Judul:
On a Journey
Penulis:
Desi Puspitasari
Penerbit:
Pustaka Populer, Bentang Pustaka
Tahun Terbit:
Cetakan Pertama, Januari 2013
Jumlah
Halaman: 266
ISBN:
978-602-7888-01-2
Kalau
kamu patah hati, apa yang kamu lakukan? Patah hati kedengarannya sepele, tapi
tidak buat orang yang mengalaminya. Ada
yang hanya menangis, mengurung diri di kamar, meratap, berteriak-teriak,
dan yang lebih parah, bunuh diri. Tidak percaya?
Rubi
Tuesday, mengobati patah hatinya karena
ditolak oleh Stine, dengan melakukan perjalanan. Tujuan utamanya adalah
Diavabre. Tetapi, dia tidak pernah sampai ke tempat itu karena perjalanan telah
menyadarkannya bahwa masalah ada untuk dihadapi.
Rubi
Tuesday adalah seorang penulis muda, berusia sekitar 25 tahun. Dia jatuh cinta
kepada Stine, sahabatnya. Setelah sekian lama bersahabat dan yakin mencintai
Stine, ia berterus terang mengenai perasaannya ke cowok itu. Tragisnya, Stine
menolaknya! Rubi benci setengah mati kepada Stine, lalu memutuskan untuk
meninggalkan cowok itu dan melakukan perjalanan ke Diavabre. Bukan dengan mobil
atau transportasi umum, melainkan dengan sepeda rongsok!
Ada
banyak peristiwa yang ditemukan Rubi di sepanjang perjalanan. Mula-mula ia
bertemu dengan Dave, seorang dokter yang juga sedang melancong (tapi
menggunakan sepeda motor). Dave memberikan kesan manis dengan meninggalkan
sebuah roti tawar lapis telur ceplok dan setermos susu dingin. Kemudian, Rubi
bertemu dengan Ros, Oto, Sam, Jim, pelayan-pelayan di sebuah warung makan. Rubi
menumpang makan di rumah Ros, bahkan sampai beberapa hari karena ia kekurangan
uang saku dan bekerja sementara sebagai tukang cuci piring di warung makan Sam.
Dari situ, ada banyak peristiwa yang dialaminya. Sam juga menertawainya karena
alasannya melancong yang sepele: patah hati.
Setelah
melanjutkan perjalanan, Rubi mengalami nasib sial. Sepedanya dicuri! Ia tak
dapat menemukan pencurinya. Ketika sedang duduk merenungi nasib, seorang gadis
yang sedang hamil, meminta bantuannya untuk menelepon ambulans. Gadis itu
mengalami pendarahan, tapi belum waktunya melahirkan. Sofi, nama gadis itu.
Sofi meminta Rubi menjaganya sampai ia melahirkan. Akhirnya, Rubi menginap di
motel yang ditempati Sofi. Rupanya, Sofi juga sedang melarikan diri. Ia hamil
di luar nikah dan tinggal di motel sampai melahirkan. Pacarnya, Bili, datang
menjenguk setiap sore. Bili bekerja keras untuk mencari biaya persalinan.
Kejutan pun datang ketika tiba saatnya Sofi melahirkan, dan Rubi menyadari
siapa Bili sebenarnya.
Ketika
pertama membaca novel ini, saya langsung diserang kejemuan. Bahasanya mirip
dengan bahasa novel Barat terjemahan. Sama sekali tidak terkesan Indonesianya
walaupun penulisnya orang Indonesia. Memang, setting novel ini juga bukan di
Indonesia. Sepertinya di luar negeri, mungkin Amerika. Lho, kok “mungkin.” Ya,
karena penulis tidak menyebutkan DI MANA setting novel ini? Penulis hanya
menyebutkan nama-nama kota yang tidak familiar, seperti: DIAVABRE, GUANA LEON,
RICHANARA. Apakah ini di Meksiko? Soalnya penulis beberapa kali menyebutkan
bahwa Rubi ngefans dengan Ernesto Guevara.
Paragraf pembuka:
Aku baru saja menghentikan mobil di tepi
jalan. Sambil bertumpu di jendela, aku menatap kejauhan. Sambil mengamati
langit yang sedikit redup karena mendung, aku sedikit berpikir; kenapa Tuhan
tidak menetapkan hari lahiranku pada sekitaran tahun 1930? Sehingga saat 1949
aku sudah cukup umur untuk pergi berdua bersama Ernesto Guevara…. (halaman 1)
Setting
luar negeri (mungkin Amerika) semakin kuat dengan gambaran-gambaran situasi,
semacam jenis makanan, pom bensin yang dilewati, motel-motel, padang rumput, bus
oranye, dan sebagainya, mirip dengan setting novel Barat terjemahan lainnya
yang pernah saya baca. Cukuplah saya bertanya-tanya soal setting, anggap saja
tebakan saya benar, mengingat semua tokohnya berbau asing. Walaupun ini terasa
aneh karena penulisnya Indonesia. Barangkali banyak novel sejenis ini, (novel
“asing” yang ditulis orang Indonesia) tapi saya baru sekali ini membacanya. Aroma
novel terjemahan Barat memang sangat terasa sepanjang membaca novel ini. Sungguh
tidak ada kesan Indonesianya, kecuali nama penulis di depan sampul buku.
Pesan
yang disampaikan cukup bagus. Penulis memasukkan kesadaran-kesadaran ke dalam
jiwa Rubi Tuesday, bagaimana mengatasi patah hati dengan elegan. Dia tidak
perlu menjauhi Stine, apalagi melakukan perjalanan yang cukup membahayakan.
Tapi, toh perjalanan itu juga amat berarti baginya karena telah memberinya
banyak pelajaran, khususnya, berani menghadapi masalah (bukannya lari). Buku
ini mulai menarik dibaca menjelang adegan pertemuan Rubi dengan Dave,
diteruskan dengan pertemuan Rubi dengan tokoh-tokoh lain, sampai pada kejutan
saat kemunculan Bili.
Saya
membayangkan diri saya jika bepergian sendirian seperti Rubi, dengan hanya
menggunakan sepeda (pada bagian akhir, bahkan naik bus dan berjalan kaki),
keluyuran tengah malam hingga dini hari, tidur di emperan toko atau taman kota,
apakah tidak berbahaya? Di situ, penulis memasukkan satu adegan ketika Rubi
nyaris dijahati oleh gelandangan, tapi selebihnya dia aman-aman saja keluyuran
di jalan pada malam hari. Lalu, penulis juga menyisipkan alasan bahwa berita
dan cerita di televisi jauh lebih kejam daripada dunia nyata. Intinya,
keluyuran malam-malam itu aman-aman saja, tidak seperti di televisi yang
menyebutkan banyaknya korban kejahatan.
Satu
nasihat Pak Oto ini mungkin bermanfaat bagi Anda yang juga sedang patah hati:
“Patah
hati itu bukan apa-apa, Nak! Di luar sini masih banyak laki-laki yang lebih
tampan dan lebih baik daripada laki-laki yang kausukai!” (halaman 107).
Wow..suka sekali dengan resensi ini. Nice mbak Ela
BalasHapus