Judul:
Remember Dhaka
Penulis:
Dy Lunaly
Penerbit:
Bentang Pustaka
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, Januari 2013
Jumlah
Halaman: viii + 204
ISBN:
978-602-9397-64-2
Sebelum
membeli novel ini, saya sudah mencaritahu apakah ini novel yang bagus? Bukan
apa-apa, nama penulisnya baru saya denger, saya kan nggak mau salah beli juga.
Takut nggak kebaca nanti. Genrenya yang teenlit saja sudah bikin saya mikir
panjang, berhubung sekarang saya udah nggak remaja. Tapi, saya penasaran kayak
apa novel remaja zaman sekarang? Berdasarkan komentar orang-orang, novel ini
cukup bagus karena mengangkat isu sosial. Wuiih… jadi penasaraan….
Dhaka,
apa itu? Sebelum membaca novel ini, saya juga nggak tahu Dhaka itu di mana,
bhwahahaha…. Dhaka memang bukan kota yang terkenal, malahan kota ini termasuk
miskin dan kumuh. Dhaka adalah ibukota Bangladesh! Unik juga nih, karena
penulisnya mengangkat sebuah kota yang tidak dikenal. Kalau settingnya London,
Paris, Roma, Italia, kita semua udah biasa ya baca di novel-novel, tapi… Dhaka?
Pembatas
bukunya cantik, berbentuk gajah, hewan yang lazim ada di Dhaka. Saking cantiknya,
akhirnya hilang deh dimainin anak-anak saya, hiks…. Disayang-sayang malah
hilang. Lalu, Remember Dhaka ini tentang apa? Sebentar ya, saya ubek-ubek
memori dulu, karena saya sempat mandeg membaca novel ini jadi harus refresh.
Arjuna,
seorang cowok yang badung, anak orang kaya, dan dia badung karena kurang
perhatian. Tampak klise, bukan? Nggak masalah, asal penulis bisa
menceritakannya dari sudut pandang lain. Setting Dhaka saja sudah menjadi daya
tarik. Iyap, Agni, kakak Arjuna yang akan menikah, menantang adiknya itu untuk
sebulan menjadi sukarelawan di sebuah sekolah di Dhaka. Arjuna yang
nilai-nilainya anjlok sehingga seluruh kartu kredinya ditarik orang tuanya pun
terpaksa menyanggupi. Agni pernah menjadi sukarelawan juga di sana. Oke, Arjuna
berangkat ke Dhaka. Agni menyuruhnya menemui Emma, yang ternyata seorang gadis
imut-imut dan membuat Arjuna naksir. Apalagi Emma seorang gadis yang “komplit,”
cantik, berjiwa sosial, baik hati, dan ramah. Meski awalnya Arjuna tak menyukai
hari-harinya di Dhaka, menjadi pengajar sukarelawan di sebuah sekolah,
lama-lama ia mengerti mengapa ia harus berbagi. Emma mengajarinya banyak hal,
membuatnya mengerti alasan Agni berubah lebih baik sepulang dari Dhaka.
Secara
pesan moral, novel ini memang bagus. Mengajarkan arti dan semangat berbagi
kepada remaja, sasaran pembaca novel ini. Apa yang membuat saya mandeg membacanya?
BAHASA INGGRISNYA!!!! Ya ampuuun! Ini novel Indonesia atau setengah Inggris? Boleh
aja sih masukin kata-kata bahasa Inggris, tapi ya nggak sebanyak itu
keleeeusss…. Jadi, gemes bacanya. Dulu
banget, saya pernah nulis novel berjudul Rara, the Trouble Maker. Inggris? Iyaaaah! Sub judulnya juga berbahasa Inggris semua dan saya sukses
dikritik penulis senior!
Padahal,
saya cuman sok-sok-an make sub judul bahasa Inggris. Isinya mah bahasa
Indonesia, karena saya nggak begitu pintar berbahasa Inggris. Saat itu, memang
sih yang terasa adalah bahasa Inggris itu lebih keren daripada bahasa
Indonesia. Ternyata ada novel yang lebih parah daripada novel saya. Hamburan
kata-kata berbahasa Inggris sangat mendominasi si Remember Dhaka. Nggak hanya
judulnya yang Inggris, sub judul juga Inggris, kata-kata Arjuna, Agni, dan bule
juga didominasi bahasa Inggris.
Novel
yang ditulis dengan sudut pandang orang pertama “Arjuna, Aku” ini pada bagian
narasi Arjuna pun dikuasai oleh bahasa Inggris. Gilee… canggih juga penulisnya.
Ini contohnya:
No more school! No need to wake up early in
the morning so I can party all night along and no need to do homework. Duh,
like I ever did the homework. (halaman
2)
Lalu,
obrolan antara Agni dan Arjuna pun dikuasai oleh bahasa Inggris, yah mungkin
mereka dididik dengan metode bilingual sehingga bahasa campur-campur, tapi yang
baca buku ini kan belum tentu….
“Kak,
yang penting aku lulus kan? Lagian kamu tahu, I am not the A student. Study is not my thing! School is just another
playground for me. Tempat bermain!” (halaman
5)
“Money can’t buy anything. Money can’t buy
the future, you know why? Because the future made by every single tear and
sweat. Future is what path you choose today! You should learn it!” (halaman 6)
Dan tentu
saja masih banyak lageeeh… masa saya copas di sini, sama aja ngebocorin isi
ceritanya duunkkk….
Si
Arjuna ini suka menulis di blog juga, ternyata. Blognya berjudul “Speak Up.”
Salah satu postingan blog Arjuna yang menarik adalah informasi mengenai Budget Airlines (bahasa Inggris,
lagii!). Maksudnya, penerbangan dengan biaya hemat. Setidaknya saya jadi tahu
bahwa penerbangan murah itu ternyata ya
nggak murah-murah amat, karena segala macam pelayanan ditiadakan, sehingga yang
didapat penumpang hanya kursi pesawat. Pantesan murah.
Saya
pun jadi tahu tentang Kota Kolkata, yang menyimpan keindahan di sudut-sudut
kota (kirain kumuh juga!). Ada Victorial Memorial House, Vidyasagar Setu,
Maidan, Outram Ghat, dan Stasiun Howrah
yang lumayan modern. Walaupun penjelasan penulisnya bukan seperti kisah fiksi,
melainkan bak penulis feature (traveler)
dan buku petunjuk wisata, ya lumayanlah.
Sayangnya,
di beberapa postingan blog Arjuna juga didominasi oleh bahasa Inggris. Seperti yang
satu ini nih:
S-I-N-C-E-R-E
Do you ever ask to yourself what is sincere?
The truth is I never asked what the meaning
of sincere before, not till today. Not till I met the woman I called Amma
Sonia, the mother of my students. I met her yesterday bla bla bla…. (halaman 103)
Romantisme
antara Emma dan Arjuna yang mestinya romantis, kurang tergarap dengan baik oleh
penulis, apalagi ditambah dengan kalimat-kalimat menggurui dari Emma. Memang,
sih semua tokohnya itu guru, jadi wajar deh kalau omongannya banyak nasihatnya.
Si penulis juga menggurui melalui narasi-narasinya.
“Ikhlas
itu mudah, sederhana, tidak membutuhkan banyak hal hanya membutuhkan kesadaran
bahwa bagaimanapun itu adalah kenyataan yang harus kita hadapi, tidak ada
pilihan lain. Kenyataan tidak akan
pernah berubah. Tapi, satu yang harus diingat, ikhlas tidak hanya dieja dengan
bibir semata, tapi dengan hati. Sayangnya, itu susah, tapi bukannya tidak
mungkin,” (halaman 102)
“Yes, caring for the others is like a drop of
water. It will make ripples troughout the entire pond. Kebaikan menyebar
dan akan terus menyebar. Dan, yang paling penting itu bertahan dan akan menjadi
bagian dari orang itu. Aku bukannya bilang uang itu nggak penting, tapi uang
tidak selalu merupakan cara menolong yang terbaik. Selain itu, juga akan
membuat orang bergantung kepada orang lain. Caring
makes us close to the other, and it stand for forever.” (halaman 151)
Dan masih
banyak lagi….
Yah,
walaupun kalimat-kalimat bijak itu disampaikan dengan cara menggurui, ada kok
yang berkesan di hati saya. Ini nih:
“Juna,
hidup itu bukan perlombaan. Bukan siapa yang duluan sampai ke garis finis, tapi
tentang bagaimana kita menjalani kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Orang lain
bukan pesaing kita. Pesaing kita cuma satu, diri kita sendiri.” (halaman 195)
Seandainya
novel ini tidak banyak menggunakan bahasa Inggris, kedekatan antara Arjuna dan
Emma lebih terjalin, dan nasihat-nasihatnya tidak menggurui, tentulah novel ini
akan sangat cantik. Yakinlah, bahasa Indonesia yang terstruktur itu lebih indah
dibaca daripada bahasa Inggris. Novel ini membutuhkan sentuhan penerjemah.
Test. .kok komenku ilang?
BalasHapushihi :D jadi inget buku Ika Natasya, bun.
BalasHapusCampur2 bahasanya, tapi kok banyak yang suka ya? -.-a
Novel sebelum ini saya juga gak habis baca karena banyak b inggrisnya mba. sebelum novel itu, saya suka, tipis dan resensinya sempat dimuat di sabili. penampakannya di link berikut :)
BalasHapushttp://ridhodanbukunya.wordpress.com/2013/01/30/01-resensi-buku-2013-majalah-sabili-edisi-januari-odha-bukan-sampah-masyarakat/