Judul: Black Angel
Penulis: Indah Hanaco
Penerbit: Stiletto Book
Tahun Terbit: Desember 2011
Jumlah halaman: 228
ISBN: 978-602-96026-8-5
“Aku diam saja, tapi jauh di dalam lubuk
hatiku yang terdalam, aku meyakini tidak ada kebahagiaan lagi untuk kami.
Seberapa keras pun usahaku dan Mama untuk pulih, kami hanya terperosok semakin
dalam. Terlalu terlambat bila ingin memperbaiki semuanya saat ini. Kami sudah
menyia-nyiakan banyak waktu dan sudah ada korban yang jatuh.” (halaman 76)
Avril
memberontak. Dia yang semula seorang gadis manis kesayangan Papa, menjadi binal
dan liar karena ulah papanya juga. Ulah papanya sungguh di luar dugaan. Papa
yang kelihatan penurut di depan mamanya, ternyata beselingkuh. Tak
tanggung-tanggung, selingkuhan Papa adalah sekretarisnya sendiri yang seorang…
laki-laki!
Avril
adalah salah satu contoh pemberontakan seorang anak akibat ketidakberesan orang
tua. Di berita-berita televisi kita saksikan contoh-contoh kriminalitas para
remaja yang kalau ditelusuri, penyebabnya adalah orang tuanya sendiri. Orang
tua yang tidak perhatian, bermasalah, bercerai, dan sebagainya. yang terkena
imbasnya pada akhirnya adalah anak-anak. Kasus Avril ini benar-benar di luar
mainstream. Dia memberontak karena papanya ternyata seorang biseksual. Bagi
Avril, tak akan menjadi masalah besar bila selingkuhan papanya adalah seorang
wanita. Tapi ini, selingkuhannya sama-sama laki-laki. Betapa menjijikkannya!
Avril
adalah salah satu contoh seorang anak yang tak mendapatkan bimbingan bagaimana
mencari jalan keluar masalahnya, selain melalui jalan-jalan keburukan. Dia haus
akan gairah. Dia membalas dendam kepada Papa dengan caranya. Dia ingin Papa menangis
darah karena putri kesayangannya yang baik telah berubah menjadi liar. Dia
merasa puas ketika telah mencoba sesuatu yang membangkitkan adrenalinnya. Dia
tidak peduli dengan keterpurukan mamanya, dan juga kehancuran dirinya sendiri.
Dia merasa dirinya memang sudah hancur sejak melihat perselingkuhan papanya
yang seorang biseksual.
Membaca
novel ini, saya jadi ikut bergidik ngeri. Membayangkan bila saya berada di
posisi Avril dan menyaksikan lelaki yang saya cintai berhubungan dengan sesama
jenis. Menjijikkan. Apalagi Papa Avril nyatanya tak bisa bertobat. Dia terus
saja mengikuti nafsu seksnya yang berlebihan. Dia tak peduli dengan masa depan
putra-putrinya yang tercemar oleh ulah papanya. Hidup Avril sangat tragis,
sebagai korban dari ketidakberesan papanya.
Gaya
bercerita Mba Indah menyentak-nyentak dan diselubungi misteri. Saya jadi ingat
novel misteri V. Lestari. Novel misteri yang dibalut percintaan. Kita dibuat
geram oleh ulah Papa Avril. Kita juga gemas oleh pilihan Mirza, kakak Avril.
Juga menyayangkan atas tindakan Avril, menyakiti dirinya sendiri. Namun,
wajarlah bila seorang anak kehilangan bimbingan orang tua. Alih-alih memberikan
bimbingan, orang tua justru melakukan kesesatan. Dan tidak ada yang benar-benar
menolong Avril, sampai kemudian Avril bertemu dengan Aidan.
Tokoh
Mama, kurang dieksplor. Bagaimana Mama tidak menyadari bahwa suaminya seorang
biseksual? Saya justru tertarik ingin tahu, mengapa Mama tak tahu suaminya
seorang biseksual? Apakah seorang istri tidak bisa merasakan ketidaknormalan
suaminya? Porsi Mama terlalu sedikit di sini, seakan hanya menjadi cameo.
Padahal, barangkali dari sosok Mama itulah masalahnya bermula. Sosok Prue juga
masih menimbulkan rasa penasaran. Prue seorang transgender, lelaki yang
mengubah kelaminnya menjadi wanita hanya karena merasa nyaman menjadi wanita.
Anehnya, Prue tidak tertarik kepada wanita ataupun lelaki. Dia hanya tertarik pada
dirinya sendiri. Sosok yang unik, tapi barangkali memang ada orang-orang jenis
ini dan membuka pengetahuan kita.
Secara
keseluruhan, novel ini asyik dibaca. Penulis mampu membius pembaca untuk
menamatkan novelnya dalam beberapa jam saja. Saya bahkan tidak sempat menaruh
novel ini sekejap pun. Berhubung membaca sebelum tidur, jadi saya baca terus
sampai selesai dan tidak tidur-tidur. Alhasil, saya begadang untuk membaca
novel ini. Penulis hanya fokus pada konflik cerita, tak ada aksesoris-aksesoris
cerita yang membuang energi untuk membacanya, misalnya eksplorasi setting,
eksplorasi karakter tokoh, eksplorasi deskripsi, bahkan eksplorasi diksi
(maksudnya, memakai diksi yang bikin kening berkerut). Penulis menuturkan
kisahnya secara natural. Bagi seorang pembaca cepat seperti saya, tentu ini
sangat menguntungkan.
Haduh...:(
BalasHapus