Judul:
De Liefde, Memoar Sekar Prembajoen
Penerbit:
Afra Publishing (Imprint Penerbit Indiva)
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, Januari 2010
Jumlah Halaman: 454 Halaman
ISBN:
602-8277-16-9
Sinopsis:
Tak mudah menjalani pembuangan di negeri asing,
meskipun negeri itu adalah negeri Belanda! Sekar Prembajoen tertatih-tatih
menyusuri kehidupan yang jauh dari dugaannya. Termasuk harus berurusan dengan
Roesmini Van De Brand. Tak mudah untuk tetap mempertahankan semangat juang, di
saat badai menerpa dari segala penjuru. Membuat idealism seperti barang
tertawaan. Seperti yang dialami oleh Everdine Kareen Spinoza, pengacara yang
memperjuangkan nasib kliennya, Rinnah Van De Brand. Sekar dan Everdine di
tengah perjuangannya melawan sistem hukum yang tak berpihak pada kaum inlander,
harus pula memperjuangkan arti sebuah kesetiaan.
Rupanya
saya terbalik membaca trilogy novel ini. Seharusnya saya baca De Liefde
dulu, baru Da Conspiracao. Jadi, De
LIefde ini adalah sekuel kedua dari De Winst. Seakan tak puas, Afifah Afra
menulis kisah epik semasa penjajahan Belanda dalam trilogy Bulan Mati di
Javasche Oranje, dia kembali meluncurkan trilogy De Winst. Jika di Da
Conspiracao saya membaca kisah Rangga di Ende, tanah buangannya. Maka, di De
Liefde ini saya membaca kisah Sekar Prembajoen dan Everdine Spinoza, dua wanita
yang singgah di hati Rangga. Sekar adalah mantan tunangan Rangga, sedangkan
Everdine adalah istri Rangga.
Semestinya
memang saya harus membaca De Winst dulu agar lebih “nyambung.” Tapi, membaca De
Liefde dulu pun tak mengapa walau saya harus menerka-nerka konflik apa yang
dialami Sekar dan Rangga di De Winst. Dalam beberapa potongan adegan dan narasi
juga disebutkan sekilas penyebab kegagalan pernikahan Rangga dan Sekar, alasan
Rangga menikah dengan Everdine, juga penyebab Sekar dibuang di Belanda. Sekar
adalah salah satu tokoh pergerakan nasional. Sikap politiknya berseberangan
dengan Rangga, karena Sekar menganut paham sosialis.
Sekar
mewakili salah satu tokoh pergerakan wanita di masa sebelum kemerdekaan. Sosok
wanita yang langka, mengingat pada saat itu, wanita lebih terbelakang dan tidak
punya kebebasan dalam hal apa pun, apalagi wanita Jawa yang terbelenggu dalam
tradisi pingit. Sedangkan Everdine
adalah sosok wanita yang biasa saja bagi warga Belanda: berpendidikan tinggi,
mandiri, dan memiliki pekerjaan yang sejajar dengan laki-laki. Hal ini karena
orang Belanda sudah lebih maju dalam memandang gender/ jenis kelamin. Kaum
wanita juga berhak mendapatkan pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki.
Fokus
utama cerita ini adalah Sekar dan Everdine, sedangkan Rangga hanya menjadi
cameo. Kehadirannya hanya diwakili oleh lamunan-lamunan Sekar dan Everdine,
serta surat Rangga kepada kedua wanita itu. Penceritaan bergantian antara Sekar
dan Everdine. Sekar menggunakan Pov 1, sedangkan Everdine Pov 3. Kedua wanita
ini memiliki karakter yang nyaris sama: kuat, mandiri, cerdas. Ada juga wanita
Belanda bernama Sophia Angela Reynierse, putri anggota parlemen Belanda yang
bakal berhubungan erat dengan teka-teka yang mengiringi perjalanan Sekar dan
Everdine.
Sebagaimana
novel sejarah lain, ada banyak tokoh yang tak kalah penting di dalam novel ini.
Yudhistira, seorang prajurit Belanda yang berkhianat, Nyai Rinnah Van De Brand,
Richard Van De Brand, Garendi, Joseph Reynierse, Roesmini, Daalen Van De Brand,
dan lain-lain. Tak mudah untuk saya menuliskan review novel dengan banyak
konflik, tokoh, cerita, dan tentunya pemikiran-pemikiran Sekar mengenai ekonomi
sosialis. Jadi, sebenarnya novel ini berkisah tentang atau siapa?
Ceritanya,
Sekar Prembajoen dibuang ke Belanda karena gerakannya mulai memicu kekhawatiran
pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, dia tidak menjalani pengasingan yang
tidak enak seperti tawanan lain. Dia justru tinggal di rumah Joseph Reyniers,
anggota parlemen Belanda. Sekar tinggal di Palais De Liefde, villa De Liefde
yang mewah. Sekar hanya tidak bisa pulang ke Indonesia untuk beberapa waktu,
mengakses informasi mengenai pergerakan kemerdekaan, apalagi bergabung dengan
para pejuang. Sesungguhnya dia menikmati hidup yang enak dan nyaman di Palais
De Liefde.
Di
villa itu, ada Sophia Angela Reynierse, anak semata wayang Joseph yang akrab
dengan Garendi, masih kerabat Sekar. Garendi dianggap berkhianat kepada tanah
airnya karena berhubungan terlalu dekat dengan orang Belanda. Diam-diam
ternyata Garendi pura-pura menjilat Belanda, sebenarnya dia sedang menyusun
pemberontakan. Dia pura-pura tertarik kepada Sophia, dan belakangan rupanya dia
lebih tertarik kepada Sekar.
Kareen
Everdine Spinoza, istri Rangga, membuka kantor advocate di Semarang, sedangkan
Rangga diasingkan ke Ende. Hari-hari Kareen disibukkan oleh pekerjaannya
sebagai pengacara, sampai datanglah seorang wanita gila yang mengamuk di
kediamannya, Nyai Rinnah Van De Brand. Mulanya, Everdine tak peduli, tapi
kemudian dia tertarik kepada kasus Nyai Rinnah yang mengaku kehilangan anak
semata wayangnya, Roesmini. Roesmini diambil paksa oleh ayahnya, warga negara
Belanda, Daalen Van De Brand. Yang mengecewakan, Roesmini dijual oleh ayahnya
di tempat pelacuran. Everdine pun tertarik untuk membantu Nyai Rinnah,
membebaskan Roesmini. Justru karena itulah, Everdine mendapatkan ancaman
pembunuhan.
Secara
fisik, Sekar dan Everdine tidak saling bertemu, tetapi kasus yang membelit
keduanya itulah yang mempertemukan mereka. Iyup, Roesmini yang melarikan diri
dari rumah pelacuran karena hamil, ditolong oleh Sophia Reynierse. Sementara di
Indonesia, ibunya, Nyai Rinnah tengah memperjuangkan kebebasannya melalui
tangan Everdine. Yudistira, sosok yang dimunculkan sebagai penyelamat Everdine
dari kejahatan tersembunyi, ternyata memang hanya sekadar menjadi penyelamat.
Yudhistira sempat jatuh cinta kepada Everdine, apa daya wanita itu sudah
menikah.
Yang
seru dari novel ini adalah kisahnya yang filmis, macam film-film detektif dan
spionase. Kita disuruh menerka-nerka rahasia para tokohnya, juga apa yang akan
terjadi kemudian. Tak perlu diragukan lagi kepiawaian Afifah Afra dalam meracik
novel berlatar sejarah dengan bumbu romantika di antara tokoh-tokohnya. Novel
ini murni fiksi, karena semua tokohnya fiksi. Hanya latar tempatnya saja
mengambil kurun waktu sebelum kemerdekaan. Jadi, karena fiksi, novel ini tidak
bisa dijadikan referensi sejarah, menurut saya. Tapi, kita bisa sedikit
mengetahui kehidupan orang-orang di masa itu, karena kejadian-kejadian yang ada
di dalam novel ini barangkali pernah menimpa orang-orang pada masa itu.
baca latarnya jadi inget noveltetralogi pulau buru Pramoedya...jadi pengen baca nih bukunya...
BalasHapus