Judul:
Persiden
Penulis:
Wisran Hadi
Penerbit:
Bentang Pustaka
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, Mei 2013
Jumlah
Halaman: xvi + 380
ISBN:
978-602-8811-39-2
Tertarik
membeli buku ini karena label yang tertulis di kovernya: Novel Unggulan DKJ
2010. Ceritanya, saya mau belajar menulis novel sastra, walaupun saya tahu
kebanyakan novel genre sastra sulit dicerna oleh otak saya. Ternyata benar.
Saya tak sanggup menyelesaikan membaca novel ini, karena baru sampai bagian 3
setelah bukunya berbulan-bulan lalu saya beli dengan harga obral. Ah, sayang
sekali, padahal baru setahun terbit, sudah diobral. Setelah dibeli pun, saya
sulit membacanya. Sebagai penulis, saya lebih suka jika novel yang saya tulis
bisa selesai dibaca dalam beberapa jam saja.
Persiden,
apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata itu? Kepala negara? Kalau di Indonesia, sebutan
itu untuk sosok hitam kurus dari Solo yang baru saja terpilih sebagai pemimpin
negara ini, hehehe…. Saya kira juga begitu, ternyata bukan. Persiden adalah
nama sebuah mall yang terletak di persimpangan, kemudian disebut dengan nama
Simpang Persiden. Nama mall itu tadinya adalah Presiden, tapi orang-orang
menyebutnya Persiden. Layaknya sebuah mall, segala macam hiburan ada di situ.
Tak
jauh dari Persiden, ada rumah adat khas Minang, yaitu Rumah Bagonjong, yang
masih ditempati oleh anak cucu nenek dari nenek, pemilik rumah itu. Di sekitar
rumah itu, ada rumah-rumah lain yang tak kalah tua dan tak direnovasi. Masalah muncul,
karena akan ada pelebaran jalan yang membuat rumah itu harus digusur atau
direlokasi, tetapi ternyata sertifikat tanahnya telah digadaikan oleh
satu-satunya anak perempuan pemilik rumah, Cik Inan. Belum lagi ada masalah
pembunuhan, pemerkosaan, dan perebutan tanah di antara anak keturunan.
Apa yang
membuat saya sulit melahap novel ini sampai habis? Barangkali ini seperti yang
dikatakan Bernard Batubara (penulis, editor) dalam kuliah tweetnya, saat ini
saya belum memiliki kapasitas otak yang memadai untuk mencerna tuturan Wisran
Hadi, sastrawan yang telah melahirkan sejumlah karya berkualitas dengan
diraihnya berbagai penghargaan sastra: Sea Writers Award 2000, Anugerah FTI
Award 2010, Anugerah Kebudayaan dari Presiden RI 2004, dan Hadiah Seni dari
Presiden RI 2004. Penulis telah meninggal dunia dan novel ini diterbitkan untuk
mengenang kepergian beliau.
Jujur,
saya baru mengetahui profil beliau dari novel ini. Sebagaimana novel sastra lain,
narasinya sangat mendominasi. Penulis memposisikan diri sebagai narator yang
seakan-akan sedang bercerita tentang konflik di seputar Persiden dan Rumah
Bagonjong: dua bangunan yang saling bertolak belakang. Yang satu adalah wujud
modernisasi, satunya adalah warisan adat. Apakah rumah bagonjong berhasil
dipertahankan? Saya tidak tahu, karena belum selesai membacanya dan tidak tahu
apakah saya bakal membacanya lagi. Barangkali nanti jika otak saya sudah
berkembang.
Setelah
mencari di Wikipedia, ternyata rumah bagonjong tak lain tak bukan adalah rumah
gadang! Halaaah… penulis memakai kata yang kurang umum. Kalau rumah gadang,
saya tahu sejak masih SD. Rumahnya besar, dan memang digunakan oleh seluruh
keluarga besar. Seandainya, novel ini ditulis dengan gaya remaja, pasti
generasi muda seperti saya akan lebih mudah memahami pesan yang disampaikan,
yaitu tradisi Minangkabau beserta rumah gadangnya.
![]() |
Rumah Bagonjong |
ditulis lagi sama mbak leyla aja hehe..
BalasHapus