Kamis, 13 Februari 2014

Memoar of Jeddah


Judul: Memoar of Jeddah: How Can I Not Love Jeddah?
Penulis: Jihan Davincka
Penerbit: Quanta, Elex Media
Tahun Terbit: September, 2013
Jumlah Halaman: 171
ISBN: 978-602-02-2097-0

Siapa yang tidak ingin ke Jeddah, Arab Saudi? Jihan Davincka semula menolak keras ketika suaminya menerima tawaran bekerja di Jeddah. Jihan sudah termakan stereotip orang Saudi yang tidak menyenangkan, kotor, panas, wanita tidak bebas bepergian sendirian, terbelakang, dan sebagainya. Apalagi setelah googling, Jihan hanya mendapati keluhan-keluhan WNI yang tinggal di Jeddah. Namun, setelah lelah berargumentasi dengan suaminya, Jihan pun menuruti perkataan suaminya untuk pindah ke Jeddah. Ternyata, apa yang dipikirkannya tak seburuk kenyataan. Banyak hal menyenangkan yang dialaminya di Jeddah, dan sebagian diceritakannya di dalam buku ini.


Jihan Davincka adalah seorang blogger wanita yang banyak menuliskan kisah hidupnya di dalam blog, sebagian telah dibukukan. Pengalamannya mengikuti suami ke Teheran, Jeddah, dan kini Athlone, Irlandia, memberinya banyak inspirasi menulis. Buku ini memuat sebagian pengalamannya selama tinggal di Jeddah. Tinggal di Jeddah berarti hanya satu jam perjalanan ke Mekkah! Setiap akhir pekan, Jihan mengajak suaminya untuk umroh. Bayangkan, kalau tinggal di Indonesia tentu tidak akan semudah itu umroh, bukan? Perlu biaya belasan juta rupiah. Perjalanan dari Jeddah ke Mekkah bisa ditempuh dengan naik mobil pribadi di mana harga mobil di Jeddah jauh lebih murah daripada di Indonesia. Harga BBM sekelas Pertamax pun hanya Rp 1000/ liter. Masya Allah!

Harga makanan kebutuhan sehari-hari pun tidak berbeda jauh dengan di Indonesia. Berhubung banyak pendatang dari Indonesia yang menetap di Jeddah, jadi banyak pula toko makanan khas Indonesia. Bahkan, di Jeddah juga ada perusahaan Indomie, harga Indomie hanya selisih beberapa rupiah dari harga di Indonesia. Konon penyebabnya karena dulu banyak TKW Indonesia yang membawa Indomie dari Indonesia dan diberikan ke anak-anak majikannya. Anak-anak itu ketagihan, Indomie laris-manis, bahkan sampai membuka cabang di Jeddah.

Untuk berhaji pun, calon haji dari Jeddah banyak mendapatkan kemudahan dibandingkan dari Indonesia. Biaya, sudah pasti lebih murah karena tidak perlu penerbangan dari Indonesia ke Mekkah. Dari segi fasilitas pun mendapatkan banyak kelebihan, bahkan melebihi jemaah haji ONH Plus. Tidur di atas kasur, makanan berlimpah, toilet tersedia banyak, dan sebagainya. Membaca cerita Jihan saat berhaji dari Jeddah membuat saya menitikkan airmata, betapa inginnya saya ikut berhaji dengannya!

Namun, sebagaimana orang Indonesia memandang orang Saudi itu tidak ramah dan menyenangkan, orang Saudi pun memiliki stereotip tersendiri terhadap orang Indonesia. Semua orang Indonesia yang datang ke Saudi akan dianggap berprofesi sebagai pembantu rumah tangga! Termasuk Jihan Davincka. Jihan yang mengikuti suaminya, seorang Insinyur, tentu saja harus menelan ludah berkali-kali bila penduduk Saudi menganggapnya sebagai pembantu rumah tangga. Ironisnya, ketika dia  berbicara dengan orang Saudi menggunakan Bahasa Inggris, dia justru dikira orang Malaysia atau Filipina!

“You Indonezi? Speak English? Masya Allah!”

Kita tidak bisa menyalahkan pandangan orang Saudi terhadap orang Indonesia yang menganggap semua orang Indonesia yang ke Jeddah itu berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, sebab kenyataannya memang demikian. Malaysia dan Filipina hanya mengirimkan warga negaranya yang memiliki keterampilan tinggi untuk bekerja di luar negeri, sehingga di Jeddah mereka berprofesi sebagai perawat, manajer, akademisi, dan jabatan-jabatan tinggi lainnya. Warga Malaysia dan Filipina yang berada di Jeddah telah piawai berbahasa Inggris. Sementara, Indonesia kebanyakan mengirimkan warganya sebagai pembantu rumah tangga! Ini kritikan untuk pemerintah kita, agar lebih memperhatikan pendidikan warga negaranya.

Sayangnya, buku ini terlalu tipis. Belum puas rasanya mendengarkan cerita Jihan tentang Jeddah. Pasti masih banyak yang tersimpan di dalam memorinya dan bisa dibagikan kepada pembaca. Memoar of Jeddah, sungguh membuat saya merindukan Kakbah yang dapat dilihat setiap akhir pekan, bila berangkat dari Jeddah.

Dimuat di Nabawia.com

7 komentar:

  1. 171 halaman memang lumayan tipis ya mbak ela

    BalasHapus
  2. lumayan tipis kalo yang nulis mb Jihan. Gaya bahasanya itu loh..asyik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, harusnya ditambah lagi ya halamannya :D

      Hapus
  3. waah,,bikin penasaran nih buku ya mba,,aku baru tau malah,,hrga bbm skelas pertamax d sana cm seribu he he jd pngen buka warteg di jeddah biar bisa tinggal di sana he he :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo Mak kita buka warteg di sana, pasti makmur, wkwkwkw...

      Hapus
  4. Pengen baca banget, Mak...
    Masha Allah ternyata pengalaman hidup di LN-nya Mak Jihan itu udah seabrek banget.... baru ngeh. terimakasih tulisannya, Mak :)

    BalasHapus