Judul:
Altitude 3676, Takhta Mahameru
Penulis:
Azzura Dayana
Penerbit:
Indiva
Tahun
Terbit: Juli, 2013
Jumlah
Halaman: 416
ISBN:
978-602-8277-92-1
Ini
adalah novel yang menjadi pemenang kedua lomba novel Republika, dan baru-baru
ini kembali mendapatkan penghargaan sebagai fiksi dewasa terbaik di Islamic
Book Fair, 2014. Wow, lompatan yang besar untuk seorang Azzura Dayana. Novel
ini sudah heboh sejak menang lomba tahun lalu, tapi saya baru membacanya
sekarang (biasa, ketinggalan zaman :P). Dengan jumlah halaman yang cukup tebal,
sebenarnya sudah menyurutkan nyali untuk
membacanya. Ah, ternyata membaca itu memang harus dipaksakan.
Sebelum
novel ini, saya sudah membaca dua novel Azzura Dayana lainnya (tiga dengan
novel yang saya edit). Judulnya, Birunya Langit Cinta dan Cinta Sang Gadis
Penjaga Telaga. Keduanya diterbitkan oleh Pro U Media dan sama-sama berkisah
(menyelipkan kisah) tentang perjalanan. Altitude 3676 pun serupa dengan dua
novel ini, semakin menegaskan ciri khas Azzura Dayana. Setelah membaca tiga
novelnya yang “mirip” itu, saya jadi menyimpulkan karakteristik novel Azzura
Dayana sebagai berikut: tokoh utamanya (perempuan) seorang guru atau pendidik, ada
kegiatan travelling, ada kisah cinta yang malu-malu tapi mau (uhuk!). Sifat dan
profesi tokoh utamanya itu selaras dengan biodata penulis:
Azzura Dayana, seorang penulis, backpacker,
dan pendidik. Sangat mendalami aktivitas travelling, membaca, dan fotografi.
(selebihnya baca di bagian belakang buku, ya).
Semua
penulis (tak bisa disangkal) pasti memasukkan sebagian atau bahkan seluruh
pengalaman hidupnya ke dalam novel yang ditulisnya. Saya yakin, demikian pula
dengan Azzura Dayana. Saya menebak, Altitude 3676 ini juga memasukkan
pengalaman Yana ketika mendaki puncak Mahameru. Tentunya dicampur dengan
imajinasi berkaitan dengan peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya. Yana,
kabarnya, memang seorang pendaki. Kebetulan saya agak tahu sedikit, kalau
pengantin baru ini memang suka jalan-jalan.
Pengisahan
menggunakan Pov 1 dari tiga tokoh utama: Faras, Ikhsan, dan Mareta. Dimulai
dari Faras yang sedang risau di Candi Borobudur, lalu kebetulan melihat Mareta
yang sedang menyebut nama Ikhsan. Faras memang sedang mencari Ikhsan, dan dia
sengaja mengikuti Mareta untuk memastikan apakah Ikhsan yang disebut oleh
Mareta itu adalah Ikhsan yang dia cari? Setelah perjalanan panjang ke Makassar,
terbukti memang Ikhsan mereka itu sama.
Ada
apa dengan Ikhsan a.ka Raja Ikhsan? Ada kilas balik yang menceritakan pertemuan
awal antara Ikhsan dan Faras di Desa Ranu Pane, tempat tinggal Faras, yang merupakan
salah satu tempat transit para pendaki Gunung Semeru. Ikhsan yang cuek dan
keras itu adalah salah seorang pendaki. Karakternya yang menonjol membuat Faras
tertarik. Mereka bahkan terlibat percakapan serius tentang tuhan. Ikhsan
meminta sebelas jawaban dari Faras, mengapa dia harus salat. Jika Faras bisa
menjawabnya, baru deh Ikhsan mau salat. Setelah tiga kali bertemu dalam kurun
waktu berbeda, Faras mendapatkan cerita dari Ikhsan bahwa dia sangat membenci
keluarga ibu tirinya, termasuk ayahnya. Ibunya adalah istri kedua ayahnya yang
meninggal karena bunuh diri, setelah diteror oleh istri pertama ayahnya. Ikhsan berencana membunuh ibu tiri dan
ayahnya!
Itulah
alasan mengapa Faras bersusah payah mengejar Ikhsan, melalui imel yang dikirim
pemuda itu. Ikhsan mengirimkan foto lokasi keberadaannya saat itu, dan Faras
terus mengikutinya, khawatir Ikhsan benar-benar membunuh ayahnya. Magelang, Surabaya, hingga Makassar. Dapatkah
Faras bertemu dengan Ikhsan? Lalu, siapakah Mareta yang mengenal Ikhsan?
Pertama, ketebalan novel ini cukup
membuat saya pikir-pikir dulu untuk membacanya. Sanggup gak nih saya membacanya
sampai selesai? Ternyata bahasa yang biasa saja dari Yana (saya pikir bahasanya
bakal puitis dan rumit), serta rasa misterius yang disajikan sejak halaman
pertama mampu membius saya untuk membacanya dalam waktu dua hari!
Kedua, saya yakin faktor utama yang membuat novel ini
menang dua kali adalah setting yang memikat, baik itu di Ranu Pane, Makassar,
bahkan saat pendakian ke Mahameru.
Tempat bermain favoritku adalah Ranu Pane.
Danau kecil yang menjadi ikon desa kami ini dulu luasnya mencapai empat
hectare, tapi kini tepiannya makin tergerus tanah pinggiran danau sehingga
makin menyempit. Pohon-pohon yang tumbang di sekitar danau juga terlantar begitu
saja menutupi sisi-sisi tepian danau. (halaman
62)
Sunset yang eksotik berhasil terekam dengan
baik oleh kamera Nikonku. Tak bisa kupungkiri, Pantai Tanjung Bira ini memang
menyuguhkan sejuta pesona seperti yang kukira. Pasir pantainya putih bersih dan
sangat halus serupa terigu. Tak banyak turis luar hari ini. Hari kerja rupanya
menjadi hari eksklusif warga sini… (halaman
138)
Dari tempat yang sangat tinggi ini, 3.676
meter di atas permukaan laut, semuanya terlihat jauh dan kecil. Gunung
Jambangan, Bromo, hingga Arjuno dan Welirang, terlihat kecil dari sini. Garis
pantai selatan terlihat samar tapi memukau. Lautan awan terus berarak indah di
bawah kami, menyelimuti setengah tubuh Mahameru. Di belakang kami, kawah
Jonggring Saloka menyemburkan abu vulkanik setiap dua puluh menit dan membuat
tanah bergetar dan dada kami bergemuruh. (halaman 413)
Ketiga, ada banyak informasi yang
diberikan oleh Yana, yang kadang-kadang terkesan text book. Salah satunya adalah proses pembuatan Pinisi. Walaupun
memang memberikan pengetahuan, tapi cenderung membosankan saking banyaknya, dan
tidak diolah bagaimana supaya pembaca tidak terkesan sedang membaca google.
Keempat, ada sedikit typo dan
pengulangan kata dalam satu kalimat, entah dari penulisnya atau ketidakcermatan
editor. Contoh:
Masih bermain di benakku, bayang-bayang
seseorang yang pemberani namun
ramah, cerdas, namun rendah hati:
Andi Zulfikri. (halaman 169)
Kelima, saya berharap ke depannya
penulis tak hanya piawai menyajikan setting memikat dalam setiap novelnya,
melainkan juga kecantikan berbahasa.
Altitude
3676 akan membawa kita serasa ikut mendaki Puncak Mahameru bersama penulisnya,
menemukan kesejatian cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar