Penulis:
Windry Ramadhina
Penerbit:
Gagas Media
Tahun
Terbit: Mei, 2012
Jumlah
Halaman: 312
ISBN: 978979805623
Setelah
Interlude, saya jadi jatuh cinta sama karya Windry. Gaya bahasanya memikat
dan membuat ingin terus membaca. Saya baru baca tiga bukunya: London,
Interlude, dan Memori. Untuk London, perkecualian ya, karena saya baru jatuh
cinta setelah halaman terakhir. Yap, penuturannya lambat banget sehingga malas
membacanya. Berbeda dengan Interlude dan Memori yang hanya membutuhkan beberapa
jam saja untuk bisa selesai di halaman terakhir.
Kisahnya
bercerita tentang Mahoni, seorang arsitek yang bekerja di Virginia, Amerika
Serikat. Menyimpan kebencian teramat sangat kepada ayahnya yang menceraikan
ibunya, Mae, dan menikahi Grace. Mahoni tak pernah bertemu lagi dengan ayahnya
sejak diwisuda, sampai ia menerima telepon dari Om Ranu, adik ayahnya, bahwa
ayahnya dan Grace meninggal karena kecelakaan. Mahoni pun terpaksa pulang ke rumah. Ia kira akan berada di Jakarta
hanya dua hari, tak tahunya Om Ranu memintanya mengurus Sigi, anak ayahnya dari
Grace, yang berusia 16 tahun, setidaknya sampai dua bulan.
Mahoni,
mulanya tak mau karena ia masih amat membenci Grace. Walaupun Sigi adalah anak
ayahnya, yang berarti adiknya juga—lain ibu—tetap saja Mahoni belum bisa
memaafkan kesalahan ayahnya. Mae bahkan masih terus terpuruk dalam kesedihan
karena diceraikan. Sejak mereka masih bersama, Mahoni tak pernah merasakan
kehadiran sebuah keluarga, karena ayahnya sibuk sebagai perajin kayu dan ibunya
sibuk menulis novel di kamar tersendiri. Saya jadi ingat penulis novel yang
ambisius dan hanya mementingkan karir novelisnya saja. Untunglah, itu bukan
saya :P
Om
Ranu memohon, setidaknya untuk dua bulan, karena ia belum bisa merawat Sigi.
Istrinya sendiri masih harus ditunggui di ICU. Mahoni pun terpaksa menerima
perjanjian itu. Sebuah kebetulan, ia bertemu lagi dengan Simon, mantan pacarnya
waktu kuliah di UI, jurusan arsitektur. Sayangnya, Simon sudah punya pacar—Sofia.
Perih sekali hati Mahoni, apalagi kemudian ia dikontrak oleh Simon dan Sofia
sebagai arsitek di kantor MOSS. Ini yang membuat hubungan Mahoni dengan Simon
kembali dekat.
Berbeda
dengan novel Windry yang lain, Memori lebih mengetengahkan cerita tentang
kehilangan keluarga dan penerimaan anggota keluarga yang dibenci. Mahoni dipaksa
untuk menerima Sigi, tapi lama-lama ia bisa menerima Sigi. Ia tersentuh oleh
perhatian-perhatian Sigi yang tulus, tanpa ada kebencian meski mereka berasal
dari dua ibu yang berbeda. Latar belakang Windry sebagai arsitek pun tertuang
di dalam novel ini, yang cukup memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai
dunia arsitek.
Untuk
latihan menulis, novel ini memang bisa dijadikan acuan. Saya pun jadi belajar
mengolah diksi lebih baik lagi dari karya Windry.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar