Judul: By the Time You Read This,
I’ll be Dead
Penulis: Julie Anne Peters
Penerbit: Noura Books
Tahun Terbit: Cetakan I, April
2015
Jumlah Halaman: 320
ISBN: 978-602-0989-13-6
Bullying, kata itu belakangan ini sangat nge-hits di Indonesia.
Dulu, bullying umum terjadi di
kalangan anak sekolah. Bully yang
mendapat legitimasi dari sekolah, misalnya saja penyelenggaraan MOS (Masa
Orientasi Siswa) dan OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus). Dua kegiatan itu
sudah terkenal sebagai ajang bully
terhadap siswa baru. Para senior menerapkan aturan-aturan keras, ketat, dan tak
masuk akal. Sebut saja, memakan makanan basi. Belum lagi, mulut para
intelektualitas itu tiba-tiba dibanjiri ungkapan-ungkapan tak enak didengar,
mengata-ngatai yuniornya hingga melemahkan mental. Tahun berikutnya, yunior
yang telah menjadi senior itupun membalas dendam kepada yuniornya. Begitu
terus, seperti rantai yang tak putus.
Bullying juga terjadi kepada anak-anak yang memiliki kelakuan dan
perawakan berbeda dari anak kebanyakan: tubuh terlalu gemuk atau kurus, wajah
banyak jerawat, kulit hitam, wajah jelek, dan sebagainya. Pelaku bullying begitu asyik menghina korban
tanpa memikirkan efeknya. Kini, bullying
makin marak seiring dengan perkembangan sosial media. Kata-kata tak lagi
diluncurkan melalui mulut, tetapi juga jemari. Ironis, karena jemari lebih tak
ber-hati. Bila di dunia nyata kita lebih bisa memilih kata untuk diucapkan, di
dunia maya justru bebas sebebas-bebasnya. Toh, yang di-bully itu tidak ada di depan mata. Semprot saja sepuasnya. Padahal,
efek bully masih sama. Menimbulkan
rasa sakit hati, dendam, rendah diri, bahkan yang paling mengerikan: BULLYCIDE. Bunuh diri karena di-bully.
Beberapa kali kita mendengar
kabar berita pelajar yang bunuh diri. Setelah ditelusuri, salah satu
penyebabnya karena perasaan rendah diri akibat di-bully. Bagi saya yang masa kecilnya juga sering di-bully, perlakuan itu memang sangat
menyakitkan. Sampai hari ini saya masih dendam kepada teman-teman dan para guru
yang pernah menorehkan pengalaman tidak enak saat saya masih duduk di bangku
sekolah dasar. Akibat paling fatal, saya
sendiri merasa kesulitan mengendalikan kata-kata. Orang bilang, saya ini kalau
ngomong suka judes dan sinis, sesuatu yang tidak saya sadari. Barangkali karena
saya memang dididik seperti itu oleh orang-orang di sekitar saya. Mengerikan!
Sekarang saya berusaha mengendalikan kata-kata, agar tidak banyak orang
tersakiti.
Anehnya, bullying tidak hanya dilakukan oleh pelajar, tapi juga para
orangtua. Ibu-ibu, baik itu di dunia
nyata maupun maya, berlomba-lomba mem-bully
ibu-ibu lain yang berbeda dengannya dalam hal pengasuhan anak atau pilihan
hidup. Sedangkan bapak-bapaknya asyik mengeluarkan komentar pedas dalam kolom
komentar di situs berita digital. Komentar-komentarnya tak nampak seperti orang
yang berpendidikan, bahkan menjerumus ke isu SARA (Suku, Agama, dan Ras).
Kadang, saya membaca berita pun penasaran dengan komentar-komentarnya dan
siap-siap mengelus dada. Waduuuh… ini opening-nya
panjang amat ya, kapan meresensi bukunya? Hehehe… Yap, novel ini berbicara
tentang bullying yang menyebabkan bullycide. Wajib dibaca oleh pelajar dan
orangtua.
Daelyn, seorang siswa SMA, sudah
dua kali melakukan percobaan bunuh diri dikarenakan bullying. Kekerasan yang dialaminya sangat membuatnya trauma. Hanya
karena tubuhnya gemuk, dia harus mendapatkan bully dari semua teman sekolahnya. Dia bahkan tidak punya teman.
Rasa kesepian dan merasa tak diterima membuatnya ingin bunuh diri lagi. Dia
sudah tak tahan mendengar ejekan dan kekerasan dari teman-temannya. Percobaan
bunuh dirinya yang terakhir membuatnya kehilangan pita suara, alias bisu.
Lengkap sudah penderitaan yang membuatnya tak ingin hidup lagi.
Dia tak ingin gagal dalam
percobaan bunuh dirinya yang ketiga. Walaupun orangtuanya sangat menyayangi dan
mengusahakan yang terbaik untuknya (bahkan memindahkan sekolahnya ke sekolah
agama yang dianggap bebas bully), dia
tetap ingin mati. Dia tak pernah merasa bahagia dalam hidupnya, apalagi kalau
mengingat pengalaman bullying. Dia
mendaftar di situs menembus-cahaya, sebuah situs persiapan untuk orang-orang
yang ingin bunuh diri. Kalau situs itu benar-benar ada, betapa mengerikannya.
Setiap orang yang mau bunuh diri, dibimbing untuk melakukannya tanpa rasa
takut. Dia punya waktu 23 hari untuk mempersiapkan diri.
Selama itu, Daelyn tidak memiliki
seorang teman pun dan dia tak mau menjalin hubungan dengan seorang pun karena
menganggap mereka tidak pernah benar-benar serius untuk berhubungan dengannya.
Dia selalu dipermainkan, baik itu oleh teman laki-laki maupun perempuan.
Santana, seorang pemuda misterius, tiba-tiba mendekatinya dan ingin
menjadikannya teman, tapi Daelyn segera menciptakan benteng di antara mereka.
Daelyn berusaha menghindari Santana dengan sikap judes, sinis, dan antipati.
Hal itu justru membuat Santana semakin penasaran.
Setiap hari, Daelyn mengunjungi
situs menembus-cahaya yang menyediakan kolom untuk curhat dan petunjuk untuk
bunuh diri. Daelyn memilih-milih cara paling enak untuk bunuh diri, dari mulai
mengiris nadi, tenggorokan, minum racun serangga, tenggelam, dan lain-lain.
Daelyn sudah pernah mengiris nadi dan minum racun, sampai-sampai pita suaranya
rusak, tapi tidak juga mati. Orangtuanya terus mengawasinya, mewaspadai
kalau-kalau Daelyn akan bunuh diri lagi. Daelyn merasa orangtuanya akan lebih
bahagia bila dia mati, karena kehadirannya hanya menyusahkan. Sementara itu,
Santana tidak henti-hentinya mendekati Daelyn, tanpa peduli gadis itu terus
menghindar. Sampai kemudian Santana berkata bahwa dirinya akan segera mati
karena kanker kelenjar getah bening. Daelyn menganggapnya sebuah kebohongan,
karena Santana seperti orang yang sehat. Apa maksud Santana mendekatinya?
Apakah ingin memanfaatkannya sebagaimana pemuda lainnya? Apakah Daelyn jadi
bunuh diri?
Ini novel Young Adult impor kedua
yang saya baca dan lagi-lagi membuat saya terkesan. Idenya tak hanya berputar
pada romantisme, tetapi juga nilai yang diangkat. Diksinya lugas, khas remaja,
tak membuat kening berkerut-kerut. Penulis pun berhasil membuat kita penasaran
ingin membaca sampai akhir, karena ada banyak misteri yang disajikan mengenai
alasan Daelyn bunuh diri, mengapa Daelyn bisu, apa maksud Santana mendekati
Daelyn, benarkah Santana terkena kanker, apakah Daelyn jadi bunuh diri, dan
sebagainya. Beberapa kali saya meringis jeri membaca saat-saat Daelyn di-bully yang terdengar kejam. Sesuatu yang
barangkali belum disadari oleh para orangtua, bahwa anak-anak mereka dapat
mengalami kekerasan semacam itu di sekolah. Pada bagian penutup, ada diskusi
mengenai isi novel ini terutama berkaitan dengan bullying dan bullycide,
juga diberikan peringatan tanda-tanda bunuh diri yang mungkin dilakukan oleh
orang terdekat kita. Apabila salah
seorang anggota keluarga atau teman kita menunjukkan tanda-tanda itu, segeralah
membawanya ke psikolog, psikiater, atau lembaga-lembaga yang menangani kasus
kekerasan pada anak, semisal Komnas Anak.
Bacalah buku ini dan mulailah untuk menjaga
mulut dan jemari kita dari komentar tak enak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar