Judul: Buku Ini (Tidak) Dijual
Penulis: Henny Alifah
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Cetakan Pertama,
Maret 2015
Jumlah Halaman: 192
ISBN: 978-602-1614-48-8
“Kok dijual?”
“Cuma buku-buku SD- SMP, kok!”
“Meskipun cuma buku SD-SMP, tetap saja itu buku. Ada ilmu di sana.”
“Jadi, Bapak masih menyimpan buku-buku SD-SMP?”
“Tentu saja!”
(halaman 10)
Masihkah kamu menyimpan buku-buku
SD sampai SMP? Buku-buku SMA? Buku-buku kuliah? Saya tidak. Jadi, ketika
membaca bagian pertama dari novel ini
yang menceritakan percakapan Padi dengan seorang ibu di dalam kereta, saya
mengerutkan kening. Oh, ada toh orang yang saking cintanya sama buku
sampai-sampai masih menyimpan buku pelajaran SD-SMP? Novel pemenang pertama Lomba Menulis Novel Inspiratif Penerbit
Indiva tahun 2014 ini mengusung ide yang lain daripada yang lain. Kisahnya
hanya berkisar pada pencarian koleksi buku-buku Padi, seorang lelaki paruh
baya. Koleksi buku-buku Padi dijual paksa oleh bapaknya kepada seorang
pengumpul barang-barang bekas. Padi, yang baru tiba di rumah bapaknya,
bersikeras agar buku-buku itu dicari kembali karena buku-bukunya tidak dijual.
Pada bab-bab awal membaca buku
ini, saya gemas akan sikap Padi. Secinta-cintanya saya pada buku, toh saya
kadang-kadang menjual bahkan membagikan buku-buku itu. Apalagi buku-buku
pelajaran SD, entah sudah berada di mana. Tetapi, Padi, sama sekali tak
membolehkan satu pun bukunya dijual. Ia menyuruh Gading, putra semata
wayangnya, untuk mencari buku-bukunya lagi. Jika Gading tidak bisa mendapatkan
kembali buku-buku itu, maka Padi akan menjual koleksi gitar Gading. Gading
mencari buku-buku itu bersama Kingkin, sepupunya. Proses pencariannya yang
berliku-liku, membuat saya gemas. Terlebih membaca kekeraskepalaan Padi.
Padahal, buku-bukunya itu dijual ke tempat-tempat mulia: sekolah dan bakti
sosial. Kenapa sih buku-bukunya tidak boleh dijual?
Gading pun sempat bertanya-tanya
mengapa ayahnya begitu bersikeras menginginkan bukunya kembali? Buku-buku itu adalah
buku-buku lama yang sudah tidak dibaca kembali. Ia bahkan kerepotan harus
membersihkan buku-buku itu dari debu. Kakeknya pun menyebut buku itu sebagai “rosok”
alias rongsokan. Toh, buku-buku itu dijual ke sekolah-sekolah yang membutuhkan.
Kalaupun sekadar menjadi pembungkus tempe, buku-buku itu tetap lebih bermanfaat
daripada hanya menghuni lemari berdebu.
Menurut bocoran juri, novel ini
menjadi pemenang pertama karena memiliki ide yang unik. Menurut saya memang
demikian adanya. Sepengetahuan saya, belum pernah ada penulis yang menulis
cerita tentang kecanduan seseorang terhadap buku sampai-sampai koleksi bukunya
tidak boleh dijual. Sebagai pecinta buku, saya jadi merasa tersentil karena
kadang-kadang masih menjual koleksi buku-buku saya kalau sedang BU alias Butuh
Uang. Saya juga sering memberikan koleksi buku-buku saya sebagai hadiah,
terutama buku-buku yang kurang saya minati, hehehe….. Menurut saya sih, buku-buku itu lebih baik dijual kepada
pembaca yang lebih membutuhkannya daripada saya anggurkan.
Apalagi buku pelajaran zaman SD,
SMP, SMA, hadeeeuuuh… buat apa lagi disimpan? Nah, itu dia, simak jawaban Padi
berikut ini:
“Buku-buku pelajaran itu adalah saksi bisu perjuangan bagi para murid
sekolah. Ketika mereka dewasa, telah bekerja, telah menemui takdir
masing-masing, telah berkeluarga, bahkan mungkin melanglang buana ke seluruh
penjuru dunia, mereka akan ingat bahwa segala yang mereka peroleh sekarang ini
dulunya berawal dari titik ini. Dari rumah, dari sekolah kecil mereka. Buku-buku
itu saksinya. Tulisan semrawut, tidak rapi, dan buruk rupa itu adalah hasil
coretan mereka. Ketika memori itu telah mulai meninggalkan mereka, buku-buku
itu membantu mereka memanggil kembali memori itu. Dan itulah yang membuat
mereka tersenyum di hari tua.” (halaman
22)
Di sini saya merasa terharu,
teringat akan buku-buku pelajaran zaman SD, SMP, dan SMA yang penuh coretan dan
gambar tangan. Dulu, saya suka mencoret halaman-halaman kosong di dalam
buku-buku pelajaran itu. Ah, bila saja saya menyimpan buku-buku itu seperti
yang dilakukan Padi, tentu saya teringat kembali kenangan-kenangan masa kecil
dan remaja yang sudah jauh meninggalkan saya.
Lalu, apakah Gading dan Kingkin
berhasil menemukan koleksi buku-buku Padi? Penulis sengaja membuat
adegan-adegan yang menggemaskan, mengulur-ulur proses penemuan buku-buku Padi,
mempertemukan Gading dan Kingkin pada kejadian-kejadian yang lucu sekaligus
melelahkan. Saya jadi teringat pada film “Children of Heaven” besutan sutradara
asal Iran tentang usaha seorang anak laki-laki mendapatkan sepatu sekolah. Ya,
seperti itu pulalah penulis mempermainkan Gading dan Kingkin dalam usahanya
mendapatkan buku-buku Padi.
Hanya saja, seperti sebagian
besar penulis pemula, penulis buku ini juga terjebak pada adegan-adegan nyaris
klise dan kebetulan, terutama pada halaman
131-135, saat Gading nyaris tertabrak truk (saya sering menemukan adegan
tokoh yang ditabrak kendaraan di film-film televisi :D), dan kebetulan bertemu
Doni, orang yang menjual buku-bukunya ke sekolah-sekolah. Walaupun begitu,
akhir kisah novel ini sangat manis dan menjawab pertanyaan, mengapa Padi
bersikeras untuk tidak menjual buku-bukunya, sekalipun itu ke sekolah-sekolah
dan bakti sosial.
Muatan islami di novel ini sangat kental, termasuk anjuran untuk membaca yang termuat di dalam Al Quran. "Wahyu yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca," Padi melanjutkan jawabannya sambil tetap memegangi bukunya erat-erat. "Iqra'! Jibril bahkan harus mengulangi perintah ini hingga tiga kali. Lalu, bagaimana mungkin saya tidak memuliakan aktivitas membaca? Tuhan yang memerintahkannya." (halaman 7)
Dan sebagaimana kata Afifah Afra
yang memberikan endorsement, “Ide novelnya sangat unik, lain daripada yang
lain. Pilihan katanya juga efektif dan segar. Novel ini merupakan otokritik
yang brilian. Namun begitu, saya tetap merasa sangat terhibur dan tak bisa
beranjak sampai lembar terakhir.” Novel ini memang mengandung kritik, terutama
bagi Anda yang tidak suka membaca buku dan suka meloakkan buku-buku, sekalipun
itu buku pelajaran SD, koran-koran, dan majalah bekas.
Diikutkan dalam #ReviewMaret @momo_DM @danissyamra @ridoarbain di https://bianglalakata.wordpress.com/2015/03/03/reviewmaret-ayo-me-review-buku-fiksi/
Kemarin sempat nonton rekaman bedah bukunya di IBF Jakarta. Baca resensi Mbak Leyla tambah penasaran jadinya..
BalasHapusKonstruksi pemikiran yang dibangun di novel ini begitu lembut... tokoh antagonis dan protagonis sama2 memiliki alasan. Konfliknya rapi, meski memang ada beberapa kejadian yang mengganggu jalannya cerita. Juga eksplorasi bahasa masih belum kuat. Seandainya bisa dikemas lebih matang lagi, novel ini bisa luar biasa.
BalasHapuswaaaahhh...udah diterbtikan aja. Perasaan baruuu aja pengumuman. Padahal cuma perasaannya saja ya, waktu yang tak terasa.
BalasHapusAku mau beli juga ah kapan-kapan. Aku selalu pingin baca tulisan2 pemenang lomba menulis novel :D
kepingin juga buku ini.. Mbak Ela mau jual nggak? :D
BalasHapus