara? Kalau di Indonesia, sebutan itu untuk sosok hitam kurus dari Solo yang baru saja terpilih sebagai pemimpin negara ini, hehehe…. Saya kira juga begitu, ternyata bukan. Persiden adalah nama sebuah mall yang terletak di persimpangan, kemudian disebut dengan nama Simpang Persiden. Nama mall itu tadinya adalah Presiden, tapi orang-orang menyebutnya Persiden. Layaknya sebuah mall, segala macam hiburan ada di situ.

Tak jauh dari Persiden, ada rumah adat khas Minang, yaitu Rumah Bagonjong, yang masih ditempati oleh anak cucu nenek dari nenek, pemilik rumah itu. Di sekitar rumah itu, ada rumah-rumah lain yang tak kalah tua dan tak direnovasi. Masalah muncul, karena akan ada pelebaran jalan yang membuat rumah itu harus digusur atau direlokasi, tetapi ternyata sertifikat tanahnya telah digadaikan oleh satu-satunya anak perempuan pemilik rumah, Cik Inan. Belum lagi ada masalah pembunuhan, pemerkosaan, dan perebutan tanah di antara anak keturunan.

Apa yang membuat saya sulit melahap novel ini sampai habis? Barangkali ini seperti yang dikatakan Bernard Batubara (penulis, editor) dalam kuliah tweetnya, saat ini saya belum memiliki kapasitas otak yang memadai untuk mencerna tuturan Wisran Hadi, sastrawan yang telah melahirkan sejumlah karya berkualitas dengan diraihnya berbagai penghargaan sastra: Sea Writers Award 2000, Anugerah FTI Award 2010, Anugerah Kebudayaan dari Presiden RI 2004, dan Hadiah Seni dari Presiden RI 2004. Penulis telah meninggal dunia dan novel ini diterbitkan untuk mengenang kepergian beliau.

Jujur, saya baru mengetahui profil beliau dari novel ini. Sebagaimana novel sastra lain, narasinya sangat mendominasi. Penulis memposisikan diri sebagai narator yang seakan-akan sedang bercerita tentang konflik di seputar Persiden dan Rumah Bagonjong: dua bangunan yang saling bertolak belakang. Yang satu adalah wujud modernisasi, satunya adalah warisan adat. Apakah rumah bagonjong berhasil dipertahankan? Saya tidak tahu, karena belum selesai membacanya dan tidak tahu apakah saya bakal membacanya lagi. Barangkali nanti jika otak saya sudah berkembang.

Setelah mencari di Wikipedia, ternyata rumah bagonjong tak lain tak bukan adalah rumah gadang! Halaaah… penulis memakai kata yang kurang umum. Kalau rumah gadang, saya tahu sejak masih SD. Rumahnya besar, dan memang digunakan oleh seluruh keluarga besar. Seandainya, novel ini ditulis dengan gaya remaja, pasti generasi muda seperti saya akan lebih mudah memahami pesan yang disampaikan, yaitu tradisi Minangkabau beserta rumah gadangnya. 

Rumah Bagonjong



1 komentar: