Penulis:
Dee (Dewi Lestari)
Penerbit:
Bentang Pustaka
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, Maret 2013
Jumlah
Halaman: xiv+94 Halaman
ISBN:
978-602-7888-24-1
“Saya
cari di google, kata ‘Madre’ itu ternyata berasal dari bahasa Spanyol, artinya
‘ibu.’ Madre, Sang Adonan Biang, lahir sebelum ibu kandung saya. Dan, dia
sanggup hidup lebih panjang dari penciptanya.” (halaman 24)
Sebuah
kisah kadang terlahir dari sebuah kebetulan, sebagaimana kisah Madre yang
dituturkan oleh Dee ini. Kita telah mengenal Dee sebagai seorang penyanyi dan
penulis yang sukses. Talentanya memang luar biasa. Siapa sangka kalau Dee juga
tertarik untuk membuat roti dan mengikuti kursus membuat roti, sehingga muncul ide
cerita madre. Madre adalah sebutan untuk adonan biang yang digunakan untuk
mengembangkan dan meronggakan roti. Madre bisa disimpan selama ratusan tahun.
Novelet yang saya baca ini mulanya diterbitkan dalam bentuk kumpulan cerpen.
Dan kini saya membacanya dalam edisi film, dengan gambar-gambar berupa
potongan-potongan adegan film Madre yang diperankan oleh Vino G. Bastian dan
Laura Basuki.
Vino
G. Bastian di dalam novella Madre berperan sebagai Tansen Wuisan, pemuda
pekerja serabutan di Bali yang tiba-tiba mendapatkan surat wasiat bahwa dia
mewarisi harta dari Tuan Tan, lelaki keturunan Tionghoa yang baru saja
meninggal. Didorong oleh rasa penasaran, Tansen pergi ke Jakarta dan menemui
pengacara Tuan Tan. Ternyata harta warisannya hanya sebuah kunci dan alamat.
Tansen pun pergi ke alamat itu dan menemukan sebuah gedung tua bekas toko roti
“Tan De Bekker.”
Si
penunggu gedung, Pak Hadi, sudah mengetahui kedatangan Tansen dan menyambutnya
dengan hangat. Tanpa berpanjang kata, Tansen mendapatkan penjelasan soal harta
warisan yang didapatkannya. Kunci yang dipegangnya itu adalah kunci sebuah
kulkas di mana tersimpan adonan biang yang sudah berumur puluhan tahun: Madre. Dengan
kata lain, Tansen diminta meneruskan usaha roti Tan De Bekker yang sudah
bangkrut. Tentu saja Tansen tidak mau karena dia tidak bisa membuat roti dan
tidak mau tinggal di Jakarta. Dia menyerahkan Madre kepada Pak Hadi, yang
langsung ditolak mentah-mentah. Pak Hadi memintanya untuk mencoba dulu membuat
roti. Pada percobaan pertama, Tansen langsung berhasil membuatnya, menandakan
bahwa dia pewaris yang tepat untuk madre.
Tansen
menceritakan kejadian aneh itu di blognya, yang langsung disambut oleh salah
seorang pembaca blognya, Mei. Gadis itu
bersikeras ingin membeli roti Tansen. Hingga sampailah pada kesimpulan bahwa
Mei ingin membeli madre guna mengembangkan produk baru dari usaha toko rotinya
“Fairy Bread,” yaitu dengan memproduksi roti-roti klasik. Roti klasik
mengingatkan saya saat masih kecil di mana lewat tukang roti Tan Ek Tjoan yang terkenal. Malah saya berpikir penamaan
Tan De Bekker ini terinspirasi oleh Tan Ek Tjoan. Saya ingat roti-rotinya yang
berukuran besar-besar, mengembang sempurna. Semula Tansen setuju dengan
penawaran Mei, tetapi setelah melihat kesedihan di mata Pak Hadi dan eks
karyawan Tan De Bekker lainnya, ia mengurungkan niatnya menjual madre. Bisakah
ia dan para eks karyawan Tan De Bekker menghidupkan kembali kejayaan roti
klasik itu dengan ketiadaan modal?
Apa
yang membuat saya terkesan dengan novella ini?
Pertama,
ide ceritanya luar biasa! Dari sebuah adonan biang dikembangkan menjadi cerita
yang sederhana tetapi inspiratif. Bahkan, penamaan madre pun berkorelasi dengan
si pembuat madre, yaitu nenek Tansen, Laksmi, dan latar belakang hidup Tansen.
Tansen tak pernah melihat ibu dan neneknya karena neneknya meninggal saat
melahirkan ibunya dan ibunya meninggal saat melahirkan Tansen. Ketika Tansen
mengurungkan niatnya untuk menjual madre, para eks karyawan bertanya mengapa,
dan Pak Hadi menjawab, “karena sebetulnya ndak ada yang sanggup menjual ibunya
sendiri.” (halaman 50).
Kedua,
cerita yang padat dan tidak bertele-tele. Entah apakah novella ini memang
sengaja dikemas dalam bentuk novella sehingga tidak perlu berpanjang-panjang
kata dengan jumlah halaman yang sedikit, yang pasti ceritanya menjadi lebih
padat dan tidak bertele-tele. Semua rahasia yang mengelilingi hidup Tansen
dibeberkan tanpa diulur-ulur, tetapi cerita masih terus menyimpan rahasia
sehingga pembaca tidak bosan. Dengan jumlah halaman yang sedikit, pembaca pun
tidak keberatan untuk menamatkannya.
Ketiga,
sentuhan visual pada setiap halaman buku, entah itu potongan adegan dalam
filmnya ataupun sekadar gambar kartun hitam putih. Setidaknya ini tidak membuat
bosan pembaca, serta seolah sedang menonton filmnya.
Keempat,
ada kalimat-kalimat yang digarisbawahi seakan untuk menegaskan bahwa kalimat
itu amat penting atau mewakili ekspresi si tokoh.
Saya
belum membaca Madre yang terbit di tahun 2011, jadi saya tidak bisa
membandingkannya dengan versi film ini. Secara diksi, kata-kata di dalam
novella ini benar-benar seperti kata-kata di dalam sebuah film, tidak
berkerut-kerut kening dan mudah diserap otak. Jika dibandingkan dengan novel
Supernova, karya perdana Dee yang memuat diksi ajaib dan tak biasa, tentu Madre
lebih bisa diterima oleh pembaca pemula. Setelah membaca novella ini, saya
semakin yakin bahwa Dee memang seorang penulis yang luar biasa.
4 kelebihan sudah luar biasa. Ada kekurangan?
BalasHapusgambar kartun hitam putihnya kayak apa, bun? aku belum pernah baca yang ini hehe. jadi penasaran
BalasHapus