Judul:
Last Roommate, Teman Berbagi Apartement
Penulis:
Theresia Anik
Penerbit:
Stiletto
Jumlah
Halaman: 203 halaman
Tahun Terbit: Juni 2012
ISBN: 978-602-7572-05-1
“Nggak
susah untuk bikin dirimu bahagia. Kamu hanya harus menerima dirimu apa adanya
dan berkembang dengan segala kondisi itu.” (halaman 180)
Sinopsis:
Renata Camelia, seorang perempuan
biasa-biasa saja. Penampilannya biasa (kalau tidak bisa dibilang membosankan),
kondisi keuangannya juga biasa (metafor dari pas-pasan), dan dia belum punya
pacar di usia matang. Benar-benar terlalu biasa. Yang luar biasa adalah
rekornya berganti teman seapartemen hingga empat kali dalam dua tahun. Beruntung
Renata menemukan teman lebih dari apa yang diharapkannya. Seorang cowok bernama
Nesta. Dia merasa bebas di depan Nesta karena Nesta adalah seorang gay. Tapi tunggu,
apakah benar Nesta seorang gay seperti pengakuannya?
Tema
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) seakan menjadi tema popular di
sebagian novel-novel tanah air. Entah bagaimana, keberadaan mereka seakan
tengah dikampanyekan oleh sebagian penulis Indonesia agar diakui dan disamakan
perlakuannya. Sudah tentu jika ditinjau dari ajaran agama apa pun, LGBT adalah
suatu dosa. Terutama di dalam Islam, perilaku Kaum Sodom disinyalir menjadi
penyebab kehancuran kaum itu oleh suatu bencana dari langit. Kaum Sodom adalah
pelaku homoseksual, penyuka sesama jenis. Sehingga istilah Sodomi menjadi
istilah lazim untuk menyebut sebuah hubungan melalui anus, yang dilakukan oleh
kaum homoseksual (terutama lelaki dengan lelaki).
Apakah
dengan diangkatnya tema-tema LGBT, termasuk di novel ini, yang sudah tentu
memihak pada LGBT itu, dapat membenarkan hubungan sesama jenis? Ah, kenapa
review saya jadi serius begini? Apakah novelnya juga serius? Tidak, kok. Ini
novel yang ringan sekali, sesuai dengan genre yang diusungnya: CHICKLIT. Novel
ini menyasar untuk pembaca wanita lajang berusia 20-40 tahun, yang sedang
sibuk-sibuknya berkarir dan mencari jodoh.
Novel
ini saya baca dalam sekali duduk. Kisah hidup Renata diceritakan dengan lancar
dan mengalir, diselingi beberapa adegan lucu. Novel ini cukup menghibur.
Sebagaimana novel chicklit lainnya, permasalahan yang diangkat adalah kehidupan
Renata dalam karir dan percintaannya. Berdasarkan judulnya, masalah yang paling
utama adalah sulitnya Renata mencari teman berbagi apartemen, padahal dia harus
mendapatkannya karena gajinya sudah tidak cukup untuk membayar satu kamar
apartemen seorang diri.
Satu
per satu teman berbagi apartemen pun datang, tetapi satu per satu dari mereka
harus hengkang. Semuanya memiliki masalah psikologis yang tidak klop dengan
Renata, hingga datanglah Nesta yang walaupun gay, tapi baik hati. Belakangan
ada kejutan-kejutan lain yang masih ada sangkut pautnya dengan LGBT. Hingga
akhirnya Renata berkesimpulan bahwa kebahagiaan itu adalah manakala kita dapat
menerima keadaan diri kita, apa pun itu, walaupun bila kita menyukai sesama
jenis. Hmm….
Terlepas
dari ceritanya yang asyik, saya tetap tidak setuju dengan kesimpulan Renata.
Hidup memang harus bahagia, tapi ada kalanya dalam hidup ini kita harus berkorban.
Jika Renata tidak bisa menerima kehadiran Scarlett yang telah mengaborsi
janinnya, mengapa dia bisa menerima pilihan hidup Nesta sebagai gay? Padahal,
keduanya sama saja berdosa. Anehnya lagi, Renata juga tidak bisa menerima
kehadiran Andrea yang penjilat, padahal menurut saya, sifat itu masih
mendinglah daripada pacaran dengan sesama jenis sebagaimana yang dilakukan oleh
sahabat-sahabat Renata. Apalagi membaca dialog antara sahabat-sahabat Renata
yang lesbian itu, tentang pilihan mereka, bahkan sampai rencana mengadopsi
anak, yang diucapkan dengan begitu ringannya seakan-akan pilihan mereka itu
normal dan wajar, semakin membuat saya geli sendiri. Baiklah, ini memang dari
sudut pandang saya yang masih taat pada aturan agama. Permasalahan LGBT bukan
semata hak asasi manusia lho, menurut saya, tapi sudah masuk ranah agama bahwa
itu HARAM. Bagi saya, sesuatu yang haram tidak bisa ditawar lagi.
Saya
yakin kaum LGBT itu masih bisa disembuhkan dengan berobat ke psikiater dan
memperdalam agama. Sebab, normalnya, manusia itu berpasang-pasangan berlainan
jenis. Buktinya, kaum LGBT tidak akan bisa memiliki anak, beregenerasi kalau
bukan melalui Bank Spermalah, adopsilah. Bank Sperma untuk kaum lesbian, pakai
sperma siapa? Laki-laki beneran, kan? Atau kalau gay, pakai sewa rahim, rahim
siapa? Perempuan beneran, kan? Nah, jadi normalnya tarik menarik antara kutub X
dan Y, bukan kutub X dan X. Magnet saja tahu, masa manusia tidak? Bukankah
manusia lebih pandai daripada magnet?
Ngomong
apa sih saya ini? Secara keseluruhan, novel ini enak dibaca. Ada juga bagian
yang memberikan muatan positif, yaitu bagaimana Renata menerima dirinya
sendiri. Sebab, dia tidak percaya diri dengan semua hal biasa yang ada pada
dirinya. Untuk bagian ini, saya setuju banget. Setiap manusia memiliki
kelebihan masing-masing. Tidak ada yang biasa saja.
hihihi.... magnet aja tauu ya
BalasHapussejujurnya, novel ini asyiiiik banget dibacanya. makanya saya jadi miris dengan ide LGBTnya
BalasHapusAuw....yang ini toh :(
BalasHapus