Kamis, 19 Juni 2014

Sayap Cahaya: Kumcer Sanie B Kuncoro


Judul: Sayap Cahaya
Penulis: Sanie B. Kuncoro
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, 2012
Jumlah Halaman: viii + 233
ISBN: 978-602-00-1589-7

Sinopsis:
Dinamika problematik perempuan dengan keluarganya. Persoalan sehari-hari yang melibatkan perempuan dengan ayah atau ibunya ataupuk konflik mertua dan menantu. Beberapa mengungkap kegamangan menghadapi kehidupan dan kecenderungan perempuan mengambil alih persoalan menjadi bagian dirinya. Cerpen-cerpen ini mengungkapkan dirinya dengan personal, seolah tak mengambil jarak dengan pembaca. Dengan bahasa yang lembut hal-hal sederhana tampil sebagai kisah yang menyentuh hati dan menetap lama di benak. Semua cerita ini pernah dimuat di majalah Femina, Sekar, Kartini, tabloid Nyata, dan Koran Jawa Pos.


Ini adalah kumpulan cerpen karya Sanie B. Kuncoro yang sebagian besar sudah dimuat di majalah-majalah wanita ternama, karena inti ceritanya berpusat pada mahkluk bernama perempuan. Ada 14 cerpen tentang perempuan yang ditulis Sanie dengan bahasa yang lembut, sederhana, dan puitis. Khas perempuan. Sanie memang banyak menulis tema-tema tentang perempuan. Selain cerpen, ada juga yang berbentuk novella, karena halamannya lebih panjang daripada halaman cerpen pada umumnya. Contohnya pada cerpen pertama berjudul, Sayap Cahaya, yang menjadi judul kumcer ini.

Ide ceritanya sederhana. Tentang seorang gadis yang ditinggalkan ibunya dan hanya memiliki ayah. Ayah yang setia mendampingi dan merawatnya. Bertahun-tahun ia percaya ayahnya hanya mencintainya. Belakangan, ayahnya dikabarkan meninggal dunia dalam suatu kecelakaan. Tetapi, ayahnya tidak meninggal sendirian. Ada seorang wanita di sisi ayahnya, yang diketahui sebagai istri kedua sang ayah. Tokoh “Aku” tak percaya selama itu ayahnya sudah menduakannya. Bahkan, ayahnya memiliki anak dari wanita pengganti ibunya. Anak yang masih kecil dan otomatis menjadi satu-satunya keluarganya. Ia harus mengasuh anak itu, sedangkan ia masih marah kepada ayahnya yang sudah membohonginya. Bagaimana ia berdamai dengan anak itu?

Dalam cerpen yang cukup panjang itu, sebanyak 68 halaman, Sanie menceritakan pergulatan batin seorang anak yang merasa dibohongi ayahnya. Ayah yang dikiranya setia. Belum selesai keterkejutannya karena sang ayah ternyata sudah menikah lagi, ia juga harus mengambil tanggung jawab terhadap adik tirinya. Kisah kekeluargaan yang menyentuh, dituliskan oleh Sanie dengan bahasa yang lembut dan sederhana tapi sampai ke jiwa.

“Bukan suatu hari nanti, Nak. Hari ini kau telah menjadi kunang-kunang kecil itu bagiku. Kau telah menuntuntku menemukan kembali sayap-sayap cahayaku. Kau adalah kunang-kunang kecil dengan cahaya yang belum sempurna, namun dengan ketidaksempurnaan iu justru kausempurnakan sayap cahayaku yang sempat memudar. Kini dengan sayapku akan  kulindungi dirimu sepenuh hati…” (halaman 67)

Di cerpen kedua, “Akar Hidup,” Sanie kembali menceritakan tentang “Ayah.” Tentang seorang anak yang dibawa pulang oleh ayahnya ke tanah airnya, tempat ari-arinya tertanam. Sebuah pesan sederhana tentang kembali ke tanah tempat kita dilahirkan. “Dialah ayah terbaik bagimu selama ini, tak akan tergantikan oleh siapa pun atau apa pun. Ayahmu adalah akarmu.” (halaman 80).

Cerpen ketiga, “Kebaya Kenanga,” juga masih bercerita tentang Ayah. Tentang penerimaan seorang anak yang ibunya akan menikah lagi sepeninggal ayahnya. Sang anak tak mengerti mengapa ibunya ingin menggantikan kenangan ayahnya dengan lelaki lain, bahkan di saat usia mereka sudah uzur? Apakah ayahnya sudah tak memiliki tempat lagi di hati ibunya? Dia menganggap ibunya telah berkhianat. “Lalu aku bertanya-tanya, akankah bayang diriku akan setia menemani anakku di kemudian hari nanti sama seperti bayang Ayah menyertaiku?” (halaman 88).

Cerpen selanjutnya bercerita tentang Ibu. Dalam “Malam Kudus Pertama,” diceritakan seorang ibu tua renta penderita Alzheimer (kehilangan sebagian ingatan) akan “dibuang” ke panti jompo oleh anak-anaknya tapi justru menantu perempuannya yang datang menyelamatkan. Menantu yang dulu pernah ditolak kehadirannya oleh sang ibu mertua.

“Mengapa aku harus tinggal di rumahmu?” lagi, Ibu bertanya.
“Karena aku akan menjagamu,” lagi, kau menjawab.
“Mengapa kau harus menjagaku?”
“Karena kau adalah ibu suamiku, nenek anak-anakku, maka menjadi ibuku juga.”
“Begitulah? Aku tak ingat.”
“Tak apa. Aku akan mengingatkanmu setiap hari.” (halaman 107)

Cerpen ini membuat saya gemas dengan sikap sang ibu yang dulu menolak kehadiran menantunya itu, tapi ternyata justru menantunya itu yang menyelamatkannya dan menjaganya di masa tua, setelah anak-anak kandungnya bermaksud membuangnya ke panti jompo.

Kumcer ini adalah paket komplit. Tentang ayah, ibu, anak, menantu, mertua, dan semua yang bersentuhan dengan sisi keperempuanan. Walaupun ada tema yang mirip, misalnya tentang pernikahan yang tidak direstui ibu, ada dua cerpen yang mengisahkan hal serupa. Pun tentang aborsi dan kehamilan di luar nikah, ada dua cerpen bertema serupa. Dan tentang anak-anak yang ingin membuang ibunya ke panti jompo, juga diceritakan dalam dua cerpen.

Sanie berhasil membuat saya termenung saat membaca ceritanya, terharu dan hanyut ke dalamnya. Bahkan ada cerita yang terus saya ingat. Misalnya, cerpen “Mencari Ibu,” tentang Lembayung yang hamil di luar nikah dan berencana menggugurkan kandungannya. Dalam perjalanan mencari dukun aborsi, dia bertemu seorang anak. Seorang anak yang membuatnya tidak jadi menggugurkan kandungannya. Juga sebuah cerpen berjudul, “Komitmen,” tentang Meinar dan Praba yang berkomitmen tidak memasukkan anggota keluarga mereka ke dalam rumah tangga, termasuk IBU. Jadi, Praba pun harus mengirim ibunya ke panti jompo, karena Meinar tidak suka dengan kehadiran ibu mertua di dalam rumah tangganya. Namun, di dalam panti jompo itu, Meinar justru tersadarkan,

“Sibuk? Ah, anak sekarang memang terlalu sibuk. Demi karier katanya, bisnis dan entah apalagi istilahnya. Ibu teringat masa lalu, ketika anak-anak masih begitu kecil. Berast tak selalu ada. Sering kusisihkan sarapanku supaya anak-anak bisa makan lebih kenyang. Apalagi melihat mereka tumbuh, bersekolah, dan mulai menyusun cita-cita. Hati ini menjadi penuh harapan. Aku ingat, selalu berdoa setiap malam untuk mereka. Agar Tuhan membantu mereka mencapai cita-cita, masa depan yang lebih baik, dan senantiasa bahagia.” (halaman 169)

Setelah perjuangan seorang ibu  yang sedemikian rupa untuk anak-anaknya, anak-anak justru mengirim ibunya ke panti jompo? Ah, mata saya membasah.

Masih ada beberapa cerpen lain yang menyentuh hati. Jangankan lupa siapkan tisu sebelum membaca kumcer ini, karena ada beberapa kisah yang membuat saya tersedu-sedu. Kisah sederhana tapi memikat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar