Minggu, 14 September 2014

Nomadic Heart: Mengambil Hikmah dari Setiap Perjalanan


Judul: Nomadic Heart
Penulis: Ariy
Penerbit: B-First (imprint Bentang Pustaka)
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Februari 2013
Jumlah halaman: xiv + 174
ISBN: 978-602-8864-72-5

“Kau bisa meninggalkan masa lalu, berlari jauh darinya. Atau, kau bisa memasukkan masa lalumu ke dalam kotak besi baja, menguncinya, membuang kotak itu ke palung laut terdalam, dan melontarkan kuncinya ke belahan dunia lain. Tetapi, bisa apa kau pada masa lalu yang mengalir di pembuluh darahmu?”


Sepertinya saya salah membeli buku. Saya kira ini semacam novel travelling, gara-gara membaca blurb di belakang buku. Saya belum mengetahui informasi tentang buku ini, sampai seorang teman menawarkan buku-buku dengan diskon lumayan. Pilihan saya jatuh pada buku karena judulnya yang berbeda dengan buku-buku kebanyakan. Lalu, saya cari informasinya melalui twitter, dan ternyata hanya ada sedikit informasi. Bak membeli kucing dalam karung, buku ini pun jatuh ke tangan saya.

Setelah sampai di rumah, ternyata buku ini sejenis buku pengalaman travelling dari penulisnya yang juga baru saya kenal. Barangkali saya yang kurang pergaulan karena baru kenal. Sebenarnya, saya tidak terlalu suka membaca buku-buku traveling. Bahkan, saya punya buku pengalaman traveling yang ditulis oleh travel writer ternama, hasil dari hadiah lomba, yang hanya saya baca sekilas dan melompat-lompat. Baiklah, karena saya sedang haus membaca, saya paksakan membaca buku ini.

Oh, tidaaaak! Kali ini berbeda. Pengalaman traveling penulisnya ditulis dengan diksi memikat, tak sekadar seperti orang yang bercerita dengan bahasa ceplas-ceplos. Penulis juga mengambil hikmah dari setiap perjalanan yang dilaluinya, juga orang-orang yang bertemu dengannya. Saya pun sukses menghabiskan membaca buku ini dalam semalam, walau tak benar-benar semalam karena saya kan tidur juga.

“Dalam setiap perjalanan itu, kami memunguti pelajaran, baik antarkami para travelers maupun dari lingkungan yang kami datangi. Dunia itu sumber persoalan, tapi dari memulai menjelajahi setiap jengkal dunia, saya menemukan lebih banyak sumber-sumber kebaikan. Benar kata orang, traveling adalah persoalan proses dan bukan lagi melulu destinasi. Proses memperkaya hati.” (halaman xi)

Ariy memulai ceritanya dari keputusannya resign (mengundurkan diri dari kantor). Sebelumnya ia bekerja sebagai jurnalis, tapi hatinya merasa tidak nyaman bekerja di bawah tekanan. Saat masih bekerja, kadang-kadang ia melakukan traveling dengan mengajukan cuti kantor. Akhirnya, ia memutuskan untuk benar-benar menjadi traveler. Bekerja hanya untuk mengumpulkan uang yang akan digunakannya untuk traveling.

Di Chiang Mai, Ariy bertemu dengan Pop, seorang teman asli Thailand yang dikenalnya di situs travelers dunia. Rupanya, para backpacker saling menjalin hubungan dengan sesama backpacker di seluruh dunia melalui jejaring sosial. Di sana, mereka akan memberitahukan destinasi berikutnya, misalnya Thailand, lalu sesama travelers yang berasal dari Thailand akan menawarkan rumahnya sebagai tempat menginap gratis. Dengan demikian, biaya tempat tinggal bisa diminimalisir. Begitulah saat Ariy berkenalan dengan Pop. Pop menawarkan Ariy untuk tinggal di tempatnya. Tak disangka, ternyata Pop adalah seorang penyanyi terkenal di Thailand! Orangnya tampan (ada fotonya), tapi tidak banyak tersenyum. Pantas saja sepanjang perjalanan, Pop selalu menundukkan wajah. Pop menjadi travelers karena ingin bepergian ke tempat di mana tak ada seorang pun mengenalnya.

Selain Pop, Ariy juga berkenalan dengan  Khum, adik Pop. Dan ternyata, Khum bukanlah adik Pop, melainkan seorang pendatang illegal dari Myanmar. Kondisi perpolitikan di Myanmar yang tak bagus membuat banyak warganya melarikan diri ke Thailand. Tapi kalau ketahuan ya ditangkap dan dikembalikan ke Myanmar. Ironisnya, bila masuk kembali ke Myanmar, mereka akan dipenjara atau dihukum mati karena dituduh berkhianat. Duh, di dunia demokrasi, ternyata masih ada pemerintahan kejam seperti itu. Khum pun menjadi korban. Ditangkap oleh tentara Thailand adan dikembalikan ke Myanmar.

Selain sering menumpang di rumah traveler lain, rumah Ariy di Solo pun sering ditumpangi oleh traveler yang singgah ke Solo. Syaratnya, hanya berlaku untuk satu orang traveler. Sayangnya, ada saja traveler yang tidak mengindahkan syarat itu. Diantara traveler yang menginap di rumah Ariy, yang paling berkesan adalah Sven, pemuda dari Swiss yang pribadinya sangat baik. Dia bahkan dekat dengan Ibuk, panggilan untuk ibunda Ariy. Bahkan disebut pula sebagai “A Son from different Father and Mother.” Sven sangat pengertian dan tidak mengeluh, walau harus menginap di rumah sederhana. Dia bahkan memberi hadiah macam-macam untuk keluarga Ariy.

Yang menggelikan ada kisah “Duo Gembel,” traveler gembel yang menginap di rumah Ariy. Sebenarnya mereka punya pekerjaan mapan, tapi memang sengaja ingin bepergian super irit, sampai-sampai ingin beli makan seharga Rp 2.000 per porsi!

Masih banyak lagi cerita unik, lucu, tapi mengandung hikmah dari setiap perjalanan traveling Ariy. Membuka wawasan saya, walaupun justru tidak banyak mengeksplor kota-kota yang disinggahinya. Sepertinya untuk buku ini memang hanya berfokus pada karakter orang-orang yang melakukan perjalanan. Kalau ada kesempatan, saya mau baca buku Ariy lagi. Sangat menginspirasi!





1 komentar:

  1. Wah, sama mbak Ella, saya juga kurang suka membaca buku-buku traveller. Blog-blog traveller kadang suka lihat sepintas saja, gak baca sampai lama. Ada beberapa sih, yang jika ditulis dengan essai, seperti blognya Marischa prudence, nah itu aku suka, hehee...

    BalasHapus