Selasa, 08 April 2014

Black Angel: Pemberontakan Seorang Gadis Remaja


Judul: Black Angel
Penulis: Indah Hanaco
Penerbit: Stiletto Book
Tahun Terbit: Desember 2011
Jumlah halaman: 228
ISBN: 978-602-96026-8-5


“Aku diam saja, tapi jauh di dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku meyakini tidak ada kebahagiaan lagi untuk kami. Seberapa keras pun usahaku dan Mama untuk pulih, kami hanya terperosok semakin dalam. Terlalu terlambat bila ingin memperbaiki semuanya saat ini. Kami sudah menyia-nyiakan banyak waktu dan sudah ada korban yang jatuh.” (halaman 76)


Avril memberontak. Dia yang semula seorang gadis manis kesayangan Papa, menjadi binal dan liar karena ulah papanya juga. Ulah papanya sungguh di luar dugaan. Papa yang kelihatan penurut di depan mamanya, ternyata beselingkuh. Tak tanggung-tanggung, selingkuhan Papa adalah sekretarisnya sendiri yang seorang… laki-laki!

Avril adalah salah satu contoh pemberontakan seorang anak akibat ketidakberesan orang tua. Di berita-berita televisi kita saksikan contoh-contoh kriminalitas para remaja yang kalau ditelusuri, penyebabnya adalah orang tuanya sendiri. Orang tua yang tidak perhatian, bermasalah, bercerai, dan sebagainya. yang terkena imbasnya pada akhirnya adalah anak-anak. Kasus Avril ini benar-benar di luar mainstream. Dia memberontak karena papanya ternyata seorang biseksual. Bagi Avril, tak akan menjadi masalah besar bila selingkuhan papanya adalah seorang wanita. Tapi ini, selingkuhannya sama-sama laki-laki. Betapa menjijikkannya!

Avril adalah salah satu contoh seorang anak yang tak mendapatkan bimbingan bagaimana mencari jalan keluar masalahnya, selain melalui jalan-jalan keburukan. Dia haus akan gairah. Dia membalas dendam kepada Papa dengan caranya. Dia ingin Papa menangis darah karena putri kesayangannya yang baik telah berubah menjadi liar. Dia merasa puas ketika telah mencoba sesuatu yang membangkitkan adrenalinnya. Dia tidak peduli dengan keterpurukan mamanya, dan juga kehancuran dirinya sendiri. Dia merasa dirinya memang sudah hancur sejak melihat perselingkuhan papanya yang seorang biseksual.

Membaca novel ini, saya jadi ikut bergidik ngeri. Membayangkan bila saya berada di posisi Avril dan menyaksikan lelaki yang saya cintai berhubungan dengan sesama jenis. Menjijikkan. Apalagi Papa Avril nyatanya tak bisa bertobat. Dia terus saja mengikuti nafsu seksnya yang berlebihan. Dia tak peduli dengan masa depan putra-putrinya yang tercemar oleh ulah papanya. Hidup Avril sangat tragis, sebagai korban dari ketidakberesan papanya.

Gaya bercerita Mba Indah menyentak-nyentak dan diselubungi misteri. Saya jadi ingat novel misteri V. Lestari. Novel misteri yang dibalut percintaan. Kita dibuat geram oleh ulah Papa Avril. Kita juga gemas oleh pilihan Mirza, kakak Avril. Juga menyayangkan atas tindakan Avril, menyakiti dirinya sendiri. Namun, wajarlah bila seorang anak kehilangan bimbingan orang tua. Alih-alih memberikan bimbingan, orang tua justru melakukan kesesatan. Dan tidak ada yang benar-benar menolong Avril, sampai kemudian Avril bertemu dengan Aidan.

Tokoh Mama, kurang dieksplor. Bagaimana Mama tidak menyadari bahwa suaminya seorang biseksual? Saya justru tertarik ingin tahu, mengapa Mama tak tahu suaminya seorang biseksual? Apakah seorang istri tidak bisa merasakan ketidaknormalan suaminya? Porsi Mama terlalu sedikit di sini, seakan hanya menjadi cameo. Padahal, barangkali dari sosok Mama itulah masalahnya bermula. Sosok Prue juga masih menimbulkan rasa penasaran. Prue seorang transgender, lelaki yang mengubah kelaminnya menjadi wanita hanya karena merasa nyaman menjadi wanita. Anehnya, Prue tidak tertarik kepada wanita ataupun lelaki. Dia hanya tertarik pada dirinya sendiri. Sosok yang unik, tapi barangkali memang ada orang-orang jenis ini dan membuka pengetahuan  kita.

Secara keseluruhan, novel ini asyik dibaca. Penulis mampu membius pembaca untuk menamatkan novelnya dalam beberapa jam saja. Saya bahkan tidak sempat menaruh novel ini sekejap pun. Berhubung membaca sebelum tidur, jadi saya baca terus sampai selesai dan tidak tidur-tidur. Alhasil, saya begadang untuk membaca novel ini. Penulis hanya fokus pada konflik cerita, tak ada aksesoris-aksesoris cerita yang membuang energi untuk membacanya, misalnya eksplorasi setting, eksplorasi karakter tokoh, eksplorasi deskripsi, bahkan eksplorasi diksi (maksudnya, memakai diksi yang bikin kening berkerut). Penulis menuturkan kisahnya secara natural. Bagi seorang pembaca cepat seperti saya, tentu ini sangat menguntungkan.
                                       

1 komentar: