Kamis, 23 Oktober 2014

Remember Dhaka


Judul: Remember Dhaka
Penulis: Dy Lunaly
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Januari 2013
Jumlah Halaman: viii + 204
ISBN: 978-602-9397-64-2

Sebelum membeli novel ini, saya sudah mencaritahu apakah ini novel yang bagus? Bukan apa-apa, nama penulisnya baru saya denger, saya kan nggak mau salah beli juga. Takut nggak kebaca nanti. Genrenya yang teenlit saja sudah bikin saya mikir panjang, berhubung sekarang saya udah nggak remaja. Tapi, saya penasaran kayak apa novel remaja zaman sekarang? Berdasarkan komentar orang-orang, novel ini cukup bagus karena mengangkat isu sosial. Wuiih… jadi penasaraan….


Dhaka, apa itu? Sebelum membaca novel ini, saya juga nggak tahu Dhaka itu di mana, bhwahahaha…. Dhaka memang bukan kota yang terkenal, malahan kota ini termasuk miskin dan kumuh. Dhaka adalah ibukota Bangladesh! Unik juga nih, karena penulisnya mengangkat sebuah kota yang tidak dikenal. Kalau settingnya London, Paris, Roma, Italia, kita semua udah biasa ya baca di novel-novel, tapi… Dhaka?

Pembatas bukunya cantik, berbentuk gajah, hewan yang lazim ada di Dhaka. Saking cantiknya, akhirnya hilang deh dimainin anak-anak saya, hiks…. Disayang-sayang malah hilang. Lalu, Remember Dhaka ini tentang apa? Sebentar ya, saya ubek-ubek memori dulu, karena saya sempat mandeg membaca novel ini jadi harus refresh.

Arjuna, seorang cowok yang badung, anak orang kaya, dan dia badung karena kurang perhatian. Tampak klise, bukan? Nggak masalah, asal penulis bisa menceritakannya dari sudut pandang lain. Setting Dhaka saja sudah menjadi daya tarik. Iyap, Agni, kakak Arjuna yang akan menikah, menantang adiknya itu untuk sebulan menjadi sukarelawan di sebuah sekolah di Dhaka. Arjuna yang nilai-nilainya anjlok sehingga seluruh kartu kredinya ditarik orang tuanya pun terpaksa menyanggupi. Agni pernah menjadi sukarelawan juga di sana. Oke, Arjuna berangkat ke Dhaka. Agni menyuruhnya menemui Emma, yang ternyata seorang gadis imut-imut dan membuat Arjuna naksir. Apalagi Emma seorang gadis yang “komplit,” cantik, berjiwa sosial, baik hati, dan ramah. Meski awalnya Arjuna tak menyukai hari-harinya di Dhaka, menjadi pengajar sukarelawan di sebuah sekolah, lama-lama ia mengerti mengapa ia harus berbagi. Emma mengajarinya banyak hal, membuatnya mengerti alasan Agni berubah lebih baik sepulang dari Dhaka.

Secara pesan moral, novel ini memang bagus. Mengajarkan arti dan semangat berbagi kepada remaja, sasaran pembaca novel ini. Apa yang membuat saya mandeg membacanya? BAHASA INGGRISNYA!!!! Ya ampuuun! Ini novel Indonesia atau setengah Inggris? Boleh aja sih masukin kata-kata bahasa Inggris, tapi ya nggak sebanyak itu keleeeusss…. Jadi, gemes bacanya. Dulu  banget, saya pernah nulis novel berjudul Rara, the Trouble Maker. Inggris? Iyaaaah! Sub judulnya juga  berbahasa Inggris semua dan saya sukses dikritik penulis senior!

Padahal, saya cuman sok-sok-an make sub judul bahasa Inggris. Isinya mah bahasa Indonesia, karena saya nggak begitu pintar berbahasa Inggris. Saat itu, memang sih yang terasa adalah bahasa Inggris itu lebih keren daripada bahasa Indonesia. Ternyata ada novel yang lebih parah daripada novel saya. Hamburan kata-kata berbahasa Inggris sangat mendominasi si Remember Dhaka. Nggak hanya judulnya yang Inggris, sub judul juga Inggris, kata-kata Arjuna, Agni, dan bule juga didominasi bahasa Inggris.

Novel yang ditulis dengan sudut pandang orang pertama “Arjuna, Aku” ini pada bagian narasi Arjuna pun dikuasai oleh bahasa Inggris. Gilee… canggih juga penulisnya. Ini contohnya:

No more school! No need to wake up early in the morning so I can party all night along and no need to do homework. Duh, like I ever did the homework. (halaman 2)

Lalu, obrolan antara Agni dan Arjuna pun dikuasai oleh bahasa Inggris, yah mungkin mereka dididik dengan metode bilingual sehingga bahasa campur-campur, tapi yang baca buku ini kan  belum tentu….

“Kak, yang penting aku lulus kan? Lagian kamu tahu, I am not the A student. Study is not my thing! School is just another playground for me. Tempat bermain!” (halaman 5)

“Money can’t buy anything. Money can’t buy the future, you know why? Because the future made by every single tear and sweat. Future is what path you choose today! You should learn it!” (halaman 6)

Dan tentu saja masih banyak lageeeh… masa saya copas di sini, sama aja ngebocorin isi ceritanya duunkkk….

Si Arjuna ini suka menulis di blog juga, ternyata. Blognya berjudul “Speak Up.” Salah satu postingan blog Arjuna yang menarik adalah informasi mengenai Budget Airlines (bahasa Inggris, lagii!). Maksudnya, penerbangan dengan biaya hemat. Setidaknya saya jadi tahu bahwa penerbangan murah itu ternyata  ya nggak murah-murah amat, karena segala macam pelayanan ditiadakan, sehingga yang didapat penumpang hanya kursi pesawat. Pantesan murah.

Saya pun jadi tahu tentang Kota Kolkata, yang menyimpan keindahan di sudut-sudut kota (kirain kumuh juga!). Ada Victorial Memorial House, Vidyasagar Setu, Maidan, Outram Ghat,  dan Stasiun Howrah yang lumayan modern. Walaupun penjelasan penulisnya bukan seperti kisah fiksi, melainkan bak penulis feature (traveler) dan buku petunjuk wisata, ya lumayanlah.

Sayangnya, di beberapa postingan blog Arjuna juga didominasi oleh bahasa Inggris. Seperti yang satu ini nih:

S-I-N-C-E-R-E
Do you ever ask to yourself what is sincere?
The truth is I never asked what the meaning of sincere before, not till today. Not till I met the woman I called Amma Sonia, the mother of my students. I met her yesterday bla bla bla…. (halaman 103)

Romantisme antara Emma dan Arjuna yang mestinya romantis, kurang tergarap dengan baik oleh penulis, apalagi ditambah dengan kalimat-kalimat menggurui dari Emma. Memang, sih semua tokohnya itu guru, jadi wajar deh kalau omongannya banyak nasihatnya. Si penulis juga menggurui melalui narasi-narasinya.

“Ikhlas itu mudah, sederhana, tidak membutuhkan banyak hal hanya membutuhkan kesadaran bahwa bagaimanapun itu adalah kenyataan yang harus kita hadapi, tidak ada pilihan  lain. Kenyataan tidak akan pernah berubah. Tapi, satu yang harus diingat, ikhlas tidak hanya dieja dengan bibir semata, tapi dengan hati. Sayangnya, itu susah, tapi bukannya tidak mungkin,” (halaman 102)

Yes, caring for the others is like a drop of water. It will make ripples troughout the entire pond. Kebaikan menyebar dan akan terus menyebar. Dan, yang paling penting itu bertahan dan akan menjadi bagian dari orang itu. Aku bukannya bilang uang itu nggak penting, tapi uang tidak selalu merupakan cara menolong yang terbaik. Selain itu, juga akan membuat orang bergantung kepada orang lain. Caring makes us close to the other, and it stand for forever.” (halaman 151)

Dan masih banyak lagi….          

Yah, walaupun kalimat-kalimat bijak itu disampaikan dengan cara menggurui, ada kok yang berkesan di hati saya. Ini nih:

“Juna, hidup itu bukan perlombaan. Bukan siapa yang duluan sampai ke garis finis, tapi tentang bagaimana kita menjalani kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Orang lain bukan pesaing kita. Pesaing kita cuma satu, diri kita sendiri.” (halaman 195)

Seandainya novel ini tidak banyak menggunakan bahasa Inggris, kedekatan antara Arjuna dan Emma lebih terjalin, dan nasihat-nasihatnya tidak menggurui, tentulah novel ini akan sangat cantik. Yakinlah, bahasa Indonesia yang terstruktur itu lebih indah dibaca daripada bahasa Inggris. Novel ini membutuhkan sentuhan penerjemah.



3 komentar:

  1. hihi :D jadi inget buku Ika Natasya, bun.
    Campur2 bahasanya, tapi kok banyak yang suka ya? -.-a

    BalasHapus
  2. Novel sebelum ini saya juga gak habis baca karena banyak b inggrisnya mba. sebelum novel itu, saya suka, tipis dan resensinya sempat dimuat di sabili. penampakannya di link berikut :)

    http://ridhodanbukunya.wordpress.com/2013/01/30/01-resensi-buku-2013-majalah-sabili-edisi-januari-odha-bukan-sampah-masyarakat/

    BalasHapus