Kamis, 19 Juni 2014

De Liefde: Fiksi Berlatar Sejarah


Judul: De Liefde, Memoar Sekar Prembajoen
Penerbit: Afra Publishing (Imprint Penerbit Indiva)
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Januari 2010
Jumlah  Halaman: 454 Halaman
ISBN: 602-8277-16-9

Sinopsis:
Tak mudah menjalani pembuangan di negeri asing, meskipun negeri itu adalah negeri Belanda! Sekar Prembajoen tertatih-tatih menyusuri kehidupan yang jauh dari dugaannya. Termasuk harus berurusan dengan Roesmini Van De Brand. Tak mudah untuk tetap mempertahankan semangat juang, di saat badai menerpa dari segala penjuru. Membuat idealism seperti barang tertawaan. Seperti yang dialami oleh Everdine Kareen Spinoza, pengacara yang memperjuangkan nasib kliennya, Rinnah Van De Brand. Sekar dan Everdine di tengah perjuangannya melawan sistem hukum yang tak berpihak pada kaum inlander, harus pula memperjuangkan arti sebuah kesetiaan.


Rupanya saya terbalik membaca trilogy novel ini. Seharusnya saya baca De Liefde dulu,  baru Da Conspiracao. Jadi, De LIefde ini adalah sekuel kedua dari De Winst. Seakan tak puas, Afifah Afra menulis kisah epik semasa penjajahan Belanda dalam trilogy Bulan Mati di Javasche Oranje, dia kembali meluncurkan trilogy De Winst. Jika di Da Conspiracao saya membaca kisah Rangga di Ende, tanah buangannya. Maka, di De Liefde ini saya membaca kisah Sekar Prembajoen dan Everdine Spinoza, dua wanita yang singgah di hati Rangga. Sekar adalah mantan tunangan Rangga, sedangkan Everdine adalah istri Rangga.

Semestinya memang saya harus membaca De Winst dulu agar lebih “nyambung.” Tapi, membaca De Liefde dulu pun tak mengapa walau saya harus menerka-nerka konflik apa yang dialami Sekar dan Rangga di De Winst. Dalam beberapa potongan adegan dan narasi juga disebutkan sekilas penyebab kegagalan pernikahan Rangga dan Sekar, alasan Rangga menikah dengan Everdine, juga penyebab Sekar dibuang di Belanda. Sekar adalah salah satu tokoh pergerakan nasional. Sikap politiknya berseberangan dengan Rangga, karena Sekar menganut paham sosialis.

Sekar mewakili salah satu tokoh pergerakan wanita di masa sebelum kemerdekaan. Sosok wanita yang langka, mengingat pada saat itu, wanita lebih terbelakang dan tidak punya kebebasan dalam hal apa pun, apalagi wanita Jawa yang terbelenggu dalam tradisi pingit.  Sedangkan Everdine adalah sosok wanita yang biasa saja bagi warga Belanda: berpendidikan tinggi, mandiri, dan memiliki pekerjaan yang sejajar dengan laki-laki. Hal ini karena orang Belanda sudah lebih maju dalam memandang gender/ jenis kelamin. Kaum wanita juga berhak mendapatkan pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki.

Fokus utama cerita ini adalah Sekar dan Everdine, sedangkan Rangga hanya menjadi cameo. Kehadirannya hanya diwakili oleh lamunan-lamunan Sekar dan Everdine, serta surat Rangga kepada kedua wanita itu. Penceritaan bergantian antara Sekar dan Everdine. Sekar menggunakan Pov 1, sedangkan Everdine Pov 3. Kedua wanita ini memiliki karakter yang nyaris sama: kuat, mandiri, cerdas. Ada juga wanita Belanda bernama Sophia Angela Reynierse, putri anggota parlemen Belanda yang bakal berhubungan erat dengan teka-teka yang mengiringi perjalanan Sekar dan Everdine.

Sebagaimana novel sejarah lain, ada banyak tokoh yang tak kalah penting di dalam novel ini. Yudhistira, seorang prajurit Belanda yang berkhianat, Nyai Rinnah Van De Brand, Richard Van De Brand, Garendi, Joseph Reynierse, Roesmini, Daalen Van De Brand, dan lain-lain. Tak mudah untuk saya menuliskan review novel dengan banyak konflik, tokoh, cerita, dan tentunya pemikiran-pemikiran Sekar mengenai ekonomi sosialis. Jadi, sebenarnya novel ini berkisah tentang atau siapa?

Ceritanya, Sekar Prembajoen dibuang ke Belanda karena gerakannya mulai memicu kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, dia tidak menjalani pengasingan yang tidak enak seperti tawanan lain. Dia justru tinggal di rumah Joseph Reyniers, anggota parlemen Belanda. Sekar tinggal di Palais De Liefde, villa De Liefde yang mewah. Sekar hanya tidak bisa pulang ke Indonesia untuk beberapa waktu, mengakses informasi mengenai pergerakan kemerdekaan, apalagi bergabung dengan para pejuang. Sesungguhnya dia menikmati hidup yang enak dan nyaman di Palais De Liefde.

Di villa itu, ada Sophia Angela Reynierse, anak semata wayang Joseph yang akrab dengan Garendi, masih kerabat Sekar. Garendi dianggap berkhianat kepada tanah airnya karena berhubungan terlalu dekat dengan orang Belanda. Diam-diam ternyata Garendi pura-pura menjilat Belanda, sebenarnya dia sedang menyusun pemberontakan. Dia pura-pura tertarik kepada Sophia, dan belakangan rupanya dia lebih tertarik kepada Sekar.

Kareen Everdine Spinoza, istri Rangga, membuka kantor advocate di Semarang, sedangkan Rangga diasingkan ke Ende. Hari-hari Kareen disibukkan oleh pekerjaannya sebagai pengacara, sampai datanglah seorang wanita gila yang mengamuk di kediamannya, Nyai Rinnah Van De Brand. Mulanya, Everdine tak peduli, tapi kemudian dia tertarik kepada kasus Nyai Rinnah yang mengaku kehilangan anak semata wayangnya, Roesmini. Roesmini diambil paksa oleh ayahnya, warga negara Belanda, Daalen Van De Brand. Yang mengecewakan, Roesmini dijual oleh ayahnya di tempat pelacuran. Everdine pun tertarik untuk membantu Nyai Rinnah, membebaskan Roesmini. Justru karena itulah, Everdine mendapatkan ancaman pembunuhan.

Secara fisik, Sekar dan Everdine tidak saling bertemu, tetapi kasus yang membelit keduanya itulah yang mempertemukan mereka. Iyup, Roesmini yang melarikan diri dari rumah pelacuran karena hamil, ditolong oleh Sophia Reynierse. Sementara di Indonesia, ibunya, Nyai Rinnah tengah memperjuangkan kebebasannya melalui tangan Everdine. Yudistira, sosok yang dimunculkan sebagai penyelamat Everdine dari kejahatan tersembunyi, ternyata memang hanya sekadar menjadi penyelamat. Yudhistira sempat jatuh cinta kepada Everdine, apa daya wanita itu sudah menikah.

Yang seru dari novel ini adalah kisahnya yang filmis, macam film-film detektif dan spionase. Kita disuruh menerka-nerka rahasia para tokohnya, juga apa yang akan terjadi kemudian. Tak perlu diragukan lagi kepiawaian Afifah Afra dalam meracik novel berlatar sejarah dengan bumbu romantika di antara tokoh-tokohnya. Novel ini murni fiksi, karena semua tokohnya fiksi. Hanya latar tempatnya saja mengambil kurun waktu sebelum kemerdekaan. Jadi, karena fiksi, novel ini tidak bisa dijadikan referensi sejarah, menurut saya. Tapi, kita bisa sedikit mengetahui kehidupan orang-orang di masa itu, karena kejadian-kejadian yang ada di dalam novel ini barangkali pernah menimpa orang-orang pada masa itu.

1 komentar:

  1. baca latarnya jadi inget noveltetralogi pulau buru Pramoedya...jadi pengen baca nih bukunya...

    BalasHapus