![]() |
Sumber kover: kutukutubuku.com |
Judul:
Astral Astria
Penulis:
Fira Basuki
Penerbit:
Grasindo
Tahun
Terbit: 2007
Jumlah
Halaman: 330
ISBN:
979-759-870-5
Astral
artinya tempat tinggal makhluk gaib. Astria,
gadis kelahiran Dieng ini tergolong gadis indigo, yaitu manusia yang mempunyai
kelebihan di luar manusia normal. Untuk Astria, kelebihannya adalah dia mampu
melihat makhluk lain, selain manusia (makhluk gaib seperti jin dan sebagainya).
Astria memiliki mata ketiga yang dapat memprediksi kejadian sebelum terjadinya
(semacam kemampuan paranormal). Rambut gimbalnya adalah penanda kelebihannya
itu, sehingga semasa kecil Astria diruwat. Tak seperti anak gimbal lainnya yang
rambutnya kembali normal, rambut Astria tumbuh kembali (dengan tetap gimbal)
setelah diruwat (potong rambut).
Mengapa saya membeli novel ini?
Gak
sengaja beli pas lagi jalan-jalan sama suami dan anak-anak ke DMall, Depok.
Anak-anak pengen makan pizza dan di sebelah toko pizza itu ada toko Gramedia
yang mungil. Ah, iseng, liat-liat aja walau koleksinya gak selengkap toko
Gramedia yang satu bangunan sendiri. Eh, ternyata nemu buku obralan. Ubek-ubek,
ketemu novel Fira Basuki ini. Harganya Rp 25.000, lumayanlah untuk sebuah buku
yang ditulis penulis terkenal. Pas saya cek di google, harga aslinya Rp 49.000,
diskon hampir 50% ya?
Saya
sudah pernah baca novel Fira Basuki yang berjudul BIRU, walaupun dulu modal
minjem tapi saya terkesan dengan buku itu. Saya ngefanslah dengan buku itu.
Gaya nulisnya cepat, ringan, gak pakai diksi-diksi yang rumit, macam orang lagi
ngobrol saja. Fira Basuki memang digolongkan ke dalam penulis Chicklit, yang
banyak menulis tentang kehidupan wanita modern dengan bahasa yang ringan. Cukuplah
itu menjadi alasan mengapa saya membeli novel ini. Nama besar plus sudah pernah
baca satu novelnya yang saya sukai.
Review
Cerita
langsung dibuka dengan perjalanan astral Astria yang dipandu oleh Kyai Bowo.
“Apakah
kamu sudah siap dengan perjalanan astral ini?”
“Siap,
Kyai Bowo.”
“Mengapa
kamu ingin melakukannya?”
Mengapa? Tidak tahu, Guru. Seperti juga
Anda, saya merasa waktu saya sudah datang untuk mencoba hal-hal baru. Mungkin
dengan perjalanan ini, saya akan kembali dengan iman yang lebih?
Perjalanan
astral Astria diiringi oleh tembang Jawa “Kidung Rumeksa Ing Wengi” ajaran
Sunan Kalijaga, yang mengandung arti doa-doa kepada Allah.
Kemudian,
muncul dialog-dialog dari entah siapa—yang baru kita pahami belakangan—rupanya
Astria memasuki negeri para hantu gentayangan. Nah, hantu-hantu itulah yang
mengisahkan kehidupan mereka masing-masing, sebagai jawaban mengapa roh mereka
masih gentayangan. Ada Indah, seorang penulis gila yang mati tersambar petir ketika sedang hujan-hujanan.
Ada Kasih, penyanyi cantik yang mati karena sedang melerai perkelahian dua
orang lelaki yang mencintainya. Ada Marni, pelacur yang dibunuh oleh
langganannya. Ada Niyah dan Kirmin, suami istri yang mati karena menggunakan
jasa setan untuk mendapatkan keturunan.
Seperti
novel BIRU, novel Astral Astria ini pun memiliki banyak tokoh dengan banyak
kisah hidup. Setelah seperempat kisah, baru deh terasa menariknya dan sulit
melepaskan diri dari membaca buku ini. Saking penasarannya, saya sampai mengunci
diri di kamar supaya gak diganggu anak-anak. Tapi cuma beberapa menit aja kok,
karena si bayi udah nyariin dan nangis kejer, hehehe….. Bukan apa-apa, membaca
buku pun harus nunggu anak-anak lengah atau tidur.
Salah
satu kisah hidup dari tokoh-tokoh ini, yang paling menarik adalah kisah hidup
Indah Skali, seorang penulis terkenal. Dibilang terkenal ya tidak terlalu juga
sih, tapi novel-novelnya laris terus. Salah satu cerpennya berjudul “Perempuan
Hujan” (yang sebenarnya adalah cerpen Fira Basuki sendiri), berkisah tentang
perempuan yang patah hati karena kekasihnya tidak juga mengajaknya menikah.
Untuk mencari perhatian kekasihnya, dia bermain hujan-hujanan di bundaran HI,
berpura-pura hamil, dan akhirnya dia mati kesambar petir. Tragis, ya?
Membaca
karakter Indah, kok saya jadi kepikiran si Fira Basuki itu sendiri. Perjalanan
karir menulis Indah mirip dengan Fira Basuki juga. Misalnya, menulis karena
suka menulis, lalu bekerja di sebuah majalah wanita. Bukankah Fira juga bekerja
di sebuah majalah wanita? Indah mengaku sebagai penulis yang lurus-lurus saja.
Bukan penulis selebritis yang penting terkenal, sedangkan jumlah tulisannya
bisa dihitung jari. Indah bertemu dengan Sekar Suci (ada sekali typo, nama Sekar Suci ditulis Sekar Ayu),
seorang penulis selebritis yang bergaul dengan komunitas sastra, mudah
dipegang-pegang laki-laki asalkan mapan dan punya pamor, suka minum minuman
keras, seks bebas, dan berpakaian seksi. Sekar Suci mengingatkan saya
pada—maaf—Djenar Mahesa Ayu dan Ayu Utami.
Sekar
Suci memberikan tips menjadi penulis terkenal. Cukup bergaul dengan komunitas
sastra (pikiran saya tertuju pada komunitas utan kayu, tempat kongko Ayu Utami,
dkk), sebab komunitas itu sangat menyokong para penulisnya, memberikan
pemberitaan yang bombastis agar karya-karya mereka menjadi terkenal, tentu saja
dengan mengusung ideologi mereka (liberalisme). Hem… sekarang saya jadi paham
nih, mengapa penulis-penulis dari komunitas utan kayu itu cepat sekali
terkenal, ya macam Ayu Utami dan Djenar Mahesa Ayu itu. Saya rasa komunitas lain juga bisa mengikuti
jejak mereka, tak hanya memberitakan pendiri komunitasnya, tapi juga semua
penulis yang bergabung di dalamnya, ehm! (kepikiran BAW). Masalahnya, untuk
bisa begitu, harus ada kerjasama dari seluruh anggota komunitas.
Kemudian,
dikisahkan juga perjalanan hidup Astria si anak gimbal. Orang tuanya meninggal
terkena gas beracun dari salah satu kawah di Dieng. Semua penduduk desa itu
meninggal, kecuali Astria. Astria dirawat oleh suami istri dosen yang tidak
punya anak. Kisah cintanya juga bikin pusing. Astria jatuh cinta pada Bayu,
seorang sutradara, Permadi, seorang fotografer yang juga punya mata ketiga
seperti dirinya, dan akhirnya malah berjodoh dengan Rizky, seorang pengusaha
yang soleh. Awalnya, gaya hidup Astria juga bebas (seks bebas), tapi setelah
perjalanan astral itu, dia bertobat.
Fira
Basuki banyak memasukkan pesan moral di dalam novel ini. Diantaranya,
perjalanan Astria ke Aceh dan Jogja saat ada bencana tsunami dan gempa di
Bantul. Di sana, Astria melihat roh-roh gentayangan dari para korban. Dia
berusaha mengendalikan mata ketiganya, karena memandangi roh-roh yang bersedih
itu benar-benar membuatnya mengalami tekanan batin. Tapi dari situ dia juga
semakin menyadari keberadaan Tuhan YME. Kyai Bowo juga mengajaknya bertobat. Semua
orang pernah berbuat salah, berbuat baiklah tanpa menunggu keajaiban.
Novel
ini sarat mistis ajaran Jawa Kejawen. Gak heran sih, karena Fira Basuki juga
sangat njawani. Banyak informasi dan pengetahuan yang dibagikan oleh Fira seputar
Kejawen. Saya juga jadi penasaran dengan Dieng. Katanya, di sana ada bukit
seribu masjid, yaitu bukit yang setiap seratus meter pasti ada masjid. Pikiran
saya, masjid-masjid itu pasti kosong deh. Di tempat saya saja, kalau banyak
masjid, ya masjidnya sepi karena jamaahnya sedikit. Ternyata, masjid-masjid di
bukit seribu masjid itu (kata Fira Basuki) selalu penuh oleh jamaah, yang
terlihat dan tak terlihat. Astria bisa melihat jamaah yang tidak terlihat.
Untuk kebenarannya, tentu saja hanya orang yang percaya yang mau
membenarkannya. Tapi saya memang pernah membaca di buku dialog Jin dan Manusia,
bahwa satu-satunya tempat yang ada di dunia jin dan dunia manusia adalah
masjid. Jadi, kalau kita tersesat di dunia jin (bisa saja begitu, kan?),
carilah masjid.
Satu
hal yang masih membayangi saya adalah sewaktu Astria berhubungan intim dengan
Permadi di sebuah lokasi bencana tsunami Aceh (di belakang pohon), sedangkan
sebelumnya Astria melihat hantu seorang anak kecil sedang berkeliaran di
sekitar mereka. Apakah Astria tidak malu hubungan zinanya itu disaksikan
hantu-hantu? Kalau saya punya mata ketiga juga, tentu saya akan malu sekali.
Akhir
kata, tentu saja novel ini menarik buat saya. Buktinya, saya bisa membacanya
dalam waktu dua hari saja, untuk novel yang lumayan rumit ini. Cek saja di
google, banyak pereview yang bilang novel ini memusingkan, hehehe…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar