![]() |
Sumber: Indiva |
Judul:
Cintai Aku Meski Kutak Sempurna
Penulis:
Ali bin Nayif asy-Syuhud, Muhammad Nabil Kadzim
Penerbit:
Indiva, Sakina
Tahun
terbit: Cetakan Pertama, Oktober 2013
Jumlah
Halaman: 264
ISBN:
978-602-8277-05-1
Pernikahan
adalah mahligai yang diimpikan oleh para jomblo, tetapi benarkah ikatan itu
seindah impian? Jika iya, mengapa belakangan ini kita banyak mendengar kasus-kasus
perceraian yang dilakukan oleh public
figure? Sementara di berita-berita kriminal pun tak kalah hebohnya: istri
membunuh suami, suami memutilasi istri, istri berselingkuh dengan suami
tetangganya, suami sering “jajan” di luar? Mengapa keindahan pernikahan terasa
hanya sekejap saja?
Barangkali
karena tak sempat mencari ilmu, membaca buku-buku bertema pernikahan yang akan
membimbing kita memasuki mahligai cinta. Kita terlalu terburu-buru ingin
mengecap nikmatnya, tanpa menyadari bahwa di balik manisnya juga tersimpan rasa
pahit. Untuk itulah, buku ini hadir, yang ternyata adalah gabungan dari dua
buku yang ditulis oleh dua penulis berbeda. Cintai Aku Meski Tak Sempurna,
dari judulnya saja kita sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa semestinya kita
bisa mencintai pasangan, baik itu kelebihan maupun kekurangannya.
Ironisnya,
memang ekspektasi kita terhadap pasangan hidup sangat tinggi. Seperti
Cinderella yang berharap dapat berjodoh dengan Pangeran. Ternyata setelah
menikah kita baru tahu bahwa pangeran tak sesempurna yang kita bayangkan. Jika
tak mampu berkompromi, hasilnya adalah perceraian, sesuatu yang dibolehkan tapi
sangat dibenci Allah. Mengapa? Karena jika banyak terjadi perceraian, akan
merusak tatanan masyarakat. Akan muncul anak-anak kurang kasih sayang orang tua
akibat orang tuanya mementingkan urusannya masing-masing. Sudah banyak terjadi
walau tak semuanya anak korban perceraian itu berakhlak buruk.
Menu
pertama dari buku ini ditulis oleh Ali
bin Nayif Asy Syuhud, berisi empat poin penting: jalan menuju kebahagiaan
rumah tangga, dalil yang menuntun Anda menuju kebahagiaan rumah tangga,
bagaimana cara membahagiakan istri Anda, dan bagaimana cara membahagiakan suami
Anda. Membaca judul-judulnya saja kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa
bahasan penulis lebih kepada prakteknya, dan berdasarkan pengalaman
sehari-hari.
Penulis
banyak memberikan saran kepada suami istri agar menghindari hal-hal yang dapat
memancing percekcokan di dalam rumah tangga, misanya: jangan membawa masalah
pekerjaan ke dalam rumah, jangan menjelekkan suami, jangan membangkitkan emosi
suami, dan sebagainya. Kita diberikan arahan-arahan perbuatan yang menyenangkan
pasangan. Beberapa kasus yang disajikan, ternyata pernah saya lakukan juga
(sebagai istri). Contohnya:
“Ada lagi seorang istri yang selalu
menyebabkan ketegangan urat syaraf di mobil, dan dia tidak membiarkan suaminya
menyetir dengan tenang.” (halaman 29).
Aiiih…. Kok bisa ya penulisnya mengambil kasus yang mirip dengan saya. Jadi
nggak enak hati nih saya. Memang, saya sering ngerecokin suami yang sedang
nyetir. Biasanya karena anak-anak rewel dan saya ikut berteriak. Alhasil, suami
nyaris menabrak orang atau mobil orang lain, lho.
Untuk
suami, ada juga nih sindiran penulis terhadap kebiasaan suami yang membuat
istri kesal, contohnya: “Seorang suami
yang meninggalkan kaus kakinya berserakan di lantai atau melemparkan handuknya
yang masih basah di atas kasur tempat tidur.” (halaman 26). Nah, suami saya punya kebiasaan seperti itu sehingga
kerap membuat saya kesal.
Di
poin kedua, penulis memberikan tips memilih pasangan hidup, diantaranya yang
memiliki kualitas agama baik, pecinta dan berpotensi melahirkan banyak anak,
ahli ibadah, lemah lembut, sabar, menjaga diri, dan sebagainya. Untuk poin ini,
sudah sering dibahas oleh penulis buku-buku pernikahan.
Penulis
memberikan saran-sarannya secara gamblang dan tidak bertele-tele, tapi
penggunaan kata “jangan” yang terus-menerus membuat saya agak terganggu.
Seperti anak kecil yang sedang dinasihati oleh penulis, “jangan ini, jangan
itu, jangan begini, jangan begitu…..” Saya suka saran dari penulis, bahwa
menikah itu untuk mencari pahala Allah. Jadi, perlakuan kita kepada pasangan
diniatkan untuk mencari pahala, sehingga seberat apa pun, rasanya akan ringan. Misalnya,
seorang suami yang wajib mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Niatkan
untuk mencari pahala Allah, niscaya tidak akan terasa berat.
“Sesungguhnya kamu tidak menafkahkan satu
nafkah dengan mencari keridhaan Allah dengannya, kecuali kamu akan diganjar
pahala karenanya, sampai satu suapan makanan yang engkau masukkan ke dalam
mulut istrimu.” (Hadits muttafaq’alaih).
Begitu
juga, seorang istri yang harus melayani suaminya di ranjang padahal sedang
tidak bergairah, niatkan untuk mencari pahala Allah. Niscaya, pekerjaan itu
akan menjadi ringan. Saya pernah mendengar berita seorang suami membunuh
istrinya gara-gara sang istri sudah empat kali menolak berhubungan badan dengan
suaminya. Itulah akibat yang harus diterima sang istri, jadi tidak murni
kesalahan suaminya semata. Jangankan menolak empat kali, menolak sekali saja
sudah dikutuk malaikat. Sebab, kewajiban istri adalah melayani suaminya. Kalau
tidak mau, jangan menikah. Itu sudah konsekuensi pernikahan. Suami juga
memiliki batas toleransi dalam memahami istri, apalagi kalau istri tidak punya
kendala apa pun untuk melayani suaminya.
Penulis
memberikan saran-sarannya secara seimbang, ditujukan untuk suami dan istri. Tak
seperti buku pernikahan lain yang lebih banyak menuntut istri agar menyenangkan
suami, di buku ini, suami juga dituntut agar lebih memahami dan menyenangkan
istri. Misalnya, temani istri dalam kegiatan sosial dan jangan memaksakan
pendapat kepada istri. Poin tiga dan poin empat, penting dibaca oleh suami dan
istri karena isinya adalah cara-cara menyenangkan pasangannya. Ah, bila saja
semua rumah tangga mempraktekkan saran penulis, pasti tidak ada lagi deh
percekcokan dalam rumah tangga. Apalagi sampai terjadi perceraian.
Menu
kedua ditulis oleh Muhammad Nabil Kadzim. Isinya lebih teoritis. Kok saya
melihat ada kesalahan penempatan menu, ya? Harusnya menu kedua ini disajikan
lebih dulu. Ini seperti sedang makan di restoran. Dessertnya dulu, baru makan
besarnya. Menu kedua dimulai dengan arti dan hakikat pernikahan, faktor yang
mendorong terjadinya pernikahan, macam-macam pernikahan, dan sebagainya. Jadi
seperti sedang mengikuti kuliah agama. Lalu, kemudian dilanjutkan dengan tata
cara meminang, akad nikah, hak dan kewajiban suami istri, sampai tata cara
malam pengantin. Saya rasa bahasannya sudah banyak ditemui di buku-buku
pernikahan sejenis. Kecuali di bagian akhir, ada bahasan yang berhubungan
dengan judul bukunya. Salah satunya, Seni Menyelesaikan Masalah.
Di
dalam setiap rumah tangga, pasti ada masalahnya. Tidak mungkin ada rumah tangga
yang adem ayem terus. Di situlah tantangannya, bagaimana suami istri dapat
menyelesaikan masalah rumah tangganya tanpa harus berpisah.
Akhir kata,
buku ini wajib dijadikan referensi bacaan semua orang yang mau menikah ataupun
sudah menikah, dan ingin menggapai rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warrahmah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar