Penulis: Chitra Banerjee Divakaruni
Penerjemah: Sujatrini Liza
Penerbit: Qanita, 2011
Halaman: 411
Bisakah menulis novel setebal 411 halaman dengan hanya berlatar di satu tempat? Chitra Banerjee Divakaruni telah membuktikannya di dalam novel ini. Sekilas, ide novel ini mirip dengan kisah tiga pemuda di surat Al Kahfi, yang terperangkap di dalam gua, lalu masing-masing menceritakan tentang kebaikan yang telah dilakukan di masa lalu sehingga pintu gua membuka sedikit demi sedikit dan ketiga pemuda itupun bebas (koreksi bila saya salah mengenai cerita ini).
Sembilan orang terjebak dalam sebuah kantor permohonan visa saat terjadi gempa dahsyat. Hampir 12 jam berlalu sejak gempa terjadi, pertolongan tak juga dtaang. Listrik mati, langit-langit runtuh, air mulai merambat naik, dan di mana-mana da mayat mengambang. Rasa takut pun menguat, dan kesembilan orang itu berkumpul menceritakan momen penting dalam hidup mereka. Kisah yang bisa menggerakkan hati dan menumbuhkan semangat untuk tetap bertahan. (sinopsis).
Ya, setting novel ini hanya di satu tempat: kantor permohonan visa, gedung konsulat India di New York. Ada sembilan tokoh yang masing-masing memiliki karakter kuat. Kisah dijalin dengan penuh misteri, membuat pembaca bertanya-tanya dan penasaran bagaimana akhir kisah ini. Dan tentu saja sebagaimana novel sastra lain, akhir kisah ini akan tetap membuat kita bertanya-tanya. Meskipun ini novel sastra, gaya bahasanya mudah dimengerti, mungkin karena diterjemahkan dan penerjemahnya menggunakan diksi yang biasa. Walaupun begitu, penulis dapat menjalin kalimat-kalimat indah dengan metafora-metafora yang membuat pembaca berpikir.
Uma Sinha, seorang gadis India, yang telah lama tinggal di New York untuk kuliah, diminta pulang ke India. Pikirannya dipenuhi dengan hubungan orang tuanya yang sudah hambar, tapi belum bercerai. Dia sebenarnya tidak mau pulang ke India yang kumuh dan banyak masalah, tetapi ibunya telah merindukannya. Dia masih memikirkan tentang ketidakinginannya untuk pulang ke India, saat menunggu visanya diurus (yang memakan waktu lama, sementara penjaga loket layanan terus bolak-balik ke ruangan petugas via), tanah yang dipijaknya bergoyang, dan langit pun runtuh. Gempa!
Cameron (meskipun namanya Cameron, tapi dia laki-laki), juga sedang mengurus visanya. Dia punya latar belakang kelam, yaitu berhubungan intim dengan pacarnya sampai hamil, dan menyuruh pacarnya untuk menggugurkan kandungan. Belakangan dia menyesal karena telah "membunuh" bayinya, dan dia ingin menepi ke India untuk menjadi sukarelawan. Orang-orang melihatnya sebagai pahlawan (karena keaktifannya dalam kegiatan sosial), tapi sebenarnya dia seorang pembunuh.
Malathi, sang penjaga loket layanan, nyaris saja melakukan perbuatan nista dengan bosnya, petugas visa, Mr. Mangalam. Itulah sebabnya dia sering bolak-balik ke ruangan bosnya, seorang lelaki paruh baya yang semakin menarik di usia tua. Sementara istri Mr Mangalam, sejenis wanita setengah tua yang tak bisa memberikan anak, galak, dan dominan. Malathi berharap Mr. Mangalam menceraikan istrinya lalu menikahinya, tetapi Mr Mangalam memang hanya sejenis lelaki takut istri yang sekadar iseng dengan Malathi.
Dan masih ada lima tokoh lain dengan cerita masing-masing. Semuanya bercerita untuk mengusir kepanikan selagi menunggu bala bantuan yang entah datang atau tidak. Mereka berpikir bahwa barangkali saat itu adalah hidup yang terakhir, sehingga mereka tak sabar menceritakan rahasia-rahasia kehidupan yang tersembunyi. Novel ini sungguh memikat pembaca sampai akhir cerita, sekaligus menyisakan perenungan mengenai kehidupan.
Sepertinya menarik nih bukunya
BalasHapuseniwe, baidewe, baru tau mbak ela punya blog khusus mereview buku. mantap deh ;)
ahahaha... iya mb, blog khusus resensi tp masih sepi. Lumayan ikut tantangan 31 hari jd terisi lagi :D
Hapuskapan hari pernah tak sengaja mampir ke blog ini, tapi baru ngeh kalu ini blognya mba leyla juga. hedeeh...energimu luar biasa mba angkat topi akyu....
BalasHapusNovel setebal 411 hanya berlatar di satu tempat? Pasti menarik ya mbak Leyla
BalasHapus