Judul:
Sayap-Sayap Sakinah
Penulis:
Afifah Afra dan Riawani Elyta
Penerbit:
Indiva
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, Ramadhan 1435 H/ Juli 2014
Jumlah
Halaman: 248
ISBN:
978-602-1614-22-8
Saya
akan membuka review ini dengan puisi karya Afifah Afra di halaman depan buku
ini:
Kita adalah sepasang sayap
Diciptakan-Nya tuk mengangkasa
Susuri hidup penuh dinamika
Beri aku kuatmu saat ku lelah
Kuberi akasku saat kau lemah
Beri aku sinarmu saat ku redup
Kuberi hangatku saat kau kuyup
Kita adalah sepasang sayap
Sayap-sayap sakinah
Yang tak pernah lelah
Melangkah bersama menuju jannah
Menikah
adalah salah satu fase kehidupan terpenting yang sayang untuk dilewatkan. Menikah
bagi umat Islam termasuk ibadah. Tak hanya itu, nilainya bahkan setengah agama.
Karenanya, penting sekali memiliki ilmu menikah. Ya, menikah memang membutuhkan
ilmu. Buku ini adalah salah satu sumber ilmu tentang pernikahan. Ditulis oleh
dua penulis yang sudah menikah dalam rumah tangga yang insya Allah sakinah,
tentu dapat menjadi sumber referensi yang mumpuni.
Di
bagian pertama buku, kita akan lebih banyak membaca tulisan Afifah Afra, dari
mulai Misteri Jodoh, Menikah Untuk Sakinah, Jalan Menuju Cinta, lalu disambung
oleh tulisan Riawani Elyta, dilanjutkan lagi oleh Afifah Afra, dan menjelang
bab-bab terakhir, kita akan lebih banyak membaca tulisan Riawani Elyta. Apakah
ada perbedaan gaya menulis di antara kedua penulis? Ya, ada. Ketika membaca
tulisan Afifah Afra, saya seolah sedang mendengarkan seorang Ustazah berbicara
dengan lembut dan akrab. Sedangkan saat membawa tulisan Riawani Elyta, saya
seolah sedang mendengarkan seorang motivator yang berbicara dengan berapi-api
dan penuh semangat.
Afifah
Afra lebih banyak menggunakan kata “kita”
dalam memberikan ulasannya, sehingga dia ingin mengatakan bahwa apa yang
diterangkannya itu berlaku untuk pembaca dan dirinya sendiri. “Terkadang misteri diciptakan justru untuk
memeriahkan alur hidup kita. Untuk menjadikan penggal kehidupan kita menjadi
penuh gairah. Mencoba-coba menyibak misteri seringkali melelahkan dan
mementahkan harapan. Jadi, sikap yang terbaik dalam memandang sebuah
perjodohan, menurut saya adalah tawakal.” (halaman 36).
Afifah
juga menyelipkan pengalamannya mengenai proses pernikahan dengan suaminya yang
berlangsung singkat dan tanpa pacaran. Menarik membaca pengalamannya, yang
barangkali akan menjadi sebuah pengalaman aneh bagi orang yang terbiasa
pacaran. Kalau dijadikan novel pasti romantis. Seorang aktivis sosial yang
sedang menunggui seorang nenek di sebuah rumah sakit, berpapasan dengan dokter
muda (co-ass), dan seketika terlintas
sebuah perasaan entah apa. Beberapa hari kemudian, gadis itu mendapatkan
proposal pernikahan dari pembimbing rohaninya, dan ternyata calon suaminya itu
adalah si dokter muda. Dulu saya pernah dirawat di rumah sakit dan ditangani
sementara oleh co-ass ganteng, tapi
ternyata tidak berjodoh :D.
Selain
itu, ada juga pengalaman kakek-neneknya yang menikah melalui perjodohan tapi
pernikahan tersebut bisa awet sampai puluhan tahun kemudian. Inspiratif sekali!
Sebaliknya,
sebagai seorang motivator, Riawani Elyta lebih banyak menggunakan kata “Anda.” Ini
contoh kalimatnya, “Untuk mendapatkan
jodoh terbaik ini, Anda—tentunya para lajangers—tidak dilarang kok merencanakan
langkah-langkah yang tepat untuk mendapatkannya. Ibarat orang yang akan
menempuh ujian, jika menginginkan nilai terbaik, tentunya harus dibarengi usaha
dan doa pada level terbaik juga, bukan?” (halaman 73).
Saya
mencari-cari apakah Riawani juga menyelipkan kisah cintanya, ternyata tidak.
Sampai memasuki bagian kedua, yaitu bagian setelah menikah. Dalam bahasannya di
bab berjudul “Dia Begini, Aku Begitu,” Riawani menceritakan perbedaannya dengan
sang suami dalam hal merayakan hari-hari spesial. Sejak kecil, penulis terbiasa
menganggap penting perayaan hari-hari spesial (ulang tahun, misalnya), sedangkan
sang suami tidak. Di hari ulang tahun suaminya, penulis sengaja membuat kue
spesial tapi sang suami malah pulang malam dan tidak sempat memakan kue itu.
Bahkan sampai berhari-hari kemudian dan kuenya pun tidak layak dimakan.
Akhirnya, penulis tidak lagi merayakan ulang tahun suaminya, tapi malah
suaminya merasa kehilangan karena tak ada yang mengucapkan selamat.
Saya
terkikik membaca cerita itu, karena saya pun mengalaminya! Sampai sekarang,
saya tak lagi menganggap penting sebuah ulang tahun, karena terbawa kebiasaan
suami. Padahal, sebelum menikah, saya mengkhayalkan punya suami yang akan
menghadiahi saya cincin berlian dan liburan ke luar negeri setiap saya
berulangtahun. Ya, begitulah pernikahan… tapi, tenang saja…. nasihat dari Bu
Ustazah Afifah Afra ini patut disimak dan saya catat baik-baik di dalam kepala.
“Karena menikah adalah ibadah yang nilainya
separuh agama, saya memberanikan diri untuk
membuat pernyataan bahwa siapa yang paling aktif dalam membangun cinta
di dalam sebuah rumah tangga adalah sosok terbaik dan terbanyak pahalanya. Nah,
mari kita berlomba-lomba mengupayakan cinta dengan pasangan kita. Tak usah malu
untuk memulai, karena Anda sedang melakukan sesuatu yang luar biasa di mata
Allah.” (halaman 128).
Dengan
kata lain, jadilah suami atau istri yang lebih banyak memberi daripada diberi,
tidak saling menuntut, dan meniatkan semua kebaikan dalam pernikahan dalam
rangka ibadah kepada Allah. Buku ini sangat direkomendasikan untuk Anda yang
ingin, akan, dan sudah menikah.
Suka sama resensi ini :D
BalasHapusSaya aja skip tentang perbedaan gaya menulis Mbak Afifah sama Mbak Riawani hehe.. Mbak Leyla tahu aja :))
iya, sosok afifah afra memang kaya' ustazah, aq aja pas ketemu langsung minder, biasa kalo ketemu orang langsung cekakak/ik ini mendadak mingkem :D
BalasHapusSama kayak Mbak Melani, saya suka skip tentang perbedaan itu.
BalasHapusEmang beda kalo yang nge-review yang jam terbangnya udah tinggi.
*Salam, Suhu*
Sepertinya, buku ini seruuuuuu :D
BalasHapuskeren
BalasHapusprogram terbaru alfamart
Keren banget .....
BalasHapus