Senin, 17 Maret 2014

Menyaksikan Keajaiban Mahameru dalam Altitude 3676


Judul: Altitude 3676, Takhta Mahameru
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva
Tahun Terbit: Juli, 2013
Jumlah Halaman: 416
ISBN: 978-602-8277-92-1

Ini adalah novel yang menjadi pemenang kedua lomba novel Republika, dan baru-baru ini kembali mendapatkan penghargaan sebagai fiksi dewasa terbaik di Islamic Book Fair, 2014. Wow, lompatan yang besar untuk seorang Azzura Dayana. Novel ini sudah heboh sejak menang lomba tahun lalu, tapi saya baru membacanya sekarang (biasa, ketinggalan zaman :P). Dengan jumlah halaman yang cukup tebal, sebenarnya sudah  menyurutkan nyali untuk membacanya. Ah, ternyata membaca itu memang harus dipaksakan.


Sebelum novel ini, saya sudah membaca dua novel Azzura Dayana lainnya (tiga dengan novel yang saya edit). Judulnya, Birunya Langit Cinta dan Cinta Sang Gadis Penjaga Telaga. Keduanya diterbitkan oleh Pro U Media dan sama-sama berkisah (menyelipkan kisah) tentang perjalanan. Altitude 3676 pun serupa dengan dua novel ini, semakin menegaskan ciri khas Azzura Dayana. Setelah membaca tiga novelnya yang “mirip” itu, saya jadi menyimpulkan karakteristik novel Azzura Dayana sebagai berikut: tokoh utamanya (perempuan) seorang guru atau pendidik, ada kegiatan travelling, ada kisah cinta yang malu-malu tapi mau (uhuk!). Sifat dan profesi tokoh utamanya itu selaras dengan biodata penulis:

Azzura Dayana, seorang penulis, backpacker, dan pendidik. Sangat mendalami aktivitas travelling, membaca, dan fotografi. (selebihnya baca di bagian belakang buku, ya).

Semua penulis (tak bisa disangkal) pasti memasukkan sebagian atau bahkan seluruh pengalaman hidupnya ke dalam novel yang ditulisnya. Saya yakin, demikian pula dengan Azzura Dayana. Saya menebak, Altitude 3676 ini juga memasukkan pengalaman Yana ketika mendaki puncak Mahameru. Tentunya dicampur dengan imajinasi berkaitan dengan peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya. Yana, kabarnya, memang seorang pendaki. Kebetulan saya agak tahu sedikit, kalau pengantin baru ini memang suka jalan-jalan.

Pengisahan menggunakan Pov 1 dari tiga tokoh utama: Faras, Ikhsan, dan Mareta. Dimulai dari Faras yang sedang risau di Candi Borobudur, lalu kebetulan melihat Mareta yang sedang menyebut nama Ikhsan. Faras memang sedang mencari Ikhsan, dan dia sengaja mengikuti Mareta untuk memastikan apakah Ikhsan yang disebut oleh Mareta itu adalah Ikhsan yang dia cari? Setelah perjalanan panjang ke Makassar, terbukti memang Ikhsan mereka itu sama.

Ada apa dengan Ikhsan a.ka Raja Ikhsan? Ada kilas balik yang menceritakan pertemuan awal antara Ikhsan dan Faras di Desa Ranu Pane, tempat tinggal Faras, yang merupakan salah satu tempat transit para pendaki Gunung Semeru. Ikhsan yang cuek dan keras itu adalah salah seorang pendaki. Karakternya yang menonjol membuat Faras tertarik. Mereka bahkan terlibat percakapan serius tentang tuhan. Ikhsan meminta sebelas jawaban dari Faras, mengapa dia harus salat. Jika Faras bisa menjawabnya, baru deh Ikhsan mau salat. Setelah tiga kali bertemu dalam kurun waktu berbeda, Faras mendapatkan cerita dari Ikhsan bahwa dia sangat membenci keluarga ibu tirinya, termasuk ayahnya. Ibunya adalah istri kedua ayahnya yang meninggal karena bunuh diri, setelah diteror oleh istri pertama ayahnya.  Ikhsan berencana membunuh ibu tiri dan ayahnya!

Itulah alasan mengapa Faras bersusah payah mengejar Ikhsan, melalui imel yang dikirim pemuda itu. Ikhsan mengirimkan foto lokasi keberadaannya saat itu, dan Faras terus mengikutinya, khawatir Ikhsan benar-benar membunuh ayahnya.  Magelang, Surabaya, hingga Makassar. Dapatkah Faras bertemu dengan Ikhsan? Lalu, siapakah Mareta yang mengenal Ikhsan?

Pertama, ketebalan novel ini cukup membuat saya pikir-pikir dulu untuk membacanya. Sanggup gak nih saya membacanya sampai selesai? Ternyata bahasa yang biasa saja dari Yana (saya pikir bahasanya bakal puitis dan rumit), serta rasa misterius yang disajikan sejak halaman pertama mampu membius saya untuk membacanya dalam waktu dua hari!

Kedua,  saya yakin faktor utama yang membuat novel ini menang dua kali adalah setting yang memikat, baik itu di Ranu Pane, Makassar, bahkan saat pendakian ke Mahameru.  

Tempat bermain favoritku adalah Ranu Pane. Danau kecil yang menjadi ikon desa kami ini dulu luasnya mencapai empat hectare, tapi kini tepiannya makin tergerus tanah pinggiran danau sehingga makin menyempit. Pohon-pohon yang tumbang di sekitar danau juga terlantar begitu saja menutupi sisi-sisi tepian danau. (halaman 62)

Sunset yang eksotik berhasil terekam dengan baik oleh kamera Nikonku. Tak bisa kupungkiri, Pantai Tanjung Bira ini memang menyuguhkan sejuta pesona seperti yang kukira. Pasir pantainya putih bersih dan sangat halus serupa terigu. Tak banyak turis luar hari ini. Hari kerja rupanya menjadi hari eksklusif warga sini… (halaman 138)

Dari tempat yang sangat tinggi ini, 3.676 meter di atas permukaan laut, semuanya terlihat jauh dan kecil. Gunung Jambangan, Bromo, hingga Arjuno dan Welirang, terlihat kecil dari sini. Garis pantai selatan terlihat samar tapi memukau. Lautan awan terus berarak indah di bawah kami, menyelimuti setengah tubuh Mahameru. Di belakang kami, kawah Jonggring Saloka menyemburkan abu vulkanik setiap dua puluh menit dan membuat tanah bergetar dan dada kami bergemuruh. (halaman 413)

Ketiga, ada banyak informasi yang diberikan oleh Yana, yang kadang-kadang terkesan text book. Salah satunya adalah proses pembuatan Pinisi. Walaupun memang memberikan pengetahuan, tapi cenderung membosankan saking banyaknya, dan tidak diolah bagaimana supaya pembaca tidak terkesan sedang membaca google.

Keempat, ada sedikit typo dan pengulangan kata dalam satu kalimat, entah dari penulisnya atau ketidakcermatan editor. Contoh:

Masih bermain di benakku, bayang-bayang seseorang yang pemberani namun ramah, cerdas, namun rendah hati: Andi Zulfikri. (halaman 169)

Kelima, saya berharap ke depannya penulis tak hanya piawai menyajikan setting memikat dalam setiap novelnya, melainkan juga kecantikan berbahasa.

Altitude 3676 akan membawa kita serasa ikut mendaki Puncak Mahameru bersama penulisnya, menemukan kesejatian cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar