Judul:
Sayap Cahaya
Penulis:
Sanie B. Kuncoro
Penerbit:
Elex Media Komputindo
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, 2012
Jumlah
Halaman: viii + 233
ISBN: 978-602-00-1589-7
Sinopsis:
Dinamika
problematik perempuan dengan keluarganya. Persoalan sehari-hari yang melibatkan
perempuan dengan ayah atau ibunya ataupuk konflik mertua dan menantu. Beberapa
mengungkap kegamangan menghadapi kehidupan dan kecenderungan perempuan
mengambil alih persoalan menjadi bagian dirinya. Cerpen-cerpen ini
mengungkapkan dirinya dengan personal, seolah tak mengambil jarak dengan
pembaca. Dengan bahasa yang lembut hal-hal sederhana tampil sebagai kisah yang
menyentuh hati dan menetap lama di benak. Semua cerita ini pernah dimuat di
majalah Femina, Sekar, Kartini, tabloid Nyata, dan Koran Jawa Pos.
Ini
adalah kumpulan cerpen karya Sanie B. Kuncoro yang sebagian besar sudah dimuat
di majalah-majalah wanita ternama, karena inti ceritanya berpusat pada mahkluk
bernama perempuan. Ada 14 cerpen tentang perempuan yang ditulis Sanie dengan
bahasa yang lembut, sederhana, dan puitis. Khas perempuan. Sanie memang banyak
menulis tema-tema tentang perempuan. Selain cerpen, ada juga yang berbentuk
novella, karena halamannya lebih panjang daripada halaman cerpen pada umumnya.
Contohnya pada cerpen pertama berjudul, Sayap
Cahaya, yang menjadi judul kumcer ini.
Ide
ceritanya sederhana. Tentang seorang gadis yang ditinggalkan ibunya dan hanya
memiliki ayah. Ayah yang setia mendampingi dan merawatnya. Bertahun-tahun ia
percaya ayahnya hanya mencintainya. Belakangan, ayahnya dikabarkan meninggal
dunia dalam suatu kecelakaan. Tetapi, ayahnya tidak meninggal sendirian. Ada
seorang wanita di sisi ayahnya, yang diketahui sebagai istri kedua sang ayah.
Tokoh “Aku” tak percaya selama itu ayahnya sudah menduakannya. Bahkan, ayahnya
memiliki anak dari wanita pengganti ibunya. Anak yang masih kecil dan otomatis
menjadi satu-satunya keluarganya. Ia harus mengasuh anak itu, sedangkan ia
masih marah kepada ayahnya yang sudah membohonginya. Bagaimana ia berdamai
dengan anak itu?
Dalam
cerpen yang cukup panjang itu, sebanyak 68 halaman, Sanie menceritakan
pergulatan batin seorang anak yang merasa dibohongi ayahnya. Ayah yang
dikiranya setia. Belum selesai keterkejutannya karena sang ayah ternyata sudah
menikah lagi, ia juga harus mengambil tanggung jawab terhadap adik tirinya.
Kisah kekeluargaan yang menyentuh, dituliskan oleh Sanie dengan bahasa yang
lembut dan sederhana tapi sampai ke jiwa.
“Bukan suatu hari nanti, Nak. Hari ini kau
telah menjadi kunang-kunang kecil itu bagiku. Kau telah menuntuntku menemukan
kembali sayap-sayap cahayaku. Kau adalah kunang-kunang kecil dengan cahaya yang
belum sempurna, namun dengan ketidaksempurnaan iu justru kausempurnakan sayap
cahayaku yang sempat memudar. Kini dengan sayapku akan kulindungi dirimu sepenuh hati…” (halaman 67)
Di
cerpen kedua, “Akar Hidup,” Sanie
kembali menceritakan tentang “Ayah.” Tentang seorang anak yang dibawa pulang
oleh ayahnya ke tanah airnya, tempat ari-arinya tertanam. Sebuah pesan
sederhana tentang kembali ke tanah tempat kita dilahirkan. “Dialah ayah terbaik bagimu selama ini, tak akan tergantikan oleh siapa
pun atau apa pun. Ayahmu adalah akarmu.” (halaman 80).
Cerpen
ketiga, “Kebaya Kenanga,” juga masih
bercerita tentang Ayah. Tentang penerimaan seorang anak yang ibunya akan
menikah lagi sepeninggal ayahnya. Sang anak tak mengerti mengapa ibunya ingin
menggantikan kenangan ayahnya dengan lelaki lain, bahkan di saat usia mereka
sudah uzur? Apakah ayahnya sudah tak memiliki tempat lagi di hati ibunya? Dia
menganggap ibunya telah berkhianat. “Lalu
aku bertanya-tanya, akankah bayang diriku akan setia menemani anakku di
kemudian hari nanti sama seperti bayang Ayah menyertaiku?” (halaman 88).
Cerpen
selanjutnya bercerita tentang Ibu. Dalam “Malam
Kudus Pertama,” diceritakan seorang ibu tua renta penderita Alzheimer
(kehilangan sebagian ingatan) akan “dibuang” ke panti jompo oleh anak-anaknya
tapi justru menantu perempuannya yang datang menyelamatkan. Menantu yang dulu
pernah ditolak kehadirannya oleh sang ibu mertua.
“Mengapa aku harus tinggal di rumahmu?”
lagi, Ibu bertanya.
“Karena aku akan menjagamu,” lagi, kau
menjawab.
“Mengapa kau harus menjagaku?”
“Karena kau adalah ibu suamiku, nenek
anak-anakku, maka menjadi ibuku juga.”
“Begitulah? Aku tak ingat.”
“Tak apa. Aku akan mengingatkanmu setiap
hari.” (halaman 107)
Cerpen
ini membuat saya gemas dengan sikap sang ibu yang dulu menolak kehadiran
menantunya itu, tapi ternyata justru menantunya itu yang menyelamatkannya dan
menjaganya di masa tua, setelah anak-anak kandungnya bermaksud membuangnya ke
panti jompo.
Kumcer
ini adalah paket komplit. Tentang ayah, ibu, anak, menantu, mertua, dan semua
yang bersentuhan dengan sisi keperempuanan. Walaupun ada tema yang mirip,
misalnya tentang pernikahan yang tidak direstui ibu, ada dua cerpen yang
mengisahkan hal serupa. Pun tentang aborsi dan kehamilan di luar nikah, ada dua
cerpen bertema serupa. Dan tentang anak-anak yang ingin membuang ibunya ke
panti jompo, juga diceritakan dalam dua cerpen.
Sanie
berhasil membuat saya termenung saat membaca ceritanya, terharu dan hanyut ke
dalamnya. Bahkan ada cerita yang terus saya ingat. Misalnya, cerpen “Mencari Ibu,” tentang Lembayung yang
hamil di luar nikah dan berencana menggugurkan kandungannya. Dalam perjalanan
mencari dukun aborsi, dia bertemu seorang anak. Seorang anak yang membuatnya
tidak jadi menggugurkan kandungannya. Juga sebuah cerpen berjudul, “Komitmen,” tentang Meinar dan Praba
yang berkomitmen tidak memasukkan anggota keluarga mereka ke dalam rumah
tangga, termasuk IBU. Jadi, Praba pun harus mengirim ibunya ke panti jompo,
karena Meinar tidak suka dengan kehadiran ibu mertua di dalam rumah tangganya.
Namun, di dalam panti jompo itu, Meinar justru tersadarkan,
“Sibuk? Ah, anak sekarang memang terlalu
sibuk. Demi karier katanya, bisnis dan entah apalagi istilahnya. Ibu teringat
masa lalu, ketika anak-anak masih begitu kecil. Berast tak selalu ada. Sering
kusisihkan sarapanku supaya anak-anak bisa makan lebih kenyang. Apalagi melihat
mereka tumbuh, bersekolah, dan mulai menyusun cita-cita. Hati ini menjadi penuh
harapan. Aku ingat, selalu berdoa setiap malam untuk mereka. Agar Tuhan
membantu mereka mencapai cita-cita, masa depan yang lebih baik, dan senantiasa
bahagia.” (halaman 169)
Setelah
perjuangan seorang ibu yang sedemikian
rupa untuk anak-anaknya, anak-anak justru mengirim ibunya ke panti jompo? Ah,
mata saya membasah.
Masih
ada beberapa cerpen lain yang menyentuh hati. Jangankan lupa siapkan tisu
sebelum membaca kumcer ini, karena ada beberapa kisah yang membuat saya
tersedu-sedu. Kisah sederhana tapi memikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar