Jumat, 04 April 2014

Bocah 10 Tahun Pembebas Budak Anak


Judul: Aku Bocah 10 Tahun Pembebas Budak Anak
Penulis: Andrew Crofts
Penerjemah: Utti Setiawati
Penerbit: Puspa Populer
Tahun Terbit: Cetakan 1, 2013
Jumlah Halaman: vi + 262
ISBN: 978-602-8290-951

Dapatkah Anda bayangkan bocah berusia 4 tahun sudah bekerja di Pabrik Karpet, menenun dan melukai tangannya dengan jarum tenun. Duduk berjam-jam dari sebelum Subuh hingga malam tanpa dibayar, karena bayarannya digunakan untuk melunasi biaya pernikahan kakaknya? Saya tak dapat membayangkannya hingga merasa nyeri. Anak-anak saya yang sudah berusia 6 dan 5 tahun saja tidak bisa duduk diam, apalagi untuk bekerja? Dan tahukah mereka apa itu bekerja? Mereka hanya melakukan perintah orang dewasa dan hanya tahu bahwa mereka akan mendapatkan pukulan bila tidak bekerja.


Nasib naas itulah yang menimpa Iqbal beserta ribuan anak lainnya di Pakistan. Walaupun perbudakan sudah dihapuskan sejak zaman Rasulullah Saw, pada prakteknya masih saja terdapat perbudakan terutama di negara-negara miskin dan terbelakang. Anak-anak bukan saja tidak mendapatkan pendidikan, melainkan juga harus bekerja untuk membantu orang tua. Tak perlu jauh-jauh ke Pakistan pemerintah Indonesia pun belum sanggup mengatasi perbudakan anak-anak yang dipaksa mengamen, mengemis, dan berjualan oleh orang tuanya, dalam usia yang sangat dini.

Iqbal Masih, seorang bocah Pakistan berusia 4 tahun, hanya menuruti suruhan kakaknya, Aslam, untuk bekerja di sebuah pabrik karpet karena Aslam butuh uang untuk biaya pernikahannya. Iqbal tak tahu apa itu bekerja. Dia pikir bekerja itu seperti bermain-main saja. Dia menuruti suruhan kakaknya, karena Aslam mengatakan bahwa semua orang di tempatnya telah melakukan tradisi itu turun temurun. Tradisi bekerja di usia muda. Majikan pertamanya cukup baik karena tak menegurnya walau dia malas-malasan bekerja dan suka melarikan diri. Akan tetapi, sang majikan rupanya tak tahan akan kenakalan Iqbal, dan lalu menjual Iqbal kepada majikan kedua yang sangat jahat.

Majikan kedua seolah tak memahami bahwa Iqbal masih kanak-kanak, sehingga Iqbal diforsir bekerja. Apabila malas-malasan, Iqbal harus kerja lembur untuk mengganti jam kerja yang kurang. Sejak itu, Iqbal bertekad untuk melarikan diri dari Pabrik Karpet tempatnya bekerja. Usaha pelarian diri yang pertama itu berhasil. Iqbal mengadukan perlakuan sang majikan kepada polisi. Polisi pun mengajak Iqbal ke tempat majikannya. Iqbal mengira para polisi akan menangkap majikannya, ternyata polisi itu justru mengembalikannya kepada sang majikan dengan imbalan uang! Hidup Iqbal semakin buruk karena sang majikan sangat marah dan Iqbal harus bekerja rodi untuk membayar pelariannya.

Bertahun-tahun berlalu, Iqbal kembali menemukan cara untuk melarikan diri, dan dia berhasil! Tapi dia tidak akan kembali ke polisi, juga pulang ke rumah. Dia luntang lantung di jalan sampai bertemu dengan aktivis kemanusiaan, Ehsan. Semula Iqbal tak percaya dengan Ehsan, tapi dia tak punya tempat berlindung lagi. Syukurlah, Ehsan benar-benar mau membantunya untuk bebas dari perbudakan. Bahkan kemudian Iqbal bisa membebaskan ribuan temannya yang masih menjadi budak. Namanya pun menjadi terkenal. Akan tetapi, dia tetap tak memiliki akhir yang baik sebagai seorang pahlawan kecil.

Membaca kisah nyata yang ditulis dengan gaya novel ini membuat saya merinding. Begitu kejamnya hidup yang harus dijalani oleh anak-anak Pakistan miskin seperti Iqbal dan kawan-kawan. Saya tak tahu apakah mereka masih diliputi oleh perbudakan. Kemiskinan memang selalu membutuhkan korban. Anak-anak adalah salah satunya. Para orang tua miskin tak merasa sedih sekalipun salah satu anak mereka mati, karena toh mereka memiliki anak-anak yang lain. Anak-anak hanya menjadi komoditas yang diperdagangkan oleh orang tua yang tak tahu cara untuk keluar dari kemiskinan.

Membaca buku ini membuat kita mensyukuri hidup, bahwa di belahan dunia lain ada orang-orang yang lebih naas hidupnya daripada kita. Iqbal, pada akhir hayatnya, baru berusia 13 tahun, tetapi pikirannya sudah melampaui usianya. Dia masih terus berusaha memperjuangkan kebebasan bagi anak-anak di Pakistan, meskipun ancaman maut selalu mengintai.




1 komentar:

  1. weww...tragis banget ya mbak nasib anak-anak di sana, di Afghanistan saya dengar juga begitu :(
    Btw, pengen baca buku ini

    BalasHapus