Kamis, 04 Juni 2015

Mendidik Anak di Era Digital



Judul: Mendidik Anak di Era Digital
Penulis: Yee Jin Shin
Penerbit: Noura Books
Tahun Terbit: Cetakan I, September 2014
Jumlah Halaman: 272
ISBN: 978-602-1306-25-3

Sinopsis:
Anda mungkin menganggap perangkat digital adalah media  belajar yang tepat untuk anak-anak. Selain membuat anak menjadi lebih tenang dan tidak rewel, perangkat digital juga membantu anak menguasai bahasa Inggris lebih cepat dan belajar banyak hal lain lebih mudah. Namun, Anda akan beranggapan berbeda setelah membaca buku ini.


Yee Jin Shin adalah Psikiter dan Praktisi Pendidikan Anak Terkemuka di Korea. Apa yang kita ingat setiap kali menyebut nama Korea? Drama Korea yang nge-hits? Tak hanya itu. Korea Selatan juga terdepan dalam hal teknologi. Produk-produk teknologi terkemuka di dunia, diproduksi di Korea, sebut saja SAMSUNG dan LG. Tak heran, di sana, koneksi internetnya lancar sekali, tidak seperti di Indonesia. Kalau di Indonesia, kita masih sering mengeluhkan koneksi internet yang lamban dan sering mati, di Korea no way! Mungkin koneksi internetnya lebih cepat daripada kedipan mata, saking kerennya kemajuan teknologi. Sayang, ada harga yang harus dibayar.

Yee Jin Shin, akhirnya menjadi psikiater yang khusus menangani anak-anak yang kecanduan gadget atau perangkat digital setelah anaknya sendiri menjadi korban. Dia menemukan kasus “matang semu” pada anak-anak yang terpapar gadget sejak umur 3 tahun, termasuk anaknya sendiri. Anak matang semu adalah anak yang tumbuh kembangnya secara fisik sangat baik, tetapi jiwanya tidak. Mereka menjadi anak-anak yang cenderung impulsif, tidak tahu sopan santun, dan tidak memiliki rasa bersalah. Anak-anak di Korea adalah anak-anak yang pintar secara akademis. Bagaimana tidak? Mereka sudah disekolahkan sejak umur 3 tahun, dan dibantu belajar dengan perangkat digital. Sayangnya, kecerdasan akademis itu tidak sejalan dengan kecerdasan emosional. Apalagi setelah dididik dengan perangkat digital. (halaman 16)

Yee Jin Shin yang membuka prakter psikiater itu sering mendapatkan pasien anak-anak yang bermasalah. Mereka pada mulanya adalah anak-anak yang pintar dan berprestasi. Tetapi, setelah berusia di atas 10 tahun, mereka menjadi anak-anak bermasalah. Tidak lagi mau belajar, suka melawan orangtua, tidak punya rasa empati, tidak sopan, sungguh jauh berbeda dengan anak-anak zaman dulu.  Setelah diselidiki, sebagian besar memiliki kecanduan terhadap perangkat digital, baik itu smartphone, laptop, televisi, maupun tablet. 

Bayangkan saja, anak yang kecanduan perangkat digital, matanya akan terus menghadap ke layar gadget. Mereka tak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Mereka mengacuhkan orang (di dunia nyata) yang mengajaknya bicara. Mereka menjadi orang-orang yang cuek. Bahkan, anak-anak itu menunjukkan gejala autisme, yaitu kurangnya kemampuan berbahasa dan bersosialisasi. Anak memiliki teman-teman di media sosial, tetapi di dunia nyata malah tidak punya teman. Media sosial juga menjadi ajang kekerasan verbal terhadap anak-anak. Ancaman-ancaman lebih mudah dilancarkan melalui jejaring sosial daripada dunia nyata. 

Akibat yang paling parah adalah kerusakan otak. Popcorn brain, adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan kondisi otak anak yang terbiasa dengan layar perangkat digital yang senantiasa merespons stimulus kuat hingga otak seperti meletup-letup. Struktur otak cenderung tidak bisa beradaptasi dengan dunia nyata. Anak akan selalu mencari hal-hal yang semakin lama semakin brutal, impulsif, cepat, dan menarik. Daya konsentrasi anak pun menurun sehingga daya ingatnya pun melemah. Dia pun tidak bisa mengikuti pelajaran dengan sempurna karena kesulitan berkonsentrasi. (halaman 113). 

Orangtua yang kecanduan perangkat digital, juga menjadi orangtua yang cuek. Mereka lebih peduli pada notifikasi email dan jejaring sosial, daripada berkomunikasi dengan anak-anaknya di dunia nyata. Anak mempelajari kemampuan mengontrol emosi dan berempati dari sang ibu. Namun, karena sang ibu kecanduan  perangkat digital, kemampuan berempati anak pun berkurang. Bayangkan seorang ibu yang mengasuh anak sambil berkomunikasi di media sosial. Saat anaknya jatuh, bukannya menolong malah marah-marah lalu update status, “Duh, anak gue jatuh.” Saat anaknya sakit, bukannya mengobati, malah update status. “Anakku sakit, nih.” Lalu, sang ibu sibuk membalas komentar teman-teman di media sosialnya. Bisa kan membayangkan bagaimana adegan seorang ibu yang anaknya sakit tapi masih sempat membalas komentar di facebook? Sambil tangannya mengompres dahi sang anak, tangan yang satu memegang smartphone. Pandangan mata ibu tidak terarah ke anaknya, padahal si anak membutuhkan dukungan emosional dari sang ibu. 

Saya bukannya tidak pernah menjadi ibu yang kecanduan gadget. Saya juga pernah. Hasilnya, saya jadi cuek sama anak-anak. Mereka memang bermain di sekitar saya, tapi perhatian saya tertuju ke smartphone. Sampai anak-anak protes, “Mama kok ngeliatin hape terus, sih?” Akhirnya, sudah beberapa bulan ini saya berhenti berlangganan internet di smartphone. Saya hanya internetan via laptop dan dijadwalkan waktunya, tidak sepanjang hari saat menemani anak-anak. Menurut buku ini, smartphone lebih mempunyai dampak buruk terhadap kecanduan gadget, karena lebih cepat diakses dan bisa dibawa ke mana-mana. 

Pertama berhenti berlangganan internet di smartphone, rasanya sepiii sekali. Tangan gatal mau update status, tapi kalau mesti buka laptop dulu, repot juga ya. Lama-lama, saya jadi lebih mengendalikan diri untuk update status. Kalau dulu kan, apa-apa dilaporkan ke sosmed. Dipikir-pikir, lucu juga ya. Suami saja sampai komplain, karena saya cerewet sekali di status facebook dan twitter. Sekarang, hati lebih tenang karena sudah tidak internetan di smartphone. Smartphone saya hanya dipakai sms dan telepon. Jadi lebih sering menganggur. Emosi lebih terkontrol, karena status-status facebook itu sering sekali menyebabkan gangguan psikologis. Ada seorang teman saya yang benar-benar terkena gangguan psikologis gara-gara facebook. Ini kenyataan! Sungguh mengerikan! Daripada mempengaruhi hubungan keluarga, terutama kepada anak-anak, lebih baik saya berhenti memakai internet di smartphone. Saya juga bisa lebih hemat biaya internet. 

Bagi orangtua yang ingin lebih memperdalam pengetahuan mengenai dampak perangkat digital terhadap diri sendiri dan anak-anak, bacalah buku ini. Ditulis oleh seorang psikiater berpengalaman yang sudah bertahun-tahun menangani anak-anak bermasalah akibat perangkat digital di negara adidaya teknologi: Korea Selatan. Meskipun buku nonfiksi, bahasannya ringan dan mudah diterima otak, karena disertai cerita pengalaman sang psikiater. Kita juga mendapatkan pengetahuan mengenai Digital Parenting, pengasuhan anak di era digital. Sesuatu yang mau tidak mau harus kita perhatikan sebagai orangtua yang peduli terhadap anak-anaknya. 


3 komentar:

  1. Pengetahuan tentang Digital Parenting sangat dibutuhkan oleh orangtua sekarang, apalagi sekarang udah era teknologi. Semua ada dalam genggaman....

    BalasHapus
  2. Iya orang tua harus pandai-pandai juga mengawasi agarbuah hati tidak jatuh pada ketergantungan pada smartphone

    BalasHapus
  3. keren, ee Jin Shin yang membuka prakter psikiater itu sering mendapatkan pasien anak-anak yang bermasalah. Mereka pada mulanya adalah anak-anak yang pintar dan berprestasi. Tetapi, setelah berusia di atas 10 tahun, mereka menjadi anak-anak bermasalah. Tidak lagi mau belajar, suka melawan orangtua, tidak punya rasa empati, tidak sopan, sungguh jauh berbeda dengan anak-anak zaman dulu.
    keuntungan perusahaan

    BalasHapus