Penulis: Yee Jin Shin
Penerbit: Noura Books
Tahun Terbit: Cetakan I,
September 2014
Jumlah Halaman: 272
ISBN: 978-602-1306-25-3
Sinopsis:
Anda mungkin menganggap perangkat digital adalah media belajar yang tepat untuk anak-anak. Selain
membuat anak menjadi lebih tenang dan tidak rewel, perangkat digital juga
membantu anak menguasai bahasa Inggris lebih cepat dan belajar banyak hal lain
lebih mudah. Namun, Anda akan beranggapan berbeda setelah membaca buku ini.
Yee Jin Shin adalah Psikiter dan
Praktisi Pendidikan Anak Terkemuka di Korea. Apa yang kita ingat setiap kali
menyebut nama Korea? Drama Korea yang nge-hits? Tak hanya itu. Korea Selatan
juga terdepan dalam hal teknologi. Produk-produk teknologi terkemuka di dunia,
diproduksi di Korea, sebut saja SAMSUNG dan LG. Tak heran, di sana, koneksi
internetnya lancar sekali, tidak seperti di Indonesia. Kalau di Indonesia, kita
masih sering mengeluhkan koneksi internet yang lamban dan sering mati, di Korea
no way! Mungkin koneksi internetnya
lebih cepat daripada kedipan mata, saking kerennya kemajuan teknologi. Sayang,
ada harga yang harus dibayar.
Yee Jin Shin, akhirnya menjadi
psikiater yang khusus menangani anak-anak yang kecanduan gadget atau perangkat
digital setelah anaknya sendiri menjadi korban. Dia menemukan kasus “matang
semu” pada anak-anak yang terpapar gadget sejak umur 3 tahun, termasuk anaknya
sendiri. Anak matang semu adalah anak yang tumbuh kembangnya secara fisik
sangat baik, tetapi jiwanya tidak. Mereka menjadi anak-anak yang cenderung
impulsif, tidak tahu sopan santun, dan tidak memiliki rasa bersalah. Anak-anak
di Korea adalah anak-anak yang pintar secara akademis. Bagaimana tidak? Mereka
sudah disekolahkan sejak umur 3 tahun, dan dibantu belajar dengan perangkat digital.
Sayangnya, kecerdasan akademis itu tidak sejalan dengan kecerdasan emosional.
Apalagi setelah dididik dengan perangkat digital. (halaman 16)
Yee Jin Shin yang membuka prakter
psikiater itu sering mendapatkan pasien anak-anak yang bermasalah. Mereka pada
mulanya adalah anak-anak yang pintar dan berprestasi. Tetapi, setelah berusia
di atas 10 tahun, mereka menjadi anak-anak bermasalah. Tidak lagi mau belajar,
suka melawan orangtua, tidak punya rasa empati, tidak sopan, sungguh jauh
berbeda dengan anak-anak zaman dulu.
Setelah diselidiki, sebagian besar memiliki kecanduan terhadap perangkat
digital, baik itu smartphone, laptop, televisi, maupun tablet.
Bayangkan saja, anak yang
kecanduan perangkat digital, matanya akan terus menghadap ke layar gadget. Mereka
tak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Mereka mengacuhkan orang (di dunia
nyata) yang mengajaknya bicara. Mereka menjadi orang-orang yang cuek. Bahkan,
anak-anak itu menunjukkan gejala autisme, yaitu kurangnya kemampuan berbahasa
dan bersosialisasi. Anak memiliki teman-teman di media sosial, tetapi di dunia
nyata malah tidak punya teman. Media sosial juga menjadi ajang kekerasan verbal
terhadap anak-anak. Ancaman-ancaman lebih mudah dilancarkan melalui jejaring
sosial daripada dunia nyata.
Akibat yang paling parah adalah
kerusakan otak. Popcorn brain, adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan
kondisi otak anak yang terbiasa dengan layar perangkat digital yang senantiasa
merespons stimulus kuat hingga otak seperti meletup-letup. Struktur otak cenderung
tidak bisa beradaptasi dengan dunia nyata. Anak akan selalu mencari hal-hal
yang semakin lama semakin brutal, impulsif, cepat, dan menarik. Daya
konsentrasi anak pun menurun sehingga daya ingatnya pun melemah. Dia pun tidak
bisa mengikuti pelajaran dengan sempurna karena kesulitan berkonsentrasi. (halaman 113).
Orangtua yang kecanduan perangkat
digital, juga menjadi orangtua yang cuek. Mereka lebih peduli pada notifikasi
email dan jejaring sosial, daripada berkomunikasi dengan anak-anaknya di dunia
nyata. Anak mempelajari kemampuan mengontrol emosi dan berempati dari sang ibu.
Namun, karena sang ibu kecanduan
perangkat digital, kemampuan berempati anak pun berkurang. Bayangkan
seorang ibu yang mengasuh anak sambil berkomunikasi di media sosial. Saat
anaknya jatuh, bukannya menolong malah marah-marah lalu update status, “Duh, anak gue jatuh.” Saat anaknya sakit, bukannya
mengobati, malah update status.
“Anakku sakit, nih.” Lalu, sang ibu sibuk membalas komentar teman-teman di
media sosialnya. Bisa kan membayangkan bagaimana adegan seorang ibu yang
anaknya sakit tapi masih sempat membalas komentar di facebook? Sambil tangannya
mengompres dahi sang anak, tangan yang satu memegang smartphone. Pandangan mata
ibu tidak terarah ke anaknya, padahal si anak membutuhkan dukungan emosional
dari sang ibu.
Saya bukannya tidak pernah
menjadi ibu yang kecanduan gadget. Saya juga pernah. Hasilnya, saya jadi cuek
sama anak-anak. Mereka memang bermain di sekitar saya, tapi perhatian saya
tertuju ke smartphone. Sampai anak-anak protes, “Mama kok ngeliatin hape terus,
sih?” Akhirnya, sudah beberapa bulan ini saya berhenti berlangganan internet di
smartphone. Saya hanya internetan via laptop dan dijadwalkan waktunya, tidak
sepanjang hari saat menemani anak-anak. Menurut buku ini, smartphone lebih
mempunyai dampak buruk terhadap kecanduan gadget, karena lebih cepat diakses
dan bisa dibawa ke mana-mana.
Pertama berhenti berlangganan
internet di smartphone, rasanya sepiii sekali. Tangan gatal mau update status, tapi kalau mesti buka
laptop dulu, repot juga ya. Lama-lama, saya jadi lebih mengendalikan diri untuk
update status. Kalau dulu kan,
apa-apa dilaporkan ke sosmed. Dipikir-pikir, lucu juga ya. Suami saja sampai
komplain, karena saya cerewet sekali di status facebook dan twitter. Sekarang,
hati lebih tenang karena sudah tidak internetan di smartphone. Smartphone saya
hanya dipakai sms dan telepon. Jadi lebih sering menganggur. Emosi lebih
terkontrol, karena status-status facebook itu sering sekali menyebabkan
gangguan psikologis. Ada seorang teman saya yang benar-benar terkena gangguan
psikologis gara-gara facebook. Ini kenyataan! Sungguh mengerikan! Daripada
mempengaruhi hubungan keluarga, terutama kepada anak-anak, lebih baik saya
berhenti memakai internet di smartphone. Saya juga bisa lebih hemat biaya
internet.
Bagi orangtua yang ingin lebih
memperdalam pengetahuan mengenai dampak perangkat digital terhadap diri sendiri
dan anak-anak, bacalah buku ini. Ditulis oleh seorang psikiater berpengalaman
yang sudah bertahun-tahun menangani anak-anak bermasalah akibat perangkat
digital di negara adidaya teknologi: Korea Selatan. Meskipun buku nonfiksi,
bahasannya ringan dan mudah diterima otak, karena disertai cerita pengalaman
sang psikiater. Kita juga mendapatkan pengetahuan mengenai Digital Parenting,
pengasuhan anak di era digital. Sesuatu yang mau tidak mau harus kita
perhatikan sebagai orangtua yang peduli terhadap anak-anaknya.
Pengetahuan tentang Digital Parenting sangat dibutuhkan oleh orangtua sekarang, apalagi sekarang udah era teknologi. Semua ada dalam genggaman....
BalasHapusIya orang tua harus pandai-pandai juga mengawasi agarbuah hati tidak jatuh pada ketergantungan pada smartphone
BalasHapuskeren, ee Jin Shin yang membuka prakter psikiater itu sering mendapatkan pasien anak-anak yang bermasalah. Mereka pada mulanya adalah anak-anak yang pintar dan berprestasi. Tetapi, setelah berusia di atas 10 tahun, mereka menjadi anak-anak bermasalah. Tidak lagi mau belajar, suka melawan orangtua, tidak punya rasa empati, tidak sopan, sungguh jauh berbeda dengan anak-anak zaman dulu.
BalasHapuskeuntungan perusahaan