Judul:
RINAI
Penulis:
Sinta Yudisia
Penerbit:
GIZONE Books (Kelompok Penerbit Indiva Media Kreasi)
Jumlah
Halaman: 402
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, September 2012
ISBN:
978-602-8277-65-5
Rinai
Hujan, nama yang unik tetapi ternyata tak ada kaitannya dengan isi cerita novel
ini, karena gadis berusia 25 tahun ini memiliki kakak yang bernama Guntur Alam.
Ini novel kesekian Mba Sinta Yudisia yang saya baca. Barangkali ini salah satu
novel Mba Sinta yang mengandung materi cukup berat, yaitu pengutipan ilmu-ilmu
psikologi sebagai ilmu yang didalami oleh Mba Sinta. Di satu sisi, membuka
pengetahuan. Di sisi lain, penjabarannya masih berupa text book, sehingga bikin
kepala pening dan agak menghilangkan sisi hiburan dari sebuah novel.
Barangkali
ini memang bukan novel yang dimanfaatkan untuk menghibur, tapi untuk mengajak
berpikir. Diawali dengan mimpi Rinai tentang ular yang berdasarkan tafsir mimpi
pakar psikolog ternama SIGMUND FREUD, berarti alat kelamin laki-laki. Bagi
Rinai, itu adalah mimpi buruk. Dengan begitu seringnya dia bermimpi dibelit
ular, apakah itu berarti dia sangat menggandrungi organ vital laki-laki? Apakah
itu berarti pikirannya selalu “jorok”?
Omong-omong,
ternyata saya juga sering bermimpi tentang ular dari sejak masih remaja. Saat
itu, teman-teman saya menafsirkan bahwa saya sudah ngebet nikah, hehehe….
Syukurlah, setelah membaca novel Rinai ini, penafsiran saya berubah. Rinai
memilih mengikuti tafsir Ibnu Khaldun, pakar psikologi Islam yang menafsirkan
mimpi tentang ular dari sudut pandang berbeda.
Lalu,
apa hubungan cerita ular dengan Gaza? Rinai mendapat kesempatan ke Gaza dalam
rangka meneliti kecerdasan anak-anak korban perang, bersama dosen Psikologinya,
Nora Effendi, asisten dosen, Amaretta, dan teman-teman lain. Di sana, Rinai
kembali menemukan bahwa salah seorang anak, Hazem, juga sering bermimpi tentang
ular. Bagaimana mungkin seorang anak lelaki terobsesi alat kelamin lelaki lain?
Untunglah kekhawatiran Rinai tidak terbukti jika mengikuti tafsir mimpi Ibnu
Khaldun.
Tentu
saja disajikan pengalaman Rinai dan kawan-kawan selama berkunjung ke Gaza,
negara penuh gejolak yang sudah puluhan tahun dijajah oleh Israel. Bagaimana
pengalaman Rinai selama di sana, patut Anda simak. Ada juga intrik yang terjadi
antara Rinai dan teman-teman psikolognya berkaitan dengan hasil penelitian yang
dimanipulasi. Ke mana Rinai berpihak?
Ini
memang novel yang cerdas dan memberikan banyak informasi penting berkaitan
dengan psikologi dan kondisi di Gaza. Akan tetapi, ada ekspektasi yang tak
terpenuhi. Saya kira novel ini bakal penuh konflik yang meledak-ledak, apalagi
mengambil setting Gaza, sebuah negara yang sedang bergejolak. Ternyata konflik
digarap kurang maksimal, dengan penuturan yang lamban dan datar. Mungkin karena
penulis terlalu sibuk dengan pembahasan ilmu-ilmu psikologi, sehingga konflik
yang terjadi antara Rinai dan teman-teman psikologinya kurang tergarap. Belum lagi konflik antara Rinai dan keluarganya
(yang membuat Rinai “melarikan” diri ke Gaza), seperti menggantung begitu saja.
Saya pikir, novel ini bakal fokus menceritakan tentang konflik di Gaza,
ternyata fokusnya pada konflik yang membelit kejiwaan Rinai.
Walaupun
demikian, bolehlah dibilang bahwa novel ini telah ikut mengangkat permasalahan
Palestina untuk menjadi perhatian kita.
“Kehilangan
telah menjadi hal lazim di Gaza. Kehilangan orang tua, anggota tubuh, bangunan
tempat tinggal, pekerjaan, uang, listrik. Kehilangan tanah merdeka yang menjadi sebab Nabi Adam ‘alaihissalam
memiliki tempat berpijak di bumi. Mereka tetap berjalan sebagaimana mestinya
meski hidup semakin tak menampakkan
jejaknya, hari ke hari.” (halaman 393)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar